Refleksi dari Lukas 10:38-42
Tidak lama lagi Masyarakat Indonesia akan mengadakan
pesta demokrasi, ditanggal 17 April 2019. Walaupun sebenarnya Pesta Demokrasi
ini sepertinya sudah mulai terasa bahkan jauh sebelum tanggal 17 April. Seperti
perang-perang komentar di media-media sosial, tentang cebong dan kampret.
Ataupun tentang tuan tanah dan tuan infrastruktur. Terlihat pula ada banyak
calon-calon pemimpin yang mulai bersosialisasi kepada banyak kalangan
masyarakat. Untuk berusaha mendapatkan hati dan suara rakyat. Bahkan tidak
jarang, bentuk sosialisasi ini menjadi salah kebablasan. Mengapa? Karena banyak
calon yang belum-belum benar paham dengan apa yang menjadi masalah dan terlalu
sibuk dengan jadwal kunjugan kesana dan kesini. Alhasil, banyak calon yang
lebih mengutamakan jadwal kunjungannya bukan mendengarkan rakyatnya. Sehingga
kegiatan ini berujung pada formalitas belaka saja, tanpa ketulusan sama sekali
untuk mendengar dan melihat masalah-masalah rakyat. Suatu sikap yang saya rasa
tidak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan pada teks yang menjadi acuan saat
ini. Ketika Marta yang berusaha untuk menyambut Yesus, namun harus terjebak
dengan tradisinya (melayani tamu) dan lupa untuk melakukan hal yang utama,
yakni mendengar pengajaran dari Yesus sendiri.
Saya tidak mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
Marta itu salah, dan yang dilakukan oleh Maria itu benar. Bukan! Justru, Yesus
memberikan nasihat kepada Marta demikian, karena Marta bersungut-sungut atas
pilihan dan tanggung jawab yang dia ambil. Bahkan dia malah menyalahkan Maria
yang lebih memilih untuk diam dan mendengarkan Tuhan. Itulah yang membuat Yesus
justru menasihati Marta, bukan pada pelayanan yang dilakukannya. Seperti banyak
hal yang sering kita lihat dalam kehidupan kita saat ini. Kita memilih untuk
menjadi seorang pelayan Tuhan, memilih untuk menjadi bagian penting dalam
persekutuan Gereja. Tapi kita menyalahkan orang lain yang tidak memilih untuk
melakukan hal tersebut.
Padahal, dari teks ini kita diberitahu bahwa pelayanan
atau bahkan kegiatan-kegiatan Gerejawi yang kita lakukan bukanlah cara untuk
kita membenarkan diri dan kemudian menyalahkan orang lain yang tidak melakukan
hal yang serupa dengan kita. Justru setiap orang yang memilih untuk melayani
dan melakukan setiap kegiatan-kegiatan Gerejawi harusnya menjadi pribadi yang
rendah hati seperti apa yang Yesus ajarkan dalam kehidupannya. Atau
jangan-jangan dalam setiap pelayanan dan semua aktivitas Gereja yang kita
lakukan, tidak ada pembelajaran apapun didalamnya? Seperti para calon yang
terlalu sibuk bersosialisasi kepada masyarakat, namun terjebak pada jadwal
sosialisasinya. Tidak mendapatkan apapun, tidak belajar apapun dari masyarakat
itu sendiri!
Pernahkah diantara kita merasa lelah melayani dalam
Gereja? Letih dan bosan berbuat baik karena terasa sia-sia? Menjalani banyak
aktivitas yang bagimu baik dan kamu harap mendekatkanmu pada Tuhan, namun malah
membuatmu kecewa?
Lalu, kamu bertanya-tanya, “mengapa begini, Tuhan? Aku
sudah aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja; aku sudah tekun berbuat baik pada
sesama aku sudah berserah padaMu; tapi mengapa aku masih saja merasa kosong?
Kenapa aku malah merasa jenuh, lelah dan bahkan tersakiti? Kurang apa lagi aku
ini?
Jika hal-hal ini pernah kita rasakan, sekarang marilah
kita berefleksi pada diri kita masing-masing. Jangan-jangan, atas apa yang
selama ini kita lakukan justru sama sekali tidak memiliki “Kasih” di dalamnya.
Kita tidak sungguh-sungguh mencintai apa yang kita lakukan. Karena yang kita
cintai adalah tanggapan dan pujian orang pada diri kita. hasil yang kelihatan
nyata, dan keangkuhan diri kita sebagai orang yang merasa sudah banyak berbuat
baik pada Tuhan dan sesama. Sehingga ketika kenyataan yang kita temui tidak
seperti yang kita inginkan, kita menjadi kecewa.
Sungguhkah kita mencintai kebaikan-kebaikan itu? Bukankah
ketika, kita mencintai berarti kita setia pada komitmen untuk berbuat baik,
sekalipun menjemukan, melelahkan dan bahkan menyakitkan? Selayaknya seorang
suami yang berkomitmen dengan Tuhan untuk mengasihi Istrinya. Sehingga sekalipun
kadang kesal dengan istrinya yang cerewet, kerjaannya main facebook dan kadang
kurang perhatiannya. Rasa kecewa dan marah itu ia selesaikan dengan
mengintropeksi diri kembali dan mengampuni istrinya, sebab ia mengingat kembali
komitmen yang dia ucapkan kepada Tuhan untuk mengasihi istrinya.
Demikianlah, setiap orang yang mau mendengar dan belajar
dari Tuhan. Kita tidak dilarang dengan kesibukan pelayanan kita. Atau bahkan
pekerjaan kita yang terlalu sibuk, sampai sulit untuk hadir ke Gereja. Kisah
ini tidak menyatakan demikian. Tapi kisah ini mengajarkan untuk menaruh setiap
apa yang kita lakukan dengan kasih dan kesungguhan. Sehingga kita tidak lupa
pada esensi yang kita lakukan, bahkan pada belas kasihan Tuhan yang memberikan
tanggung jawab itu kepada kita.
Sehingga, atas semua pelayanan, kegiatan Gereja dan
bentuk-bentuk latihan rohani yang kita lakukan didasari oleh kerendahan hati. Untuk
mau mendengarkan Allah dan mendahulukan kasih. Sebab karena tuntunan dan
bimbingannya kita bisa melakukan setiap tanggung jawab yang diberikan kepada kita.
Bagaimana mungkin kita mampu melayani Tuhan, sementara kita tidak pernah mau
mendengarkan pengajaranNya? Bagaimana mungkin kita mampu melayani Tuhan,
sementara kita tidak pernah mau memberikan waktu kita untuk belajar pada
kasihNya?
Seperti kisah seorang pegawai baru dalam satu Pabrik
Tekstil. Trainner-nya memberikan
catatan kepada para pegawainya, dituliskan “Bila pegawai baru mendapati benang
yang kusut, maka mereka harus melaporkannya kepada Trainner untuk segera
diperbaiki”. Menerima catatan itu, para pegawai baru menjadi tenang. Sebab akan
ada yang membantunya saat dia mengalami kesulitan. Sampai ketika, salah satu
pegawai menemui masalah benang kusut. Ia teringat dengan apa yang dikatakan
trainner tersebut. Tapi menurutnya, hal itu tidak diperlukan. Sebab, ia tidak
ingin dikatakan manja. Karena itu, ia berusaha sedemikian rupa untuk
memperbaiki dan menyelesaikan masalah tersebut. Berharap, nanti trainner akan
memberikan pujian atas apa yang telah dia lakukan. Namun, memperbaiki hal
tersebut sepertinya tidak semudah yang dia bayangkan. Ia telah menghabiskan
banyak waktu dan membuat benang-benang itu justru semakin kusut. Karena waktu
yang sudah terlalu lama, akhirnya trainer mendatanginya dan menanyakan hal yang
terjadi saat itu. Dengan wajah ketakutannya, pegawai itu menunjukan benang
kusut tersebut, sambil berkata, “Maaf pak, saya sudah berusaha dengan keras
untuk memperbaiki benang kusut ini. Namun saya gagal, dan justru semakin
memperburuk keadaan”. Lalu, Trainner tersebutpun
marah kepadanya, “Anda tidak perlu lelah dan menghabiskan waktu untuk
memperbaiki itu. Anda berfikir bahwa hal yang anda lakukan sudah baik. Tapi
saya tahu, itu tidak mungkin sebab, saya dahulupun seperti anda. Karena itu
saya menyuruh anda untuk melaporkannya kepada saya, itu yang terbaik!”
Demikianlah, terkadang
dalam banyak hal kita merasa mampu melakukan semuanya. Kita mampu melayani dan
menjalani setiap aktifitas-aktifitas Gerejawi. Kita lupa untuk merendahkan hati
kita, dan bertanya kepada Tuhan, apa yang terbaik. Kita lupa untuk mendiamkan
diri kita sebentar, lalu mengintropeksi diri, kemudian mendengarkan apa yang
Tuhan ingin kita lakukan. Kita melupakan semua hal itu, sebab kita terlalu
tergoda dengan semua nalar dan logika yang kita pikirkan dan usahakan. Sampai
akhirnya kita merasa lelah, kecewa, sakit dan berhenti pada apa yang kita
lakukan. Sementara Tuhan menginginkan kita untuk hadir dan datang kepadaNya.
Menyerahkan diri , mendengarkan bimbingannya dan meminta semua belas kasihannya
untuk melewati semua yang kita alami saat ini.
Komentar
Posting Komentar