Bagi beberapa penafsir, Kitab Galatia dimulai
dengan sikap yang sangat keras dari Rasul Paulus. Tidak ada surat dari Rasul
Paulus yang lebih keras daripada Surat Galatia. Paulus melihat adanya masalah
yang sangat serius terjadi di Galatia, yang beresiko menghancurkan iman
orang-orang Galatia, dan menjadi kerusakan perkembangan Gereja di Galatia.
Paulus sangat sedih dan marah, serta mengharapkan orang-orang Galatia bersedia
mengkoreksi seluruh kehidupan mereka.
Seorang Dosen saya pernah menceritakan pengalamannya ketika ia sedang
berkhotbah menggunakan bahan khotbah Yohanes Pembaptis mengenai kerajaan Allah
sudah dekat. Lalu diatas mimbar ia bertanya kepada jemaat “Saudara-saudara,
saya diberikan bahan khotbah Yohanes Pembaptis, ini adalah khotbah yang sangat
keras. Apakah saudara memilih saya untuk berkhotbah seperti Yohanes Pembaptis
yang keras ataukah seperti Yesus yang penuh dengan kelembutan?” Secara serentak
jemaat menjawab, “Keras”. Atas dasar permintaan tersebut, dosen sayapun
memenuhinya dan berkhotbah sambil menunjuk-nunjuk semua jemaatnya dan
mengatakan semua orang disini berdosa tidak ada yang benar, dan menyebutkan
semua dosa-dosa umumnya sering dilakukan. Seketika suasana diam dan bingung.
Mengapa saya ingin menyampaikan cerita ini? Kita sering menanamkan
Pekabaran Injil sebagai “memenangkan
jiwa” tetapi pada kenyataannya yang kita lakukan adalah “mengalahkan” mereka, yaitu membuat
mereka takluk kepada kita lalu mengikuti kemauan kita. Bahkan menariknya lagi,
semua kita ingin ditaklukan, sama seperti kisah dosen saya tersebut. Padahal
pemberitaan mengenai Yesus Kristus seharusnya adalah pemberitaan yang “memenangkan
orang”, yaitu membuat mereka menang dan merdeka terhadap kuasa-kuasa penjajah
mereka. Dan agar mereka ‘menang’,
kadang-kadang kita justru harus mau kalah, seperti Paulus mengatakan :
“Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan
orang Yahudi... “
Begitu pula bagi orang yang hidup di bawah hukum Taurat, bagi
orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, bagi orang yang lemah, Paulus
hidup seperti mereka juga. Kristus sebenarnya membebaskan Paulus untuk tidak
hidup seperti mereka, tetapi Injil juga membebaskan Paulus untuk hidup seperti
mereka. Kalau Paulus mau sekedar menikmati kebebasan untuk dirinya sendiri, ia
tidak akan mau hidup seperti otang lain itu. Tetapi karena Paulus tidak mau
membatasi kebebasan miliknya saja, supaya juga menjadi milik orang lain, maka
Paulus memilih kebebasan untuk hidup seperti mereka. Maksudnya adalah Pembaruan harus berjalan, tetapi persekutuan ataupun
orang lain tak boleh dikorbankan.
Bagi beberapa orang yang mengenal saya, akan menilai saya sebagai saya
seorang yang keras kepala. Sayapun mengakuinya, dengan mengatakan “Sudah
turunan marga Ginting Manik”. Tetapi dalam beberapa kesempatan saya mendengar
curhatan seorang Bapak bermarga “Ginting Manik” pula, bahwa dia belajar dari
kehidupannya yang lalu. Karena dahulu ia menjadi seorang yang ingin selalu
mengatakan yang benar, sampai akhirnya orang lain merasakan sakit hati karena
teguran yang disampaikannya. Lalu dia bertanya kepada saya “Apa gunanya kebenaran jika pada akhirnya yang kita sampaikan hanya
akan membuat seorang menjadi terluka dan sakit?”
Perkataan itu seketika membawa diri saya untuk merenung dan berfikir, apa
yang ingin disampaikan oleh Bapak ini sama saya? Bukankah kebenaran itu harus
disampaikan? Bukankah kita tidak pernah bisa menyenangkan orang lain dengan apa
yang kita sampaikan? Bukankah perasaan diri yang bersalah itu penting agar
orang mengetahui untuk belajar lebih lagi? Mungkin beberapa dari kita masih
ingat dengan video seorang anak yang menyalahkan otaknya dan mengatakan bahwa
“otakku ini yang salah mak”. Saya tidak ingin menyalahkan si Ibu, karena dia
memiliki niatan yang baik untuk anaknya. Tapi saya ingin mengajak kita untuk
berfikir, bukankah apa yang dilakukan oleh si Ibu juga merupakan sesuatu yang
umumnya kita lakukan? Seorang yang merasa diri terpelajar menyatakan
kebodohan-kebodohan orang lain dengan intelektual yang dimiliki olehnya.
Seorang yang merasa diri dimerdekakan, dengan bebas menyinyir ataupun menghakimi (bukan menasihati) orang-orang yang
diperbudak oleh kebodohan. Lalu berkata kepada dirinya “aku sudah mengajarinya,
tapi dia tidak mau mendengarkan semua omonganku”. Gereja menyuarakan untuk
bebas dalam beragama dan beribadah. Sebab itu hak milik semua manusia. Bahkan
Gereja sangat menghargai HAM, karena itu banyak pendeta-pendeta yang memiliki
jiwa sosialis sampai sekarang masih berjuang untuk menyuarkan “menolak lupa” atas
kejadian orang-orang yang hilang di masa Orde Baru ataupun “menolak takluk”
atas kejadian penyirman air keras kepada novel baswedan. Tapi Gereja juga sadar
tidak, ketika didalam Gereja ada orang-orang yang juga sengaja “dihilangkan”
atau “menghilang sendiri” , lalu Gereja cuman diam dan tidak berbuat apa-apa
karena Gereja beranggapan bahwa orang-orang tersebut tidak bermanfaat ataupun
hanya sibuk mengkritik Gereja saja, jadi lebih baik dia “dihilangkan” atau
“menghilang sendiri” agar Gereja lebih aman dan damai. Saya berfikir, bahwa
Gereja-gereja seperti ini selalu bicara soal nyawa orang lain, tapi tidak
bicara soal iman jemaat sendiri.Namun saya juga pernah melihat ketika seorang
memiliki sikap yang sama, kemudian ia berbicara dengan kekasihnya, justru
berbeda perlakuannya. Ia akan dengan penuh lemah lembut mengatakan kesalahan kekasihnya
agar, kekasihnya tidak ngambek dan marah kepadanya. Apakah tujuannya berbeda? Tidak, tujuannya sama. Tetapi “kasih” yang
membedakannya. Kita ini manusia, punya hak dan kewajiban. Jangan pernah
memikirkan hakmu, tetapi marilah kita berfikir tentang kewajiban kita untuk hak
orang lain. Sebab orang lain memiliki hak sebagai manusia, maka hargailah itu
sebagai tanggung jawab kita. Sederhana bukan?
Hal kedua yang ingin saya bicarakan hari ini, dimulai dengan lagu Iksan
Skuter dengan judul “Bingung”.. Kita
melihat banyak sejarah mencatat bahwa masa orde baru adalah masa dimana banyak
sekali orang dibungkam. Tetapi ketika masa Reformasi sampai saat ini, ada
banyak suara yang tidak lagi dibungkam, sampai akhirnya jadi “kemaruk” dan
bikin akun lambe turah di media sosialnya sendiri. Makanya banyak berita
“hoaks”, banyak orang menjadi ahli-ahli filsafat kritis (padahal nyinyir), ataupun media sosial dan
acara-acara televisi yang kerjaannya cuman nyinyir
/ mandangi, tanpa analisa dan
observasi yang jelas. Ngomongin pemerintah Goblok, tapi yang disuruh
memperbaiki juga pemerintah. Padahal ngatain goblok, tapi orang yang dikatain
goblok yang disuruh beresin masalah. Bukankah ini omongan-omongan orang yang ngacok. Berhentilah menjadi seorang
“politisi”, yang pernah menjabat negara ini dan memberikan 15 solusi dalam
menghadapi krisis di Indonesia. Salah satunya di poin ke 12 mengatakan,
“Memberantas Korupsi”, tapi pada masanya banyak orang yang Korupsi.
Tapi yang menarik adalah banyak orang-orang sekarang yang semakin berkiat dalam hobinya yang menyinyir / mandangi dan beranggapan bahwa inilah kemerdekaan dalam berdemokrasi. Karena semakin tinggi nyinyir-annya makan semakin tinggi followernya. Seperti kita tahu, salah satu aku media sosial yang memiliki follower terbanyak di media sosial adalah akun Lambe Turah.
Jangan-jangan “Kemerdekaan” yang dipikirkan oleh
manusia adalah kebebasan total. Padahal
para filsuf mengatakan bahwa tidak ada
kebebasan yang bersifat total. Kebebasan
total merupakan penyangkalan terhadap realita. Alkitab juga menyatakan
bahwa manusia tidak dicipta dengan kebebasan total, dan kebebasan total itu
tidak ada, misalnya: manusia tidak bisa bebas total menahan nafas. Manusia
terikat dengan tuntutan untuk bernafas supaya bisa hidup. Natur manusia
menjepit manusia sehingga tidak bisa bebas untuk tidak bernafas. Contoh yang
lain adalah: ketika seseorang bebas untuk memutuskan dia akan olahraga lari
pada pukul 4 sore, tetapi ternyata pada jam tersebut tiba-tiba turun hujan
lebat, maka dia tidak bisa berolahraga lari. Dalam hal ini, hujan sudah
membatasi dia. Atau ketika saya
menginginkan beru karo tadi untuk menjadi kekasih saya, ternyata beru karo tadi
tidak menginginkan hal tersebut. Akhirnya sayapun jomblo. Dalam banyak hal, manusia
seharusnya mengakui bahwa dia tidaklah bebas secara total/ absolut; manusia
sangatlah terbatas.
Terakhir, saya membaca salah satu dari quotes Bung Hatta,
begini katanya;
“Indonesia
merdeka itu tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk
mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita: Hidup bahagia dan makmur dalam
pengertian jasmani maupun rohani”
Bung Hatta
Ungkapan ini adalah salah satu dari 12 quotes yang dikumpulkan brillio.net
dari Bung Hatta. Ungkapan yang menurut saya masih relevan untuk menohok hati
Orang-orang Kristen saat ini. Benarkah bahwa dalam kemerdekaan ini Orang-orang
Kristen sudah merdeka dalam beragama? Jangan-jangan katanya saja negeri ini
merdeka. Tapi Orang-orang Kristen sendiri belum merdeka dalam beragama. Banyak
takutnya atau malahan memiliki mental-mental yang selalu berharap agar
Kekristenan dapat menguasai Pemerintahan. Membayangkan yang mendampingi Jokowi
bukan Ma’aruf Amin, melainkan Ahok atau jangan ijmak ulama aja, tapi ijmak
pendeta juga. Seakan-akan saat ini
Orang-orang Kristen tidak bisa melakukan apapun dalam mengisi kemerdekaan ini.
Tapi, rasanya tidak adil apabila kita selalu berbicara mengenai
faktor-faktor yang ada dari luar tanpa mengkoreksi dalam diri Orang-orang
Kristen. Karena menurut Yoh 8:32, apabila kita mengetahui kebenaran, maka
kebenaran itu akan memerdekakan kita. Menurut Yoh 14:6, Yesuslah kebenaran itu.
Jadi, apabila Yesus memerdekakan kita, maka kita pun benar-benar (ontos,
betul-betul) merdeka, Yoh 8:36. Dengan kata lain, kita menjadi merdeka bukan
karena orang lain yang memberikan kemerdekaan untuk kita. Melainkan melalui
belas kasihan dan penebusan dari Bapa kita yang sangat baik. Sehingga, saat ini
sebenarnya Orang-orang Kristen yang sedang memilih. Apakah ia ingin, menjadi
seorang yang merdeka dengan hidup bahagia dan makmur secara rohani atau menjadi
seorang yang takut dan hidup dalam perhambaan-perhambaannya masing-masing?
Orang-orang Kristen yang merdeka itu sebenarnya mudah dikenali. Karena, ia memiliki iman yang sehat. Ia melihat Tuhan yang selalu menaruhkan kasih kepada kita, bahkan selalu memberikan pengampunan bagi anak-anak yang mengaku salah padanya. Ia sadar bahwa dirinya telah gagal memenuhi hukum-Nya. Tapi ia sadar pula bahwa Allah lebih suka mengampuni dirinya, daripada menuntut dirinya dengan kuk dan beban yang berat. Sehingga saat dirinya beragama, ia beragama dengan Joyfull. Sebab ia beragama dengan ceria, bukan dengan ketakutan hukum-hukum yang ditentukan oleh Pendeta (mungkin?) ataupun dari produk-produk yang diciptakan manusia lainnya. Sebagai jemaat, ia datang beribadah ke dalam Gereja bukan karena ketakutanya akan surga dan neraka. Tetapi karena ia menyadari persekutuan dan keluarganya di dalam Gereja, tempat ia berbagi dengan satu dan yang lainnya, dalam sukacita dan ungkapan syukur. Ataupun sebagai Pelayan Tuhan, ia tidak menggunakan otoritas yang ada pada dirinya untuk menunjukan kuasanya bagi orang-orang yang dilayaninya. Karena bukan pelayan Tuhan namanya, jika dia menaruhkan segala sesuatu yang sifatnya merupakan produk manusia (Tata Gereja, Tradisi, Kontruksi Sosial dsb) diatas “KASIH”.
Namun tidak sedikit orang yang mengkuatirkan tentang pemahaman ini, dan khawatir akan membuat orang hidup dalam sembarangan. Sayapun sangat setuju ketika manusia tidak boleh terlepas dari yang namanya aturan-aturan yang ada ataupun antipati terhadap peraturan, sebab itupun bagian dari kesadaran saya sebagai manusia yang hidup dalam sebuah realita. Tetapi satu hal yang saya sadari bahwa ketika kita menyadari bahwa Yesus yang memerdekakan, dan memberikan pengampunan juga mengandung ajakan untuk memulai suatu hubungan kasih, hubungan kekeluargaan. Dalam hubungan kasih, orang tidak akan sembarangan berbuat salah, malahan akan selalu berusaha menyenangkan pihak yang dikasihi. Meskipun kita mungkin tidak akan dituntut jika mencuri baju orangtua kita, namun anak yang baik tidak akan tega melakukan hal itu. Sebaliknya, meskipun kita tidak diwajibkan membawa oleh-oleh jika kita pulang dari jogja ke kampung, namun dengan senang hati kita akan membelinya untuk menyenangkan keluarga kita. Jadi, puji-pujian kita kepada Allah, perbuatan baik kita, persembahan kita, seharusnya kita lakukan berdasarkan kaidah kasih dalam suasana kekeluargaan, sehingga kita melakukannya dengan sukacita dan tanpa ancaman.
Semua jiwa dasarnya adalah bebas merdeka, jangan
coba dipenjara lagi kawan...bebaskan! Bagaimana mungkin bebas
kalau diri selalu ditakuti oleh hal-hal yang absolut dan tidak nyata. Bagaimana
mungkin bebas kalau saja memandang Allah, harus sampai bersujud dan melihat
keatas. Bagaimana mungkin bebas dan mau menghargai orang lain, kalau mata
selalu tertuju pada sesuatu yang diatas, lupa sama yang disekeliling
Komentar
Posting Komentar