HENTIKAN REVIKTIMISASI DAN KRIMINALISASI TERHADAP PEREMPUAN KORBAN TERORISME SEKSUAL!



Akhir-akhir ini, kita sering dihebohkan dengan beberapa kasus-kasus yang dapat disebut sebagai terorisme seksual kepada perempuan. Ada yang berakhir dengan kematian dan ada pula yang menderita traumatik. Dari kesemua itu, kita juga masih saja sering mendengarkan beberapa pendapat dari “orang-orang di luar yang bersangkutan” mengatakan bahwa korban terorisme seksual, itulah yang bertangungg jawab atas terror-teror yang terjadi padanya. Sebab perempuan dianggap bersalah karena keluar di malam hari, atau karena pergi ke suatu tempat yang asing sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan terror kepadanya. Perempuan yang dianggap telah menggoda laki-laki sehingga ia diteror. Bahkan, ada pula yang menganggap bahwa perempuan juga diam-diam menikmati terror tersebut (mis: perkosaan), sehingga tidak benar-benar melawan, dan kemudian memberikan laporan seolah-olah itu sebuah perlakukan terorisme seksual. Bahkan ada yang mengungkapkan kalau perempuan yang “meminta” melalui tindakan mereka. Ironis sekali, melihat mereka yang beranggapan demikian. Seperti yang terjadi di Brasil, gadis 16 tahun disalahkan oleh orang-orang sekitar karena berpakaian minim saat kejadian pemerkosaan yang terjadi padanya oleh 30 pria[1]. Sangat gila! Mereka yang berpandangan demikian bukan hanya menyudutkan perempuan khususnya korban terorisme seksual, melainkan juga menempatkan perempuan korban sebagai pelaku kejahatan. Proses tersebut dapat diartikan sebagai kriminalisasi dan hal ini menyebabkan korban terorisme seksual kembali menjadi korban kembali yang disebut sebagai reviktimasasi. Namun sebelum melangkah lebih jauh lagi, kita perlu bertanya, apa sebenarnya terorisme seksual itu?

Terorisme Seksual ? 
Kata terorisme membangkitkan citra organisasi-organisasi rahasia ultra kanan ataupun kiri, yang anggota-anggotanya meledakan gedung-gedung mobil, membajak pesawat udara, dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah di suatu Negara lain di luar Negara kita. Tetapi, bagi Carole J. Sheffield, ada suatu jenis terorisme yang lain, yakni terorisme yang begitu melanda budaya kita saat ini, sehingga kita telah belajar untuk hidup bersamanya seolah-olah ia merupakan sesuatu yang wajar. Targetnya semuanya perempuan – dari tingkat usia, ras, dan kelas manapun. Ini adalah ciri yang umum dari perkosaan, penyiksaan istri, hubungan sumbang, pornografi, pelecehan, dan segala bentuk kekerasan seksual. Semua itu disebut sebagai terorisme seksual. Karena ini adalah sebuah sistem yang dengannya kaum laki-laki menakut-nakuti dan dengan tindakan itu mengendalikan dan mendominasi kaum perempuan.[2]
Banyak jenis terorisme seksual yang merupakan kejahatan. Namun bila kita tinjau ulang dari tindakan-tindakan ini, kita melihat bahwa mereka kemudian dianggap sebagai kejahatan bukan terutama untuk melindungi kaum perempuan melainkan untuk menyesuaikan hubungan kekuasaan di anatara laki-laki. Seperti perkosaan yang pada mulanya adalah pelanggaran terhadap hak milik seorang ayah atau suami; oleh karena itu, pada dasarnya seorang suami tidak mungkin memperkosa istrinya sendiri.[3] Kemudian pada jenis yang kedua yakni, pemukulan terhadap istri. Selama berabad-abad suami dianggap mempunyai hak untuk menghukum atau mendisiplinkan istrinya dengan kekuatan fisik. Bahkan hal-hal yang demikian sering disahkan dengan pembacaan-pembacaan budaya yang salah. Sehingga, tulisan-tulisan seperti dalam agama ataupun adat-istiadat dengan menggunakan pembacaan yang salah, selalu menjadi pilihan dan alat untuk melegalisir perlakuan demikian. Meskipun begitu, untuk saat ini  sepertinya hukum dan sikap masyarkat mengenai ketidaksahan pemukulan terhadap istri dan hak-hak sang korban perlahan telah mulai berkembang dan usaha-usaha kini dilakukan untuk memecahkan kontradiksinya. Selanjutnya pelecehan seksual yang juga menjadi jenis terorisme sekusual, yakni tindakan-tindakan sebagai pemberian perhatian seksual baik secara lisan, tulisan maupun fisik terhadap diri perempuan, di mana hal itu di luar keinginan perempuan yang bersangkutan namun harus diterimanya sebagai sesuatu yang seolah-olah “wajar”.[4]
Sehingga jelaslah dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terorisme seksual sebagai salah satu bentuk budaya atau sistem kekerasan terhadap perempuan yang bukan hanya menjadi masalah idividu semata, tetapi lebih jauh lagi merupakan masalah kejahatan yang berakar pada nilai-nilai budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan mungkin sampai berakar pada nilai-nilai agama yang salah dalam penghayatannya (mungkin?). Namun, seperti apakah kesadaran-kesadaran akan kekerasan-kekerasan dan responnya?

Kesadaran dan Respon Terhadap Terorisme Seksual
Haruslah diakui bahwa kesadaran masyarakat tentang terorisme seksual terhadap perempuan selalu dipengaruhi oleh kultur beserta simbol-simbol yang berkembang dalam masyarakat. Bahkan kadangkala kultur dan simbol ini menguatkan terjadinya kekerasan, seperti yang dibahasakan oleh Thamrin A. Tomagola, sebagi ‘restu sosial budaya terhadap kekerasan perempuan’.[5]Sehingga hal ini memberikan kenyataan kepada peranan perempuan yang bisa menimbulkan setereoitpe bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatu beban yang harus dipukul oleh perempuan atas perilakunya.Padahal sudah jelas, init tindakan kekerasan yang harus dilawan ditindak, tapi realita yang demikian tampaknya terus hidup dalam kehiduapan perempuan saat ini.

Respon korban terhadap terorisme seksual juga bervariasi, tergantung pada jenis dan bentuknya. Pada terorisme seksual yang ringan, ada kecenderunga yang tinggi pada korban untuk merespon secara pasif dan tidak melakukan perlawanan nyata sehingga reaksi spontan yang muncul adalah dalam bentuk diam atau menghindar lebih banyak terjadi.Respon semacam ini disebabkan persepi korban sendiri tentang terorisme sekusal ringan sebagai perbuatan lelaki iseng belum merupakan suatu persoalan yang serius. Namun, jika sudah merupakan suatu serangan seksual, atau kekerasan seksual yang berat, respons korba ialah mulai ada perlawanan atau melapor ke aparat, walaupun yang beraksi diam dan menghindar pun masih ada.[6] Padahal respon yang pasif dalam pandangan masyarkat hanyalahakan berakibat pembiaran yang berarti persutujuan. Tapi sepertinya pandangan yang berbeda harus kita lihat dari perempuan yang memiliki banyak pertimbangan yang ada dalam pikirannya ketika melakukan suatu reaksi terhadap kekerasan yang dialaminya. Karena tidak semua respon yang diam bisa dikatakan menolerir kekerasan itu. Walaupun pandangan ini juga masih bisa dikritisi apabila tidak memiliki  sikap dan prinsip yang spesifik terlebih kuat. Dengan itu juga, hal ini memperlihatkan bahwa ada konflik persepsi antara masyarakat dengan perempuan sebagai korban tentang sikap perempuan terhadap terorisme seksual. Di mata masyarkat, respons perempuan terhadap kekerasan yang kabur sebagai suatu sikap perempuan ‘berdamai’ dengan kekerasan. Sementara bagi perempuan itu, sikap tersebut adalah suatu alternatif yag paling baik dilakukanya untuk menghindari terjadinya kekerasan lebih parah, atau suatu pencerminan ketidakberdayaannya terhadap kekuasaan nilai-nilai patriakhis yang berkembang. Walaupun sebenarnya menjadi perjuangan bagi kaum feminis sendiri untuk menghilangkan perasaan-perasaan demikian, mencari alternative lain dan membangkitkan perempuan dalam kesataraan gender.
 Dari uraian-uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa kesadaran dan respon perempuan pada terorisme seksual akan selalu terkait dengan nilai-nilai yang berkembang tentang kekerasan dan bagaimana kekuatan-kekuatan yang dimiliki misalnya pendidikan dan akses kepada aparat atau kesadaran hukum. Sekalipun demikian, reviktimisasi dan kriminalisasi, tampaknya terus berkembang sampai saat ini. Hal ini dapat kita telusuri dalam kisah perempuan berzinah dan Yesus dalam Yohanes 7:53-8:11.

Menelusuri Reviktimisasi dan Kriminalisasi Terhadap Perempuan Korban Terorisme Seksual dalamYohanes 7:53-8:11[7]
Dalam pembacaan teks, terlihat para ahli taurat dan orang-orang Farisi berusaha mendapatkan suatu tuduhan, atas dasar mana mereka dapat menjatuhkan nama Yesus, dan di sini mereka dapat menjebak Dia dengan suatu dilema yang tajam, yakni perbedaan 2 hukum (hukum agama dan hukum sipil). Jika menuruti hukum Taurat Musa, perempuan yang demikian harus dihakimi - dihukum mati dengan cara dilempari dengan batu sampai mati (ayat 5, bdk. Imamat 20:10; Ulangan 22:22-24). Meski hal ini jelas merupakan tipe "penghakiman massa". Penghakiman dalam konteks demikian tidak hanya dilakukan sebagai reaksi spontan atas tindak kejahatan dan dosa perzinahan tetapi juga semakin menemukan motifnya yang suci yakni sebagai usaha pembelaan atas tegaknya hukum Taurat. Dengan kata lain, melempari si pendosa itu dengan batu sampai mati adalah suatu kebenaran seturut hukum. Tetapi pada masa itu hal semacam ini tidak sesuai hukum sipil Romawi. Di dalam dilema inilah mereka berusaha menempatkan Yesus. jika Dia mengatakan bahwa wanita itu wajib dilempari batu sampai mati, maka hal itu mengakibatkan dua hal berikut ini. Pertama, Dia akan kehilangan nama baik-Nya yang telah diperoleh mengenai hal kasih dan belas-kasihan, dan dengan demikian tidak mungkin lagi disebut sahabat orang-orang berdosa. Kedua, Dia akan bertentangan dengan hukum Romawi, karena orang-orang Yahudi tidak berwenang untuk menjatuhkan atau melaksanakan hukuman mati terhadap siapapun. Jikalau Dia mengatakan bahwa wanita itu wajib diampuni, orang dapat langsung mengatakan bahwa Dia mengajar orang untuk melanggar hukum Musa dan bahwa Dia memaafkan bahkan mendorong orang untuk berbuat zinah. Itulah perangkap dipasang oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi agar Yesus jatuh ke dalamnya. Akan tetapi, Dia mampu membalik serangan mereka sedemikian rupa sehingga memukul diri mereka sendiri.[8]
Namun, sepertinya kisah ini tidak hanya memberikan suatu makna yang sesederhana itu saja. Marilah kita berangkat dari kecurigaan-kecurigaan dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Pertama-tama mengenai Yesus yang membungkukkan diri dan menulis dengan jari-Nya di atas tanah. mengapa Dia berbuat demikian itu? William Barclay menemukan empat sebab atas perlakuan Yesus ini yakni;
(1) Mungkin Dia hanya ingin mendapatkan waktu dan tidak tergesa-gesa memberi jawaban. Dalam waktu yang singkat itu. Dia mungkin memikirkan hal itu dan membawanya kepada Tuhan. (2) Naskah-naskah kuno tertentu menambahkan, “Sepertinya Dia tidak mendengar mereka.” Yesus mungkin dengan saja memaksakan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk mengulangi tuduhan mereka, sehingga dengan mengulanginya mereka mungkin menyadari kejahatan yang bersifat sadis, yang ada di belakang tuduhan-tuduhan mereka itu. (3) Seely dalam Ecce Hommo memberi saran yang menarik. “Yesus telah dipenuhi oleh rasa malu yang tidak tertahan. Dia tidak dapat memandang mata orang banyak atau mata para penuduh, dan mungkin pada saat itu wanita yang terhina..... Sambil menanggung rasa malu yang membara dan rasa kacau Dia membungkukkan diri untuk menyembunyikan muka-Nya dan menulis dengan jari-jariNya di atas tanah.” Mungkin sekali bahwa lirikan mata yang penuh gairah pada muka para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kejahatan yang suram di dalam mata mereka, nafsu birahi orang banyak yang ingin tahu, rasa malu wanita itu, campuran dari itu semuanya membingungkan hati Yesus yan dipenuhi dengan rasa kesedihan yang mendalam dan belas kasihan, sehingga Dia menyembunyikan mataNya. (4) Saran-saran yang jauh lebih menarik timbul dari naskah-naskah kuno (manuskrip) yang kemudian. Naskah Armenian menterjemahkan bagian ini dengan cara demikian: ‘Dia sendiri, sambil menundukkan kepala-Nya, menulis dengan jariNya di atas tanah untuk menyatakan dosa-dosa mereka; dan mereka melihat dosa-dosa mereka di atas batu-batu itu.” Pengertian yang diusulkan ialah bahwa Yesus menulis di dalam debu dosa-dosa dari tiap orang yang sedang menuduh wanita itu. Mungkin ada benarnya usulan itu. Kata Yunani biasa dipakai untuk kata kerja “menulis” ialah graphein; akan tetapi kata kerja yang disini ialah katagraphein, yang berarti mencatat sesuatu melawan seseorang (salah satu dari kata Yunani kata adalah melawan, bhs. Inggris: against). Maka dalam Ayub 13:26 Ayub berkata: “Sebab Engkau menulis hal-hal yang pahit terhadap Aku.” (Di sini juga dipakai kata katagraphein). Mungkin Yesus sedang menghadapi orang-orang kejam (sadis) yang begitu yakin atas kebenaran diri sendiri, itu dengan mencatat dosa-dosa mereka itu. [9]
Penulis memilih sebab ketiga.yakni Yesus dalam kisah ini sepertinya telah dipenuhi oleh rasa malu yang tidak tertahan. Dia tidak dapat memandang mata orang banyak atau mata penuduh (mata reviktimisasi dan mata kriminalisasi?) dan mungkin pada mata wanita yang dibawa oleh orang-orang itu. Sambil menangung rasa malu yang membara dan rasa kacau Dia membungkukkan diri untuk menyembunyikan muka-Nya dan menulis dengan jari-jariNya di atas tanah. Kedua, kecurigaan kepada kebenaran akan perempuan yang berzinah? Benarkah perempuan itu berzinah? Ataukah ada kasus lain dalam kisah ini (terorisme seksual?) Jika ditelusuri secara realita, perbuatan perzinahan biasa dilakukan oleh dua orang. Seperti dalam Kitab Ulangan 22:13-44 juga yang menjadi dasar dari penghukuman kepada perempuan yang berzinah ini menuliskan ketetapan hukuman dalam kasus seorang perempuan yang sudah bertunangan, apabila melakukan perzinahan. Maka perempuan dan laki-laki tersebut harus dibawa keluar pintu gerbang dan mereka akan dilempari dengan batu sampai mati. Jika kita letakan kasus ini kepada perempuan yang bertunangan, maka seharusnya laki-lakinya pun haruslah diperhadapkan juga kepada Yesus. Namun dimanakah laki-laki tersebut? Kita tidak mendapati satupun teks yang berbicara mengenai laki-laki itu. Alhasil, perempuan itu tidak hanya mendapatkan perlakuaan perzinahan dari laki-laki tersebut. tetapi dia juga mendapatkan reviktimisasi dan kriminalisasi dari ahli-ahli taurat dan orang farisi. Selanjutnya dalam teks, kita juga tidak mendapati Yesus melemparkan batunya kepada perempuan tersebut. Apakah, Yesus juga berdosa sehingga Dia tidak melemparkan batunya kepada perempuan tersebut? Jika kita mengikuti alur pembacaan kepada Yohanes 8:12-29, maka kita dapati suatu pernyataan yang tegas akan kesaksian-kesaksiannya yang benar dan Dia sebagai terang dunia. Sehingga jelaslah, bahwa bukan karena Yesus tidak berdosa, maka Dia tidak melakukan pelemparan batu kepada perempuan tersebut. Sebaliknya, Yesus yang dipenuhi “bela rasa” kepada perempuan itu berusaha untuk tidak melakukan revikitimisasi dan kriminalisasi kepada perempuan, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang membawanya. Yesus menempatkan dirinya sebagai perempuan yang juga ikut mengalami apa yang dialami oleh perempuan itu dan memberikan perlindungan kepada perempuan tersebut. Demikianlah, bukan revikitimisasi dan kriminalisasi, melainkan proses konseling pastoral yang hospitality dan perlindungan kepada perempuan tersebut.

Kesimpulan 
Terorisme seksual adalah sebuah sistem yang berfungsi untuk mempertahankan keunggulan lelaki melalui kekerasan yang sesungguhnya ataupun yang tersirat. Kekerasan terhadap tubuh perempuan (perkosaan, penyiksaan, hubungan sumbang, dan pelecehan) dan pelestarian rasa takut terhadap kekerasan merupakan dasari bagi kekuasaan patriakhal. Terorisme seksual memang harus diperangi, namun selain memerangi terorisme seksual. Reviktimisasi dan Kriminalisasi terhadap perempuan korban terorisme seksual juga harus dihentikan. Seperti penelusuran yang telah dilihat dalam kisah Yesus dan Perempuan yang berzinah, jelas memberikan pesan kepada kita untuk menghentikan reviktimisasi dan kriminalisasi, sebab hal ini hanya akan memberikan keterpurkan kepada korban. Mereka akan dihantui rasa bersalah, rasa malu, hilangnya harga diri dan rasa terhina. Sikapnya lebih dapat dicirikan lebih sebagai rasa putus asa ketimbang rasa benci atau marah. Karena, mereka mearasa telah gagal dan bahwa merekalah yang bersalah.[10] Bahkan tidak jarang juga secara psikologis, pikiran dan perasaan mereka menjadi terganggu karena hal itu. Sehingga, masalah ini haruslah dipandang serius. Karena reviktimisasi dan kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan merupakan bentuk kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang juga serius dan harusnya dihentikan.




Daftar Pustaka
Adrina, Pelecehan Seksual Salah Satu Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, dalalm : Suparman Marzuki, Eko Prasetyo,dan Aroma Elmina Martha (ed), Pelecehan Seksual-Pergumulan Antara Tradisi Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995, hal. 34
Barclay, William, Injil Yohanes Pasal 8-21, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1985.
Elizabeth Schussler Fiorenza, Kebebasan Memilih dan Menolak : Melanjutkan Tugas Kritik Kita, dalam Letty M. Russel (ed), Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998., hal.51-61
Herman, Dianne, Budaya Perkosaan, dalam: Bendalina Doeka Souk-Stephen Suleeman (ed), Bentangkanlah Sayapmu, Jakarta: Persetia, 1999, hal.215-216
Tomagola, Thamrin A. Restu Sosial Budaya atau Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Nur Iman Subono (ed), Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Bekerjsama dengan The Asia Foundation, 2000.
Sheffield, Carole J., Terorisme Seksual, dalam: Bendalina Doeka Souk-Stephen Suleeman (ed), Bentangkanlah Sayapmu, Jakarta: PErsetia, 1999, hal.159
Zohran Andi Baso, dkk. Kekerasan Terhadap Perempuan: Menghadang Langkah Perempuan. Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation, 2002., hal. 111-112




[2]Sheffield, Carole J., Terorisme Seksual, dalam: Bendalina Doeka Souk-Stephen Suleeman (ed), Bentangkanlah Sayapmu, Jakarta: PErsetia, 1999, hal.159
[3]IbId. hal.164-165
[4] Adrina, Pelecehan Seksual Salah Satu Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, dalalm : Suparman Marzuki, Eko Prasetyo,dan Aroma Elmina Martha (ed), Pelecehan Seksual-Pergumulan Antara Tradisi Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995, hal. 34
[5] Tomagola, Thamrin A. Restu Sosial Budaya atau Kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Nur Iman Subono (ed), Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Bekerjsama dengan The Asia Foundation, 2000.
[6]Zohran Andi Baso, dkk. Kekerasan Terhadap Perempuan: Menghadang Langkah Perempuan. Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation, 2002., hal. 111-112
[7] Dalam penelusuran kisah ini, penulis akan mencoba menggunakan metode tafsir feminis yang dikembangkan oleh Fiorenza dalam Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998., hal.51-61
[8] Barclay, William, Injil Yohanes Pasal 8-21, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1985)., hal. 2-3
[9] Barclay, William, Injil Yohanes Pasal 8-21, Ibid., hl.3-4
[10] Herman, Dianne, Budaya Perkosaan, dalam: Bendalina Doeka Souk-Stephen Suleeman (ed), Bentangkanlah Sayapmu, Jakarta: Persetia, 1999, hal.215-216

Komentar