Lagu Bojo Galak adalah salah satu lagu yang saya rasa
masih booming di tangga musik dangdutan. Lagu yang menceritakan tentang
seseorang yang memiliki Pasangan Galak. Tapi dia sudah menerimanya dengan
legowo dan menjalaninya dengan tulus. Lagu yang menurut saya menarik untuk
ditinjau kembali. Karena, lagu ini
sepertinya membuat beberapa orang untuk mempercayainya sebagai sebuah tanda
komitmen, sebuah ekspresi cinta, untuk tabah menjalani ketidakbaikan atau
kekejaman, untuk mengampuni dan melupakan. Padahal kenyataannya, ketika
mengasihi secara benar kita tahu bahwa tanggapan yang sehat dan penuh kasih
pada kekejaman dan penyelewangan adalah menolak kejahatan itu. Jadi,
ketabahan harusnya tak boleh dipakai
sebagai pembenaran atas kejahatan
atau ketidakadilan. Karena ketika
berhadapan dengan ketidakbenaran dan ketidakadilan, umat Kristen selalu
dianjurkan untuk mengambil sikap perlawanan tanpa kekerasan sebagai wujud
protesnya pada ketidakadilan yang berlangsung. Kita harus melawan, namun kita
melakukannya tanpa kekerasan. Dan kita melakukannya dengan penuh ketabahan.
Disisi
lain lagu ini juga baik sebagai pembanding untuk bacaan yang kita terima saat
ini, dimana Musa mendapatkan amanat dan dia harus berkomitmen dalam setiap hal
yang terjadi dalam menjalankan amanat tersebut. Adapun amanat tersebut
mennyuruh Musa untuk membantu bangsa Isarel keluar dari tanah mesir. Sementara
disisi lain, seperti yang kita ketahui pada ayat sebelumnya ada proses dimana
Musa telah menyampaikan amanat yang diberikan Tuhan kepada Musa. Tapi respon
balik dari Firaun justru tidak seperti yang diharapkan oleh Musa. Karena itu,
Musa menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan (5:22-23).
Lalu Musa kembali menghadap
Tuhan, katanya; “Tuhan mengapakah Kauperlakukan umat ini begitu bengis? Mengapa
pula aku yang Kauutus? Sebab sejak aku pergi menghadap Firaun untuk berbicara
atas nama-Mu, dengan jahat diperlakukannya umat ini, dan Engkau tidak
melepaskan umat-Mu sama sekali.”
Mungkin kalau dikembalikan pada lagu “bojo galak”,
Musa akan berkata “Ya sudahlah Tuhan mungkin ini memang nasib orang Israel
untuk hidup dalam penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang mesir.
Ungkapan-ungkapan yang serupa yang diucapkan oleh bangsa Israel, saat mengajak
orang-orang Isarel untuk keluar dari mesir.
Tetapi,
realitanya tidak demikian karena bila itu terjadi maka Musa hanya berkeluh
kesah dan mati bersama kekesalan dan keluh kesahnya. Sedang yang dilakukan Musa
adalah berkeluh kesah kepada Tuhan, tapi
bukan untuk menyerah melainkan menyampaikan apa yang dia rasakan sebagai
manusia yang ingin berjuang tapi mendapatkan penolakan.
Bahkan
karena realita yang demikian membuat kita meyakini bahwa setiap orang berhak untuk berkeluh kesah, bukan mengubur
keresahan dan kesakitan yang kita alamai. Berkeluh kesah baik untuk
pengembangan diri, memang benar bahwa setiap detiknya semua orang diajak untuk
bersyukur. Tapi rasanya Tuhan juga tidak
menginginkan umatnya terus-terus berdiam dan menguburkan perasaannya yang sakit
dan resah. Karena, nyatanya Dia juga mau mendengar dan pengertian kepada
umatnya. Bahkan setiap dari kita bisa secara langsung menyampaikan apa yang
kita alami secara langsung kepada Tuhan.
Karena
itu, saya terkadang suka mengkritik Gereja-gereja
yang memiliki mimbar tinggi-tinggi. Seolah-olah Tuhan itu ada diatas,
padahal diluar bumi masih banyak planet-planet lain yang ukuran dan jaraknya
jauh lebih besar daripada kita. Artinya, kita selalu memikirkan Tuhan yang jauh
dan tinggi. Sementara Tuhan sedang ada dibawah bersama-sama dengan kita, mau
berbagi cerita dan berjalan bersama-sama dengan kita menghadapi setiap
persoalan yang kita alami di dunia ini. Seperti tema kita minggu ini, Tuhan
memang berkuasa. Tapi kuasanya bukanlah kuasa seperti raja atau pemerintahan
lainnya. Karena kuasanya, selayaknya seorang yang menyangi kita. Bukan
menentukan jalan kita kedepannya, tapi berjalan bersama sama dengan kita untuk
menghadapi segala situasi didepannya.
Kemudian,
hal lainnya yang mungkin selama ini dilupakan bahwa Musa tidak sendiri. Karena
dalam perjalanannya dia juga dibantu oleh Harun, dan mungkin dukungan-dukungan
yang lainnya didepannya. Sehingga dia mampu menjalani amanat yang diberikan
Tuhan dengan teguh. Karena itu pula, maka dari hal ini kita menyadari bahwa ketabahan bukan soal kebajikan batin yang
sifatnya individual sekalipun tak jarang seseorang harus menjalani penderitaan
dengan penuh ketabahan seorang diri. Namun, ketabahan sesungguhnya adalah
sebuah kebajikan komunal. Misalnya seperti yang terjadi pada komunitas GKI
Yasmin dan HKBP Filadelfia. Mereka mampu bertahan bukan karena
individu-individu keras kepala tertentu, melainkan karena komunitas yang berisi
orang-orang yang ringkih, yang saling menguatkan dan mengokohkan satu terhadap
yang lain. Ataupun seperti apa yang disebutkan oleh Tabitha Suzuma, “Di ujung
hari itu, ini semua soal seberapa anyak engkau dapat menanggungnya, seberapa
banyak engkau dapat tabah. Bersama-sama, kita tidak melukai siapa pun;
terpisah, kita memusnahkan diri kita sendiri”. Demikian pula saya meyakini bahwa Gereja-gereja lainnya saat ini juga dapat semakin berkembang, bukan
karena beberapa orang saja. Melainkan karena semangat dari orang Kristen yang
ingin mewartakan Kabar Baik. Karena tugas untuk mewartakan Kabar Baik itu
sendiri, bukanlah sekedar tugas pendeta saja. Tetapi tugas dari setiap pribadi
kita masing-masing yang meyakini bahwa Tuhan berkuasa dalam diri kita untuk
mengasihi sekeliling atau bahkan diluar perpulungan kita.
Selain daripada itu dalam bacaan kita
hari ini, kita juga melihat seperti apa dan bagaimana Tuhan memberikan amanat
kepada Musa, sedang disisi lain penulis juga menyaksikan bagaimana Tuhan juga
mengeraskan hati Firaun. Sehingga dalam beberapa kasus, sering dari kita
menyatakan bahwa Tuhan sedang mencobai kita. Bila terjadi gunung meletus,
longsor ataupun banjir. Kita berkata bahwa ini adalah cobaan dari Tuhan kepada
orang-orang yang dicintainya. Sementara bila fakta ini benar adanya bahwa
cobaan juga asalnya merupakan dari Tuhan maka rasa-rasanya Tuhan seperti dalang
yang sedang memainkan lakon kita setiap harinya. Apalah arti hidup kalau toh akhirnya, setiap langkah kita sudah
ditentukan dan digerakan oleh Tuhan? Menarik pembahasan yang seperti ini, tapi
rasanya pembahasan yang demikian ini baik bila kita simpan dulu.
Tapi
saya menyadari bahwa memang saya secara sengaja untuk mengungkapkan hal ini
kepada kita semua. Karena banyak dari
kita, saat menghadapi masalah justru lari dari masalah tersebut dan menganggap semua
ini sudah ditakdirkan kepada kita. Tuhan menjadi kambing hitam dalam diri
kita. Makanya seorang tega mencuri demi kebutuhan anak-anaknya dan menganggap
bahwa dirinya sudah ditakdirkan sebagai pencuri. Seorang suami jatuh cinta
kepada perempuan lain dan menceraikan istrinya, kemudian menganggap bahwa ini
adalah jalan Tuhan untuk kita cerai. Saat pemerintahan kita jelek, kita pasrah
dan beranggapan bahwa ini sudah ditakdirkan. Padahal kitalah yang memilih
pemerintahan kita sendiri, dan kita juga berhak untuk protes kepada
pemerintahan.
Saat membicarakan hal ini, saya
teringat kembali dengan GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, kedua Gereja yang
sedang mengalami masalah dengan pemerintahan. Tapi mereka tidak diam, karena
secara rutin, dua minggu sekali mereka beribadah di depan Istana Kepresidenan
di wilayah Monas, untuk mengekspresikan iman, pengharapan dan kasih mereka. Mereka tidak menjadikan ibadah sekedar alat
protes, namun mereka menyatupadukan ibadah dan protes sebagai satu semangat
yang sama, yakni semangat injil. Semangat yang memproklamasikan warta kehidupan
dari Allah kepada dunia, yang kemudian di hidupi oleh Gereja dan semangat
proklamasi warta keadilan yang disuarakan Gereja kepada dunia.
Tapi
rasa-rasanya semangat yang demikian perlu kita munculkan kembali. Sebab dalam
bayangan saya, pikiran-pikiran yang tidak mau memikul salib, cuman mau senang
justru itulah yang menguasi pikiran kita. Sementara umat Israel sangat
menjadikan kisah keluaran ini sebagai momen paling bersejarah dalam
kehidupannya. Karena memang penderitaan bukanlah sesuatu yang harus diabaikan,
terus-terusan ditangisi apalagi dikubur. Sebab, Iman Kristen justru mengajak
kita untuk menghadapi penderitaan tersebut dengan penuh pengharapan kepada
Tuhan. Pengharapan yang muncul saat semua terlihat tidak ada lagi harapan.
Karena justru disitulah kita semakin menyadari bahwa Tuhan yang berkuasa juga
ikut mendorong kita dan berjuang bersama-sama dengan kita untuk menghadapinya.
Karena dengan kuasanya yang lembut dan penuh kasih-lah yang cuman mampu
mendampingi untuk berjalan kedepan. Amin.
Komentar
Posting Komentar