Allah yang Berkuasa Menyelamatkan Kita (Keluaran 6:1-7)


Lagu Bojo Galak adalah salah satu lagu yang saya rasa masih booming di tangga musik dangdutan. Lagu yang menceritakan tentang seseorang yang memiliki Pasangan Galak. Tapi dia sudah menerimanya dengan legowo dan menjalaninya dengan tulus. Lagu yang menurut saya menarik untuk ditinjau kembali. Karena, lagu ini sepertinya membuat beberapa orang untuk mempercayainya sebagai sebuah tanda komitmen, sebuah ekspresi cinta, untuk tabah menjalani ketidakbaikan atau kekejaman, untuk mengampuni dan melupakan. Padahal kenyataannya, ketika mengasihi secara benar kita tahu bahwa tanggapan yang sehat dan penuh kasih pada kekejaman dan penyelewangan adalah menolak kejahatan itu. Jadi, ketabahan harusnya tak boleh dipakai sebagai pembenaran atas kejahatan atau ketidakadilan. Karena ketika berhadapan dengan ketidakbenaran dan ketidakadilan, umat Kristen selalu dianjurkan untuk mengambil sikap perlawanan tanpa kekerasan sebagai wujud protesnya pada ketidakadilan yang berlangsung. Kita harus melawan, namun kita melakukannya tanpa kekerasan. Dan kita melakukannya dengan penuh ketabahan.
            Disisi lain lagu ini juga baik sebagai pembanding untuk bacaan yang kita terima saat ini, dimana Musa mendapatkan amanat dan dia harus berkomitmen dalam setiap hal yang terjadi dalam menjalankan amanat tersebut. Adapun amanat tersebut mennyuruh Musa untuk membantu bangsa Isarel keluar dari tanah mesir. Sementara disisi lain, seperti yang kita ketahui pada ayat sebelumnya ada proses dimana Musa telah menyampaikan amanat yang diberikan Tuhan kepada Musa. Tapi respon balik dari Firaun justru tidak seperti yang diharapkan oleh Musa. Karena itu, Musa menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan (5:22-23).

Lalu Musa kembali menghadap Tuhan, katanya; “Tuhan mengapakah Kauperlakukan umat ini begitu bengis? Mengapa pula aku yang Kauutus? Sebab sejak aku pergi menghadap Firaun untuk berbicara atas nama-Mu, dengan jahat diperlakukannya umat ini, dan Engkau tidak melepaskan umat-Mu sama sekali.”

Mungkin kalau dikembalikan pada lagu “bojo galak”, Musa akan berkata “Ya sudahlah Tuhan mungkin ini memang nasib orang Israel untuk hidup dalam penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang mesir. Ungkapan-ungkapan yang serupa yang diucapkan oleh bangsa Israel, saat mengajak orang-orang Isarel untuk keluar dari mesir.
            Tetapi, realitanya tidak demikian karena bila itu terjadi maka Musa hanya berkeluh kesah dan mati bersama kekesalan dan keluh kesahnya. Sedang yang dilakukan Musa adalah berkeluh kesah kepada Tuhan, tapi bukan untuk menyerah melainkan menyampaikan apa yang dia rasakan sebagai manusia yang ingin berjuang tapi mendapatkan penolakan.
            Bahkan karena realita yang demikian membuat kita meyakini bahwa setiap orang berhak untuk berkeluh kesah, bukan mengubur keresahan dan kesakitan yang kita alamai. Berkeluh kesah baik untuk pengembangan diri, memang benar bahwa setiap detiknya semua orang diajak untuk bersyukur. Tapi rasanya Tuhan juga tidak menginginkan umatnya terus-terus berdiam dan menguburkan perasaannya yang sakit dan resah. Karena, nyatanya Dia juga mau mendengar dan pengertian kepada umatnya. Bahkan setiap dari kita bisa secara langsung menyampaikan apa yang kita alami secara langsung kepada Tuhan.
            Karena itu, saya terkadang suka mengkritik Gereja-gereja yang memiliki mimbar tinggi-tinggi. Seolah-olah Tuhan itu ada diatas, padahal diluar bumi masih banyak planet-planet lain yang ukuran dan jaraknya jauh lebih besar daripada kita. Artinya, kita selalu memikirkan Tuhan yang jauh dan tinggi. Sementara Tuhan sedang ada dibawah bersama-sama dengan kita, mau berbagi cerita dan berjalan bersama-sama dengan kita menghadapi setiap persoalan yang kita alami di dunia ini. Seperti tema kita minggu ini, Tuhan memang berkuasa. Tapi kuasanya bukanlah kuasa seperti raja atau pemerintahan lainnya. Karena kuasanya, selayaknya seorang yang menyangi kita. Bukan menentukan jalan kita kedepannya, tapi berjalan bersama sama dengan kita untuk menghadapi segala situasi didepannya.
            Kemudian, hal lainnya yang mungkin selama ini dilupakan bahwa Musa tidak sendiri. Karena dalam perjalanannya dia juga dibantu oleh Harun, dan mungkin dukungan-dukungan yang lainnya didepannya. Sehingga dia mampu menjalani amanat yang diberikan Tuhan dengan teguh. Karena itu pula, maka dari hal ini kita menyadari bahwa ketabahan bukan soal kebajikan batin yang sifatnya individual sekalipun tak jarang seseorang harus menjalani penderitaan dengan penuh ketabahan seorang diri. Namun, ketabahan sesungguhnya adalah sebuah kebajikan komunal. Misalnya seperti yang terjadi pada komunitas GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Mereka mampu bertahan bukan karena individu-individu keras kepala tertentu, melainkan karena komunitas yang berisi orang-orang yang ringkih, yang saling menguatkan dan mengokohkan satu terhadap yang lain. Ataupun seperti apa yang disebutkan oleh Tabitha Suzuma, “Di ujung hari itu, ini semua soal seberapa anyak engkau dapat menanggungnya, seberapa banyak engkau dapat tabah. Bersama-sama, kita tidak melukai siapa pun; terpisah, kita memusnahkan diri kita sendiri”. Demikian pula saya meyakini bahwa Gereja-gereja lainnya saat  ini juga dapat semakin berkembang, bukan karena beberapa orang saja. Melainkan karena semangat dari orang Kristen yang ingin mewartakan Kabar Baik. Karena tugas untuk mewartakan Kabar Baik itu sendiri, bukanlah sekedar tugas pendeta saja. Tetapi tugas dari setiap pribadi kita masing-masing yang meyakini bahwa Tuhan berkuasa dalam diri kita untuk mengasihi sekeliling atau bahkan diluar perpulungan kita.
Selain daripada itu dalam bacaan kita hari ini, kita juga melihat seperti apa dan bagaimana Tuhan memberikan amanat kepada Musa, sedang disisi lain penulis juga menyaksikan bagaimana Tuhan juga mengeraskan hati Firaun. Sehingga dalam beberapa kasus, sering dari kita menyatakan bahwa Tuhan sedang mencobai kita. Bila terjadi gunung meletus, longsor ataupun banjir. Kita berkata bahwa ini adalah cobaan dari Tuhan kepada orang-orang yang dicintainya. Sementara bila fakta ini benar adanya bahwa cobaan juga asalnya merupakan dari Tuhan maka rasa-rasanya Tuhan seperti dalang yang sedang memainkan lakon kita setiap harinya. Apalah arti hidup kalau toh akhirnya, setiap langkah kita sudah ditentukan dan digerakan oleh Tuhan? Menarik pembahasan yang seperti ini, tapi rasanya pembahasan yang demikian ini baik bila kita simpan dulu.
            Tapi saya menyadari bahwa memang saya secara sengaja untuk mengungkapkan hal ini kepada kita semua. Karena banyak dari kita, saat menghadapi masalah justru lari dari masalah tersebut dan menganggap semua ini sudah ditakdirkan kepada kita. Tuhan menjadi kambing hitam dalam diri kita. Makanya seorang tega mencuri demi kebutuhan anak-anaknya dan menganggap bahwa dirinya sudah ditakdirkan sebagai pencuri. Seorang suami jatuh cinta kepada perempuan lain dan menceraikan istrinya, kemudian menganggap bahwa ini adalah jalan Tuhan untuk kita cerai. Saat pemerintahan kita jelek, kita pasrah dan beranggapan bahwa ini sudah ditakdirkan. Padahal kitalah yang memilih pemerintahan kita sendiri, dan kita juga berhak untuk protes kepada pemerintahan.
Saat membicarakan hal ini, saya teringat kembali dengan GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, kedua Gereja yang sedang mengalami masalah dengan pemerintahan. Tapi mereka tidak diam, karena secara rutin, dua minggu sekali mereka beribadah di depan Istana Kepresidenan di wilayah Monas, untuk mengekspresikan iman, pengharapan dan kasih mereka. Mereka tidak menjadikan ibadah sekedar alat protes, namun mereka menyatupadukan ibadah dan protes sebagai satu semangat yang sama, yakni semangat injil. Semangat yang memproklamasikan warta kehidupan dari Allah kepada dunia, yang kemudian di hidupi oleh Gereja dan semangat proklamasi warta keadilan yang disuarakan Gereja kepada dunia.
      Tapi rasa-rasanya semangat yang demikian perlu kita munculkan kembali. Sebab dalam bayangan saya, pikiran-pikiran yang tidak mau memikul salib, cuman mau senang justru itulah yang menguasi pikiran kita. Sementara umat Israel sangat menjadikan kisah keluaran ini sebagai momen paling bersejarah dalam kehidupannya. Karena memang penderitaan bukanlah sesuatu yang harus diabaikan, terus-terusan ditangisi apalagi dikubur. Sebab, Iman Kristen justru mengajak kita untuk menghadapi penderitaan tersebut dengan penuh pengharapan kepada Tuhan. Pengharapan yang muncul saat semua terlihat tidak ada lagi harapan. Karena justru disitulah kita semakin menyadari bahwa Tuhan yang berkuasa juga ikut mendorong kita dan berjuang bersama-sama dengan kita untuk menghadapinya. Karena dengan kuasanya yang lembut dan penuh kasih-lah yang cuman mampu mendampingi untuk berjalan kedepan. Amin.


Komentar