Saudaraku
yang terkasih, sepertinya semua orang diantara kita pernah dan akan merasakan
kehilangan. Dalam peristiwa dan kejadian apapun itu. Kita semua pernah dan akan
merasakannya. Ada banyak hal kejadian yang mungkin lebih beruntung daripada
kita pada saat mengalami kehilangan. Namun tetap saja, seberuntung apapun
kejadian kita ataupun setragis apapun kejadian yang dialami oleh orang lain
saat mengalami kehilangan. Satu hal yang pasti, kita tetap “KEHILANGAN”
Karena
itu, kesedihan, amarah dan kekecewaan dalam diri kita sering tidak terelakan. Karena
itu bagi calonteolog.com ada 3 hal yang kita perlukan untuk melepas “Kehilangan”
itu, sehingga kita melepasnya orang yang tetap memiliki hikmat dan iman pengharapan;
Pertama, kita perlu memiliki kesadaran bahwa Allah memahami dan
mengerti perasaan kita. Hal ini sering kali calonteolog.com ulang-ulang dalam
setiap memberikan kata penghiburan bagi mereka yang mengalami “KEHILANGAN”.
Kesadaran bahwa Allah memahami yang kita hadapi dan meyakini kesetiaan-Nya yang
sesuai dengan janji-Nya adalah sumber kekuatan terbesar kita dalam melewati
kepedihan saat kita mengalami kehilangan.
Tentu,
calonteolog.com tidak menginginkan agar saudara mengingkari perasaan saudara
dan menganggap “KEHILANGAN” itu adalah sesuatu yang biasa dan umum terjadi. Sebab,
nyatanya mereka yang mengatakan hal tersebut demikian, juga akan sulit menerima
perkataan yang sama bila hal itu terjadi pada dirinya pula.
Justru
yang ingin calonteolog.com sampaikan, bahwa milikilah kesadaran dalam diri saudara
tentang Allah yang tidak membiarkan kita sendiri, Ia menyertai kita dan menghendaki
kita untuk menghadapinya dengan memberikan jalan keluar. Itulah cara kita
berhikmat dan bentuk nyata bahwa kita memiliki iman pengharapan kepadaNya.
Dalam pelayanan ke
Lapas penjara, calonteolog.com pernah bertemu dengan seorang yang luar biasa.
Ia bersaksi bahwa saat dia dipenjara, Tuhan memberikan dia hikmat yang begitu
besar. Saat semua orang yang dahulu memanggil dia sahabat telah pergi, saat seorang
Ibu yang dikasihinya. Tuhan mengatakan kepadanya, bahwa hanya Dialah Kawan yang
sejati dan hanya dialah Allah yang mengerti tetes air matanya.
Hal yang kedua
bagi calonteolog.com perlu ada dalam setiap pribadi yang mengalami “KEHILANGAN”
adalah menerima kehilangan tersebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Walaupun itu menjadi sesuatu yang sukar diterima, karena
bertambahnya kesadaran ktia, maka akan bertambah pula perih luka jiwa kita. Tapi
setidaknya itu jauh lebih berfungsi untuk membebaskan kita dari rasa sakit.
Billy Graham
menceritakan sebuah kisah tentang seorang anak kecil yang tertangkap basah
sedang bermain-main dengan sebuah vas yang sangat mahal. Anak kecil itu
memasukkan tangannya kedalam vas, tetapi tidak bisa menariknya keluar. Ayahnya
berusaha keras menolongnya; tetapi semua usahanya sia-sia.
Dengan murung mereka
berpikir untuk memecahkan vas yang indah itu. Namun kemudian sang ayah menghela
nafas dan berkata “Sekarang Nak, cobalah sekali lagi. Bukalah tanganmu dan
luruskanlah jari-jarimu seperti yang ayah lakukan kemudian tarik!”. Tanpa
disangka-sangka oleh ayahnya, anak itu berkata “O.. jangan Yah, Aku tidak bisa
meluruskan jari-jariku seperti itu. Nanti uangku jatuh”.
Ya, demikianlah
sering kali terjadi dalam kehidupan kita. Menyangkal bahwa diri kita terjebak
dalam satu vas, itu bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih bila diminta untuk melepaskan genggaman
kita dari sesuatu yang berharga didalamnya. Itu sangatlah menyulitkan, tetapi
setidaknya itulah yang menyembuhkan kita dan mengeluarkan kita dari situasi
yang menjebak dan kesakitan dari vas yang menjebak kita.
Hal yang ketiga yang
kita lakukan adalah dengan menyerahkan kembali kendali kepada Allah atas segala
yang terjadi. Kepasrahan tidak selalu
disertai dengan keiklashan dan kerelaan. Terkadang dibungkus dengan erangan,
air mata dan kegaluhan. Sebuah paket yang berisi perasaan yang tidak karuan,
ada rasa marah, rasa rindu, rasa sakit, murka, pedih, kecewa dan bingung.
Kepasrahan berarti mengijinkan Tuhan menjadi Tuhan (tuan) atas segala yang
terjadi dan memaksa diri kita untuk berlaku sebagai manusia. Berusaha untuk
tidak mencoba mengubah atau mengontrol hal-hal yang tidak dapat kita
kendalikan. Serta berhenti untuk mencoba hal-hal yang tidak mungkin. Kepasrahan
ini bukanlah sekedar perasaan atau emosi, karena perasaan kita sendiri sudah
tidak tentu arah dalam kondisi seperti ini. Kepasrahan ini membutuhkan sebuah
tekad dan komitmen yang diterapkan dari hari ke hari dan jam ke jam. Kepasrahan
mengharuskan kita untuk berani melepaskan pemikiran “Seandainya” atau
“Seharusnya”.
Kepasarahan adalah
sebuah komitmen yang memberikan diri kita untuk menyadari hanya Tuhanlah yang tahu
mengapa semua ini terjadi. Mendorong diri kita untuk meyakini bahwa Ia
memberikan yang terbaik. Menasehati diri sendiri untuk yakin bahwa suatu saat
kita akan mengetahui mengapa Ia mengijinkan hal ini terjadi. Sebuah komitmen
yang memaksa diri kita untuk tetap dekat dengan Allah meskipun kita tidak tahu
mengapa semua ini Ia ijinkan berlangsung dalam hidup kita. Seperti diungkapkan dalam
Mazmur, sebuah pernyataan yang keluar dari kepedihan dan kegaluhan hatinya
terhadap keadaannya:
“Tetapi ketika aku
bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku… Ketika aku
merasa kesal (“hatiku merasa pahit” (KJV)) dan hatiku seperti tertusuk,
aku bodoh dan tidak mengerti, aku seperti binatang di hadapan-Mu. Namun aku
tetap di dekat-Mu, Engkau memegang tangan kananku. Kaubimbing aku dengan
nasihat, dan Kauterima aku dengan kehormatan kelak. Siapa yang kumiliki di
surga kecuali Engkau? Selain Engkau tak ada yang kuinginkan di bumi.
Sekalipun jiwa ragaku menjadi lemah, Engkaulah kekuatanku, ya Allah; Engkaulah
segala yang kumiliki untuk selama-lamanya. (Mazmur
73:16, 24-26, IBIS)
Komentar
Posting Komentar