Islam
dan Kristen adalah agama yang masuk dalam bingkai Abrahamic Religions, ada banyak persinggungan diantara keduanya, dan ini menjadi hal yang biasa ditemukan, baik dalam hal istilah-istilah, konsep-konsep,
maupun nama-nama tokoh yang memiliki kesamaan ataupun perbedaan dalam kisahnya,
termasuk Maryam yang disebut Maria dalam Alkitab. Meskipun begitu, pemaknaan
akan Maryam antara kedua agama kepada tokoh ini tidak selamanya sama. Oleh
karena itu, secara khusus tulisan ini mencoba untuk menelusuri bagaimana
“Maryam” dipandang dalam Al-Quran, (dalam
kesempatan ini dibaca dari Surah Maryam yang diwahyukan kepada Muhammad SAW.)Adapun dalam penelusuran kali ini, penulis merujuk pada penafsir (selanjutnya
dibaca mufassirum [Jamak], mufassir [tunggal]) perempuan yakni
Aliah Schleifer dan seorang novelis perempuan juga yakni Sibel Eraslan dalam
melihat Maryam dalam QS 19:16-34. Namun sebelum sampai kepada pembahasan
langsung mengenai tokoh Maryam, baiklah jika kita menelusuri sekilas tentang
Surah Maryam dalam berbagai pandang mufassirum.
Sekilas Tentang Surah Maryam
Seperti
yang diketahui, Surah Maryam adalah surah ke-19 dalam Al-Quran yang terdiri
dari 98 ayat dan menurut banyak mufassirum
diturunkan sebelum Nabi Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah, yang disebut
surah Makkiyyah[1].
Surah ini turun sesudah surah Fathir dan sebelum surah Thaha. Surah Thaha turun
sebelum ‘Umar ra. Memeluk Islam, karea beliau memeluk Islam setelah membaca dan
terkesan dengan ayat-ayat pada awal surah Thaha, sebagaimana dikenal luas dalam
biografi beliau. Ini berari surah ini turun sekitar tahun keempat masa
kenabian.[2]
Seperti yang diketahui, Nabi Muhammad SAW. berdakwah selama tiga belas tahun di
Mekkah[3],
sehingga bisa. dipastikan bahwa Surah Maryam ini, adalah wahyu yang turun
kepada Nabi Muhammad SAW, saat berdakwah dengan orang-orang di Mekkah. Namun,
tema yang seperti apa yang dibawakan dalam Surah ini, tampaknya sedikit menjadi
perdebatan. M. Quarish Shihab mengutip tiga mufassirum
yakni Thabathaba’i, Al-Biqa’i, dan Sayyid Quthub dalam melihat tema utama
dari surah ini.
Thabathaba’i,
dikutip Shihab melihat tema dari surah ini sebagai peringatan dan berita
gembira[4],
sebagaimana diisyaratkan oleh ayat terakhir;
Maka sesugguhnya Kami telah memudahkannya (Al-Quran
ini) dengan bahasamu, agar engkau dapat memberi ber ita gembira dengannya kepada orang-orang bertakwa dan agar engkau memberi peringatan dengannya terhadap kaum pembangkang – QS 19:97
Berbeda
dengan Thabathaba’I, Al-Biqai lebih berpendapat bahwa tema utama surah ini
adalah penjelasan tentang cakupan rahmat dan limpahan karunia Allah SWT. atas
semua makhluk-Nya, yang pada gilirannya membuktikan bahwa Allah SWT. menyandang
semua sifat sempurna serta berkuasa menciptakan hal-hal yang ajaib sehingga
terbukti pula kekuasaan-Nya membangkitkan manusia setelah kematian mereka. Di
samping itu terbukti pula kemahasucian-Nya dari anak dan sekutu, karena siapa
yang telah terbukti keluasan kekuasaanNya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya,
maka pasti Dia tidak membutuhkan anak. Dari makna-makna itulah sehingga surah
ini dinamai Surah Maryam, karena melalui kisahnya terbukti kemahakuasaan Allah
serta kemahaluasan ilmu-Nya.[5]
Sedang Sayyid Quthub menilai surah ini berkisah uraiannya pada tauhid dan
kemahasucian Allah dari anak dan sekutu, serta mencakup pula keniscayaan hari
Kebangkitan sebagaimana halnya kebanyakan surah-surah Makkiyah. Kisah-kisah yang
merupakan dua pertiga dari isi surah ini yang menjelaskan kisah uraian itu, dan
yang kesemuanya bertujuan membuktikan keesaan Allah dan keniscayaan hari
Kebangkitan, dan dari sini pula sehingga dari celah uraiannya ditemukan
pemamparan peristiwa-peristiwa di hari Kiamat dan penolakan kaum musyrikin
terhadap hakikat tersebut.[6]
Dari
ketiga mufassirum yang dikutip Shihab
ini, ia melihat bahwa surah ini agaknya turun sebagai bantah terhadap
orang-orang Yahudi yang bersikap sangat tidak wajar terhadap Maryam, yakni
menuduh beliau dengan tuduhan yang sangat buruk, akibat kelahiran Nabi Isa as.
tanpa ayah.[7]Secara
tidak langsung, penulis mengira bahwa mufassirum
ini melihat tema dari keseluruhan surah Maryam ini hanya sebagai bantahan
kepada pendapat-pendapat yang berkembang saat itu. Walaupun penulis juga
mengakui, sedikit Thabathaba’i juga berpandangan bahwa surah Maryam juga
mengingatkan kepada Nabi Muhammad SAW. bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
tunduk dan patuh lagi tulus kepada Tuhan mereka [8]
Secara sadar juga akhirnya sudut pandang seperti Thabathaba’i inilah yang akan
menjadi pembahasan dalam penelusuran Maryam dalam QS 19:16-34, yang akan
dilihat dari sudut pandang mufassir perempuan
Aliah Schleifer dan novelis Sibel Eraslan dalam melihat Maryam.
Maryam
Adalah
kesadaran bagi penulis bahwa Quran hanyalah sebagai ‘peringatan’, ‘petunjuk’
dan ‘penjelas’, bukan sebagai catatan sejarah (Qs 50:45; 17:9; 16:64 dsb) dan
karena alasaan inilah, penulis juga tidak beharap akan menemukan dan memaparkan
biografi dari Maryam, sebaliknya yang ingin ditampilkan hanyalah kisah-kisah
yang kiranya membantu kita untuk memknai kehidupan Maryam. Adapun dalam
beberapa surah mencatat bahwa ayah Maryam bernama Imran (Qs 66:12) dan para
ulama muslim klasik menerima secara bulat bahwa ia adalah keturunan dari jalur
Nabi Dawud as.[9]
Secara genealogi, Maryam dalam catatan Ibnu Abbas dituliskan sebagai berikut :
Maryam bt. Imran b.Yasyim b.Misya b. Hazqiya b.Yawisy (b.Isya b.Yahusyafat) b.
Sulayman b.Dawud as. Sedang ibunya menurut Schleifer secara umum disebutkan
bernama Hanna bt. Faqudz. [10]
Adalah
kisah menarik dari Ibunya Maryam, yakni Hanna adalah perempuan mandul. Bahkan
sampai di masa menopausenya, Hanna tidak memiliki seorang anak; oleh sebab itu,
ia sangatlah menginginkan seorang anak dengan menjanjikan sumpah pentahbisan
atas bayi yang belum lahir tersebut. Menurut berbagai tafsir klasik, sudah
merupakan kebiasaan pada saat itu untuk mempersembahkan anak laki-laki untuk
kuil. Mereka akan tinggal di kuil tersebut, beribadah di sana dan melayaninya
hingga usia purbetas, di mana mereka dapat memilih utuk melanjutkan pelayanan
mereka atau tidak.[11]
Sehingga dapatlah dibayangkan, mungkin (?) Maryam adalah bagian dari sedikit
perempuan yang dipersembahkan. Adapun Hanna membawa Maryam ke ‘para rabbi yang
ahli menulis’ – yang disebut oleh beberapa penafsir dengan ‘anak cucu Harun’
yakni di Bayt al-Maqdis dan diasuh oleh Zakariyya sebagai suami dari bibi
Maryam.[12]
Dan dengan demikian Tuhan secara ajaib telah mempertemukan Maryam dan
Zakariyya, pemimpin para rabbi dan ia sendiri adalah seorang nabi, dan dengan
melakukan hal itu, berarti Maryam meendpat bimbingan spiritual yang terbaik.
Tidak hanya bimbingan spiritual saja, dalam kehidupanya Maryam selalu mendapatkan
keajaiban yang berulang-ulang diberikan Allah kepada Maryam, seperti
mendapatkan buah terbaik yang menurut Maryam kesemuanya adalah pemberian Tuhan .(Qs.
3:37).[13]
Dari
berbagai kIsah
ini, dapatlah kita simpulkan bahwa Maryam adalah seorang yang sesuai dengan
namanya yakni “seseorang yang beribadah” dan seringkali mendapatkan rezeki yang
tidak sekedar rezeki, tetapi rezeki yang terbaik dari Tuhan. Jauh juga kiranya
dari kita melihat bahwa Maryam adalah seorang yang berdosa mengingat Maryam
yang hidup dengan Zakaria yakni seorang rabi sekaligus nabi yang memberikan
bimbingan spiritual yang terbaik (bdk. QS 3:42). Pandangan ini menjadi penting
dijadikan disaar dalam melihat Maryam sebelum akhirnya menelusuri Maryam dalam
QS 19:16-34 sebagai Bunda Suci Sang Nabi.
Bunda Suci Sang Nabi - QS 19:18-34
Dalam
Islam sunni tradisional, Maryam as. adalah tokoh penting karena dirinya
sendiri. Ia tidak hanya menempati posisi golongan tertinggi di antara para
wanita, tetapi ia ditempatkan dalam kelompok tertinggi di antara semua manusia.
Dalam faktanya, dari perspektif para ulama yang menganggap Maryam sebagai nabi
perempuan, ia dianggap menyamai aspek kenabian anak laki-lakinya, Isa as. Bagi
orang-orang yang memfokuskan pembahasan pada prestasi spiritual Maryam yang
menonjol, ia dipandang sebaggai perempuan yang diberikan berkah berupa
tingkatan-tingkatan (maqmat)
perkembangan spiritual yang mendekati tingkatan spiritual yang mendekati
tingkatan spiritual Nabi Muhammad SAW.[14]
Sehingga kita tidak akan menemukan kisah-kisah Maryam dalam Al-Quran hanya
dipandang sebagai ibu Isa as. as, demikian juga penulis akan menelusuri dari
Surah Maryam 16-34 yang akan dibagi dalam tiga bagian ;
1. Maryam
Menerima Pewahyuaan – QS 19:16-21
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran,
yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah
timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami
mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk)
manusia yang sempurna. Maryam berkata : “Sesungguhnya aku berlindung dari
padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” Ia
(Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk
memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam berkata: “Bagaimana akan
ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun
menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata :
“Demikinalah”. Tuhanmu berfirman:”Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat
Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahamat dari Kami; da
hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”.
Seperti
yang diketahui, Maryam tinggal di miharab yang dibuatkan Nabi Zakaria untuknya.
Dalam Miharab tersebut, Eraslan menuliskan Maryam tumbuh dalam pilihan
Tuhannya, bangkit dalam pendidikan hidayah dari-Nya. Maryam disebutkan sebagai
seorang penyabar dan teguh dalam keadaannya yang yatim piatu[15] demikian
sampai ia tumbuh dewasa. Sehingga wajarlah bagi Eraslan, para malaikat menjadi
teman setianya.[16]
Miharab
yang Maryam tinggali juga dibatasi oleh tirai, sebagai pembatas untuk
orang-orang yang berkunjung kepadanya dan tirai ini jugalah bagi Eraslan, yang
menyiapkan Maryam kepada Jibril. Seperti yang dikisahkan dalam QS 19:16-17,
Jibril-lah yang akan diturunkan oleh Allah dalam wujud manusia[17],
agar Maryam tidak dikejutkan dengan kehadiran dari Maryam. Walaupun pada
akhirnya, Schleifer melihat Maryam juga merasa takut dan berdoa kepada Allah
untuk memperoleh perlindungannya dari makhluk yang muncul sebagai seorang
manusia ini, yang tampak asing baginya.[18] Hingga
hembusan hawa ketenangpun akhirnya merasuk ke dalam jiwanya sebagai kuasa Ilahi
yang telah membuat Maryam akhirnya rela kepada takdirnya.
Jauhlah
dari pada kita untuk melukiskan kerelaan Maryam ini sebagai kerelaan budak yang
putus asa dan tidak punya pilihan. Sebaliknya keterangan yang diperlihatkan
dalam kisah ini dan apa yang terjadi pada yang kita lihat dalam kehidupannya
mengkisahkan kereleaan Maryam dalam bentuk tangan yang terbuka, yakni tangan penyabar dan
penyayang. Sebagai tangan perjuangan yang memikul ujian menghadapi berbegai
kesulitan, memegang amanah dari Allah untuk masa depan dengan kekuatan yang
terhimpun dari doa. Suatu ketundukan yang bebas dalam melayani dan memuliakan
Tuhan. Suatu ketundukan, selayaknya Ibrahim dan Musa yang harus meninggalkan
tempat tinggalnya dan melayani Allah. Sama halnya seperti apa yang diungkapkan
dalam Injil Lukas tidak ada putus asa , malah Maryam bernyanyi memuji Allah
karena kandungan yang dia terima dari Allah (bdk. Luk 1:46-55).
2. Maryam
dan Proses Kelahiran Isa as. – QS 19:22-26
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri
dengan kadungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan
anak memaksa Ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai,
alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti lagi dilupakan.” Maka
Jibril menyerunya dari tempat yang: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya
Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon
kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,
maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang
manusia, maka katakanlah:”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan
Yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada
hari ini”.
Setelah
lama waktunya Maryam mengandung, dikisahkan Maryam akhirnya menyisihkan diri
dengan kandungannya ke tempat yang jauh. Eraslan, mengisahkan kepergian ini
dengan pertama-tama ditemani oleh Yusuf[19]
dan kemudian berpisah karena permintaan Maryam yang ingin pergi sendirian
dengan kandungannya. Maryam, dilukiskan pergi dengan berpasrah kepada kehendak
Allah. Karena bagi Eraslan tempat yang jauh itu telah menjadi takdir bagi
Maryam dan dalam kesendiriannya, Maryam
tidak pernah merasa gentar. Bahkan Eraslan jelas melihat jiwa kesatrialah yang
menguasai diri Maryam dalam kepergiannya ini[20]
Sangat menakjubkan bagi penulis sendiri melihat kepergian perempuan ini,
mengingat selama ini Maryam hanya tinggal bersama Nabi Zakaria dan selalu
berlindung dibalik tirai yang terpasang dalam mihrab yang Maryam tinggali.
Jelaslah, bukan hanya jiwa kesatria yang merasuk dalam diri Maryam, keberanian
seorang Ibrahim juga hadir dalam diri Maryam. Keberanian untuk keluar dan
mengikuti kehendak dan tunduk pada petunjuk Allah saja, juga terlihat dalam
diri Maryam. Sehingga Maryam yang dilukiskan kepada kita saat ini, bukan lagi
sekedar Maryam yang bersukacita dengan menyanyikan pujiannya seperti dalam
Injil Lukas. Lebih lagi, Maryam juga seorang yang berjiwa Kesatria, yang mau
menerima dan berjuang atas apa yang diberikan Allah kepadanya.
Kemudian
perjalannnya yang sendiri ini dan menahan banyak rasa sakit, akhirnya
menggiring Maryam ke pohon kurma di sekitar Yerusalem tempat dimana akhirnya Ia
sendirian dalam proses kelahiran Isa as. Proses kelahiran yang terus memberikan
dia rasa sakit dan menyandarkan dirinya di sebatang pohon kurma. Demikianlah kelahiran
ini dilukiskan dalam Alquran, seolah kemapanan duniawi telah dicabut darinya
demi suatu ujian yang bahkan membuatnya sangat menderita (QS19:23). Eraslan
melukiskan Maryam berada dalam kesendirian yang telah diatur oleh Allah
sehingga dunia dan isinya tidak lagi manis baginya. Bersama dengan keindahan
dan kemegahannya, dunia seolah-olah meninggalkan dirinya. Tidak seperti manusia
yang selalu membahagiakan diri dengan harapan duniawi. Sehingga kesakitan yang
dialami oleh Maryam, bagi Eraslan semua itu adalah rintih dan kepedihan yang
bukan bersandar kepada dunia dan nafsu manusia. Sebaliknya, Eraslan melihat
semua ini sebagai tempahan Allah bagi jiwa Maryam.[21]
Setelah
kelahiran itu selesai, tidak ada seorangpun yang hadir sebagai pelipur lara,
pendukung, penopang, maupun pemberi kesenangan selain Jibril yang datang dan
memberinya kata selamat. Sungguh tidak heranlah jika Eraslan melukiskan Jibril
sebagai sahabat bagi Maryam, teman berbagi dan juga penopang bagi Maryam[22]
Lagi (!), pernyataan untuk perempuan yang lemah dalam kontruksi sosial,
seolah-olah dipatahkan dalam kisah Maryam ini. Perjuangan Maryam bersama
penderitaanya tidak membuat dia terpuruk dalam rintihannnya, jiwanya ditempah
oleh Allah dan Malaikat menjadi pengusap bagi pungggung dan membelai rambutnya
sebagai sahabat Maryam. Tidak heranlah, jika Maryam bagi penulis bukan hanya
sebagai Bunda bagi Sang Nabi, tetpai Maryam juga sekaligus sebagai Ayah bagi
Sang Nabi.
Setelah
proses kelahiran tersebut, Maryam akhirnya bernazar untuk tidak berbicara
dengan manusia manapun yang ditemuinya. Hal ini memberikan suatu isyarat kepada
kita akan bentuk penyerahan Maryam kepada Allah. Karena semua kejadian yang
menimpanya memang datang dari sisi Allah dan hanya Allah pula yang akan mampu
membelanya dengan cara paling baik. Seperti yang dituliskan oleh Eraslan;
Biarlah Maryam tidak bicara. Biarlah ia dalam diam
seribu bahasa. Biarlah ia diam seribu kata. Sebab, “kata-katanya” telah berada
dalam gendongannya. Apalagi, Maryam sudah mencurahkan semuanya. Ia luapkan
hingga tak tersisa. apa-apa. Selain Ruhullah yang ada dalam buaiannya. Dialah
sang “Kalamullah” yang menjadi dalilnya. Sang dalil yang julukannya adalah Isa
as. putra Maryam. Dialah kini yang akan mengatakan kata-kata yang paling baik.[23]
Nazar
ini jugalah yang menjadi loncatan awal untuk kisah selanjutnya saat Maryam
membawa Isa as. kepada kaumnnya dengan menggendongnya.
3. Maryam
dan Pasca Kelahiran Isa as.– QS 19:27-34
Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan
menggendongnya, Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan
sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali
bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.”
maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan
berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” Berkata Isa as.:”Sesungguhnya
aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku
seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan)
zakat selama aku hidup; dan berkati kepada Ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku
seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada,
pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku
dibangkitkan hidup kembali”. Itulah Isa as. putera Maryam, yang mengatkan
perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarnnya.
Seperti
kebiasaan manusia ketika melihat perempuan hamil dan tidak memiliki suami,
demikian jugalah yang terjadi dengan Maryam. Ia mendapat sanksi sosial, berupa
pertanyaan-pertanyaan yang memedihkan hati. Bahkan Maryam sendiri disebutkan sebagai
“saudara perempuan Harun”, yang berarti teguran baginya karena telah melahirkan
anak tanpa melakukan pernikahan, suatu perbuatan dosa yang mengejutkan
berdasarkan posisinya di kuil dan kesalehan keluarga dekat dan nenek moyangnya
yang telah dikenal.[24]
Kepedihan itu sangatlah dirasakan Maryam, bahkan Eraslan melukiskannya sebagai
ujian yang begitu berat, tinggi menjulang bagai Gunung Ararat dan Himalayapun
juga menempel kepadanya, sehingga membungkukkan punggung Maryam[25].
Semua karena dakwaan dan fitnah yang ia dapatkan dari berbagai orang yang
dijumpainya. Tapi dibalik semua rasa itu bagi Eraslan, Maryam tetaplah
perempuan yang dengan hati yang terbuka
menerima dengan penuh perasaan malu dan tertunduk pada apa yang telah ditiupkan
malaikat sebagai takdir dari Ilahi.[26]
Hingga kemudian tangannya menunjuk kearah Isa as., sebagai isyarat atas jawaban
dari semua fitnah dan dakwaan yang datang kepadanya. Tetapi seperti dalam teks
yang dibaca, mereka malah meresponnya dengan negatif. Hingga akhirnya, Allah
seperti yang diharapkan berbuat terbaik melalui Isa as, yang berbicara langsung
kepada mereka yang mendakwa dan memberikan fitnah kepada Maryam. Perkataan
tersebut, bagi Eraslan bagaikan perkataan yang keluar dari dalam lubuk jiwanya
yang membuat seluruh hamparan dunia didepannya berubah seketika. Hal ini
jugalah bagi Eraslan memberikan keterangan tentang Maryam dan Isa as. memiliki
satu kesatuan. Menyatu dengan sang anak di sepanjang waktu. Demikianlah
disebutkan Eraslan, Maryam yang tak pernah berlepas tangan dari Isa as.,
putranya. [27]
Pemahaman Baru dari Kisah Maryam Saat Melahirkan Isa Al-Masih.
Menarik adalah kata
pertama yang muncul dalam pemikiran penulis saat belajar dari kajian tematik
dari Schleifer dan novel yang ditulis oleh Eraslan. Karena saat penulis belajar
pada kedua kajian tersebut, penulis diajak untuk tidak takut lagi melihat kisah
Maryam yang utuh ditulis dalam Al-Quran. Bahkan keberanian ini berlanjut dengan
menjadikan kedua perempuan ini sebagai teman berdialog, mengingat kedua karya
ini sangat ramah untuk dianalisa lebih jauh. Sehingga dari analisa yang
berlangsung, membuat penulis seolah-olah dibawa kepada pengenalan akan diri
Maryam yang secara utuh mengambil peran dalam karya Tuhan atas kelahiran
putranya. Sangat berbeda dengan mufassirun
sebelumnya, yang justru membawa pada dialog yang muncul sangat tidak ramah. Hal
ini disebabkan karena pembahasan yang dilakukan oleh mufasirun sebelumnya lebih
mengajak penulis untuk masuk dalam perdebatan monotheisme dan menyampingkan
peran Maryam yang justru sangat menjadi utama dalam penghayatan yang dituliskan
oleh Schleifer dan Eraslan dalam karyanya. Adapun saat penulis dibawa terhadap
pengenalan Maryam secara utuh berelasi dengan Tuhan, munculah refleksi berupa pemahaman
baru yang menurut penulis layak untuk dibagikan , yakni mengenai ketundukan
yang bebas dan spritualitas penderitaan yang terlihat dari kisah Maryam
melahirkan Isa Al-Masih.
1
Ketundukan yang Bebas
Penulis dalam hal ini melihat bagaimana Tuhan yang
berkarya atas perjuangan Maryam baik dalam kesendiriannya ataupun perjuangan
Maria yang selama ini dihayati penulis saat melahirkan bersama Yusuf
tunangannya. Sekalipun perbedaan kedua kisah ini begitu jelas dari semula.
Namun justru karena perbedaan tersebut, penulis melihat bagaimana kekhasan
Maryam dan Maria membawa penulis pada penghayatan akan Tuhan yang selalu hadir
dan bersama dengan Maryam dan Maria saat melahirkan putranya. Sehingga muncul
suatu pemahaman baru tentang Tuhan dan relasinya dengan manusia. Lebih khusus
pada ketundukan manusia yang diperlihatkan Maryam dan Maria, namun secara bebas
pula untuk berelasi dengan diri-Nya. Bahkan karena ketundukan dari yang
dihidupi Maryam dan Maria yang membuat penulis menemukan sosok perempuan yang layak
untuk dijadikan inspirasi, bukan hanya kepada kesalehan yang begitu menonjol
dalam dirinya. Hal ini dipastikan penulis dengan melihat sikap Maryam yang
memiliki hati yang tunduk dan tergerak oleh wahyu yang dihantarkan oleh
malaikat Jibril dari Tuhan, dan mendorong dirinya untuk mengejar atau
melaksanakan wahyu itu karena menjunjungnya tinggi. Tanpa ada sedikitpun
paksaan yang berasal dari luar diri Maryam. Sehingga dirinya mengindahkan serta
menyatakan wahyu tersebut di dalam dunia melalui perbuatan-perbuatan konkret
yaitu dalam proses kelahiran dan perjumpaannya dengan kaumnya. Suatu sikap yang
mengingatkan penulis pada penghayatan Marianne Katoppo[28] mengenai
sosok Maria, terkhusus mengenai ketundukan yang baginya sama sekali bukan
ketundukan yang hina dari seorang budak yang tidak punya pilihan. Sebaliknya
bagi Katoppo, ketundukan ini merupakan ketundukan yang kreatif dari seorang
manusia yang sepenuhnya bebas, yang – tidak tunduk pada manusia lain yang mana
pun juga – bebas untuk melayani Tuhan. Bahkan penulis bisa lebih memahami
mengenai ketundukan yang bagi Katoppo ada dalam diri Maria yang mirip dengan
ketundukan Abraham dan Musa, yang meninggalakan keamanan lingkungan yang
dikenalanya untuk memulaikan suatu perjalan ke wilayah yang tidak dikenalnya.[29]
Kemudian dari karya Schleifer dan Eraslan, penulis juga
dapat secara lebih memahami mengenai istilah keperawanan yang dikaji oleh
Kattopo yang terdapat dalam diri Maria. Sebab menurut Katoppo istilah
“keperawan”, yang ada pada diri Maria bisa menunjuk pada suatu sifat, suatu
sikap batin, bukan suatu kenyataan fisiologis atau eksternal. Atau dengan kata
lain, kesalehan Maria yang juga sangat menonjol dalam pembahasan Maryam di
kalangan mufassirun ternyata bukan
hanya karena keperawanan yang secara fisiologis. Karena keperawanan bagi
seorang Katoppo adalah seorang perempuan yang tidak menjalankan suatu kehidupan
yang ‘terikat hubungan’; seorang perempuan yang bertumbuh menjadi utuh di dalam
dirinya sendiri sebagai seorang pribadi yang lengkap dan terbuka bagi orang
lain.[30]
Lebih lagi dalam memikirkan Maria, Katoppo justru melihat dalam konteks kasih
dan pemberian diri yang lebih luas. Katoppo menganggumi dan menghargai
kepekaannya terhadap ketidakadilan sosial dan kesediannya mengambil risiko
moral demi suatu perubahan sosial yang diperlukan. Karena, Katoppo memandang
Maria sebagai model yang utama dari kemanusiaan, yang bertumbuh menjadi citra
Tuhan sepenuhnya. Sebagai perawan yang siap menerima tindakan Tuhan dan ibu
yang kreatif; ikut serta dalam misi menyampaikan kabar baik tentang keselamatan
kepada dunia, dia merupakan model bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga
untuk lelaki. Maria merupakan manuisa yang baru (lelaki-perempuan), bersikap
siap menerima di hadapan Tuhan, yang memanggilnya menjadi imago Dei[31]. Dan secara sadar, penulis dapat lebih
memahami kesemua hal ini dari kegiatan belajar penulis pada penghayatan
Schleifer dan Eraslan mengenai kisah Maryam saat melahirkan putranya; yakni
dengan memperlihatkan diri Maryam yang tunduk, namun tidak terikat melainkan
secara bebas merespon setiap tindakan Tuhan pada dirinya. Sampai pada
puncaknya, Maryam yang ada dalam penghayatan Schleifer dan Eraslan
memperlihatkan bagaimana rahmat dan belas kasihan yang diterimanya, kepada
kaumnya.
2
Spritualitas dalam Penderitaan
Pemahaman baru yang lain muncul dari kajian ini
berdasarkan pada apa yang dituliskan oleh Eraslan terkhusus tentang pengalaman
akan kesengsaraan yang dialami oleh Maryam pada proses kelahiran putranya,saat
ia mengungkapkan rintihannya (QS 19:23) yakni,
“Begitu kepedihan semakin menjadi, Maryam semakin sadar
adanya kehangatan dalam setiap tarikan napasnya. Seolah-olah Allah yang telah
menjadikan kesunyian malam terasa semakin pekat dalam derita, semakin menyayat
di lubuk hatinya, telah mengirimkan para malaikat untuk melegakan hati Maryam.”
yang seolah-olah membawakan pemahaman akan kesengsaraan Maryam
berujung pada penghayatan akan bersama dengan Tuhan. Seperti yang dalam tradisi
kekristenan diperkenalkan oleh St. Yohanes dari Salib, suatu spritualitas yang
melihat bahwa seseorang akan pernah mengalami apa yang disebut St. Yoahnes dari
Salib sebagai Malam Gelap; yakni
malam dimana seseorang seperti merasakan tentang kekosongan atau kefanaan yang
tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami Maryam saat kelahiran putranya.
Namun justru dari Malam Gelap Maryam
mampu melakukan perjalanan yang disebut St. Yohanes dari Salib sebagai
perjalanan cinta di mana sang mempelai meninggalkan segalanya, pergi dengan
jiwa bebas untuk menemui sang mempelai pria dan bersatu dengan dia.[32]
O malam bahagia! O Malam yang lebih indah daripada fajar
pagi! Apa yang tampak seperti kegelapan bengis benar-benar merupakan cahaya
kuat dari Allah, yang memberikan kebijaksaaan mendalam. Ini adalah malam yang
mengubah kekasih yang dicinta menjadi kekasih yang mencinta. Akhirnya adalah
akhir dengan ekstase:
Aku tinggalkan diriku, aku lupakan diriku
Aku telungkupkan wajah pada Kekasihku[33]
Dalam hal ini, penulis tidak bermaksud untuk menguraikan
dan berkonfrontasi secara lengkap dengan kajian Marianne Katoppo ataupun
Yohanes dari Salib. Hanya saja dari penghayatan Schleifer dan Eraslan kita
menemukan bahwa kisah ini sangatlah umum dialami oleh manusia. Karena itu,
(lagi) penulis disadarkan akan sosok Maryam yang menjadi inspirasi dan relavan untuk
dihidupi bagi seluruh manusia yang akan dan pernah mengalami kesengsaraan
sedemikian hebat ini. Sebab dalam penghayatan Schleifer ataupun Eraslan kita
tidak menemukan sosok Maryam yang menghubungkan penderitaannya tersebut dengan
dosa. Sebaliknya justru dalam penghayatan Schleifer dan Eraslan kita menemukan
bagaimana Maryam menempatkan penderitaan sebagai bagian dari karya Tuhan dalam
kehidupannya dan bahkan memacu dirinya untuk semakin merasakan keberadaanya
bersama Tuhan.
Walaupun penulis juga menyadari pula, bahwa kesengsaraan yang demikian ini
tidak muncul dalam pengkisahan Maria saat melahirkan putranya. Tapi, kepedihan
ini juga pernah dialami oleh Maria yang begitu terlihat dalam peristiwa
penyaliban putranya dan kepedihan tersebut tidak membuat salah satu dari
penulis Alkitab berkata bahwa diri Maria meninggalkan Tuhan. Sebaliknya Maria
tetap terus bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama dengan mereka yang
percaya (Kis 1:14). Sehingga wajarlah bagi penulis, bila Maria menyebut dirinya
sebagai seseorang yang berbahagia, karena Maria memang meraskan bahwa Tuhan
memperhatikan dan melakukan perbuatan-perbuatan besar kepada dirinya.
Penutup
Kisah
yang termuat dalam Surah Maryam ini, memberikan pandangan yang lebih luas akan
sosok Maryam, yang bukan hanya bersukacita akan berita gembira yang disampaikan
oleh Jibril. Tetapi dalam kedua kisah yang berbeda antara Maria (Alkitab) yang
selama ini dikenal penulis dalam kekristenan, dengan Maryam (Alquran) dalam
surah ini memberikan suatu suara feminin yang tampaknya harus terus
diperjuangkan dan didengar oleh banyak orang. Suatu kisah dengan memuat suara
akan jiwa kesatria yang juga dimiliki oleh seorang perempuan. Suatu suara yang
bahkan menunjukan kemampuan perempuan, bukan hanya menjadi Ibu, tetapi menjadi
Ayah juga (?) bagi seorang Isa as.
Melihat kisah Maryam
dan Maria dalam batasan-batasan yang sudah ada, hanya mempersempit kebenaran
yang dapat kita temukan di dalamnya. Mencari dan terus mencari makna dalam
relasi kisah yang sama ataupun berbeda justru akan membuat kebenaran itu terus
berkembang. Karena persinggungan antara Maryam dan Maria bukanlah menjadi
batasan, tetapi menjadi suara tentang seorang perempuan yang tidak hanya
bersukacita, tetapi juga berjuang dalam kehidupannya sekalipun dia sendiri
ataupun didampingi. Perempuan haruslah berjuang dalam kesataraan yang sudah
pantas untuk direalisasikan.
[1] Secara umum periode pewahyuan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu
Surah Makkiyah, Madaiyah, dan yang diperselisihkan (lih. Al-Qattan, Manna
Khalil. 1973. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor:
Litera Antar Nusa). Surah Makkiyah umumnya dimengerti sebagai surah yang
diturunkan saat Nabi Muhammad SAW masih berada di Mekah atau sebelum hijrah ke
Madinah Sebaliknya surah Madaniyah
adalah surah-surah yang diturunkan ketikaNabi sudah berhijarh ke Madinah.
Sementara itu, sebagai surah yang lain disebut surah yag diperselisihkan karea
adanya ketidaksepahaman tentang kapdan dan di mana surah tersebut diturunkan.
(lih. Sirry, Mun’im. 2013. Polemik Kitab
Suci: tafsir Reformasi Atas kritik al-Quran terhadap Agama Lain. Jakarta:
Kompas Gramedia). Mengetahui pembagian periode itu menjadi penting sebagai alat
bantu dalam menafsirkan al-Quran mengingat masing-masing periode memiliki
kekhasan tertentu.
[2] M.Quarish Shihab, TAFSIR
AL-MISBAH Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 8, Jakarta:Lentera Hati,
2002, hal. 147
[3] Fazlur Rahman, Islam,
Bandung: Pustaka, 1984. hal 12
[4] M.Quarish Shihab, TAFSIR
AL-MISBAH Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 8, Ibid., hal. 148
[5] M.Quarish Shihab, TAFSIR
AL-MISBAH Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 8, Ibid., hal. 148-149
[6] M.Quarish Shihab, TAFSIR
AL-MISBAH Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 8, Ibid., hal. 149
[7] M.Quarish Shihab, TAFSIR
AL-MISBAH Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 8, Ibid., hal. 147
[8] M.Quarish Shihab, TAFSIR
AL-MISBAH Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Quran Jilid 8, Ibid., hal. 148
[9] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, terj: Ali Masrur, Ma.Ag.,
Yogyakarta: UII Press, 2005., hal. 3
[10] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, Ibid., hal. 3-4
[11] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, Ibid., hal. 6
[12] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, Ibid., hal. 8-9
[13] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, Ibid., hal. 10-11
[14] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, Ibid., hal.127
[15] Meski setiap orang berlomba-lomba untuk mengasuh dan membantunya,
sejatinya bagi Eraslan, Ia tetaplah seorang yatim piatu. Karena bagi Eraslan,
Maryam tidak dalam perlindungan siapa-sapa. Allah sendiri yang mendidik dan
merawatnya saat kedua orangtuanya telah tiada. (Eraslan, Sibel. Maryam-Bunda Suci Sang Nabi, Ibid. hal.
152)
[16] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Jakart:Kaysa Media, 2016., hal. 152-153
[17] Dalam hal ini, Eraslan dan Schleifer melihat wujud manusia ini
sebagai lelaki yang tampan lagi sempurna.
[18] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal 18
[19] Yusuf dalam Alquran dengan apa yang digambarkan oleh Alkitab
berbeda. Karena di dalam Alquran Yusuf dianggap oleh beberapa ulama sebagai
saudara sepupuh Maryam dari pihak ibu: Maqdisi, Bad’ (Ar.), III, 119; Ibnu Katsir,Qishash, II, 388, dan dianggap
oleh para ulama lainnya sebagai saudara sepupuh dari pihak bapak: lihat
Zamakhsyaro, KAsysyaf, II, 5;Badawi, Batul, 42; Tsa’lbi, Qishash, 298. Tidak sekalipun didalm Alquran yang mengIsa as.hkan
Maryam dan Yusuf menjadi suami-istri. Pada kenyataannya menurut Schleifer,
Yusuf dengan Maryam seringkali tidak dijelaskan atau ia disebut sebagai sahabat
atau relasinya saja. Schleifer,Sejarah
Hidup Maryam, hal. 15
[20] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal. 235
[21] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal. 253.
[22] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid,, hal. 255.
[23] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal.266-267
[24] Aliah Schleifer, Sejarah
Hidup Maryam: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, Ibid., hal. 27-28
[25] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal. 9
[26] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal 15
[27] Sibel Eraslan. Maryam-Bunda
Suci Sang Nabi, Ibid., hal.15-16
[28] Marianne Katoppo yang banyak dikenal sebagai penulis novel sekaligus teolog
feminis. Selain daripada itu Katoppo juga banyak aktif dalam kegiatan-kegiatan
seperti; anggota pendiri Kelompok Hapus Hukuman Mati; anggota pendiri EATWOT Indonesia; anggota UBCHEA,
anggota WCRP. Sehingga di kalangan
teolog feminis Indonesia, namanya tidak begitu asing lagi.
[32] William
Jhonston, Teologi Mistik: Mistik Cinta, terj: Willie Koen, (Yogyakarta,
Kanisius, 2001) h. 224
Komentar
Posting Komentar