Untuk beberapa pekan terakhir ini, saya sedang
ditakuti dan dikhawatirkan tentang Gereja kesukuan yang semakin punah. Tentu
ada beberapa penyebabnya, selain karena saya juga beribadah di salah satu
Gereja Kesukuan. Juga karena perkembangan Gereja dan aliran-alirannya yang
semakin meningkat sementara, justru berbanding terbalik dengan perkembangan
dari Gereja Kesukuan. Mungkin saja, pandangan ini bisa salah. Tapi, kita bisa
sama sama membuktikannya. saya sendiri menggunakan data yang didapat dari salah
satu Gereja Kesukuaan dengan tingkat kehadiran hanya mencapi angka 60%, sangat
berbeda dengan kehadiran dari beberapa Gereja yang menggap dirinya lebih
mengikuti perkembangan (?), seolah-olah memang Gereja Kesukuaan tidak pernah
mengikuti perkembangan. Bahkan salah satu video di Youtube, menceritakan
tentang Mbah Katiman yang beribadah sendiri di GKJW Mbocok. Tentu ada beberapa
faktor yang tidak saya ketahui mengenai situasi dan masalah didalamnya. Tetapi
setidaknya, pada kesempatan ini, baik bila pembahasan akan dilakukan lebih
kepada faktor-faktor lebih luas.
Faktor
pertama yang saya soroti adalah GEREJA KESUKUAN harus memiliki inovasi baru
dalam pelayanan dan kehadirannya ditengah banyak masyrakat. Jika saudara
berfikir bila inovasi dan perubahan terjadi karena sebuah tekad untuk mengejar
sebuah visi. Ternyata itu merupakan pemahaman salah. Bahkan saya tidak
mengingkan dan mengatakan bahwa kehadiran jemaat ini sebagai sesuatu hal yang
harus dikejar juga menjadi visi utamanya sebuah Gereja sebagai kelembagaan.
Bukan seperti itu, karena pertimbangan-pertimbangan yang demikian hanya
menghasilkan sebuah kompromi yang keliru pada keadaan dan hilangnya kehadiran
Gereja untuk menjadi terang dan Garam di dunia.
Tapi
GEREJA KESUKUAN perlu melakukan inovasi karena keadaan sekarang sudah semakin
menggerogoti kehadiran GEREJA KESUKUAN, bagi masyarakat. Bayangkan saja, bila
saudara bertanya-tanya kepada mereka yang telah meninggalkan peribadahan dari
gereja-gereja kesukuan di Indonesia, tentu salah satu penyebabnya dikarenakan
pengalaman ketidakpercayaan pada gereja sebagai yang sering kali secara terbuka
memperlihatkan konflik-konflik antara para pelayan kepada jemaatnya. Atau
pengalaman ketidakpercayaan yang muncul dari sikap-sikap para pelayanan kepada
tanggung jawabnya sebagai seseorang dengan tugas melayani di Gereja. Seperti
pengalaman saya
berjumpa dengan orang-orang meninggalkan Gereja Kesukuan dikarenakan tidak
adanya transparansi dalam keuangan Gereja dan didapatinya kejanggalan-kejanggalan
mengenai keuangan Gereja. Atau dalam sisi yang berbeda saya
sering melihat beberapa pelayan Gereja menjadi pribadi dengan
perasaan diri terpelajar, lalu menyatakan
kebodohan-kebodohan orang lain dengan intelektual yang dimiliki olehnya. Pribadi
yang merasa diri dimerdekakan, dengan bebas menyinyir
ataupun menghakimi (bukan menasihati) orang-orang yang diperbudak oleh
kebodohan. Lalu berkata kepada dirinya “aku sudah mengajarinya, tapi dia tidak
mau mendengarkan semua perkataanku”. Gereja Kesukuan
terlibat dalam topik topik yang menyuarakan
untuk bebas dalam beragama dan beribadah. Sebab itu hak milik semua manusia.
Bahkan Gereja Kesukuan dilihat saya
sebagai Gereja yang ikut hadir dan berperan untuk menghargai HAM, karena itu banyak pendeta-pendeta yang
memiliki jiwa sosialis sampai sekarang masih berjuang untuk menyuarkan “menolak
lupa” atas kejadian orang-orang yang hilang di masa Orde Baru ataupun “menolak
takluk” atas kejadian penyirman air keras kepada novel baswedan. Tapi Gereja Kesukuan sering juga tidak sadar,
ketika didalam Gereja ada orang-orang yang juga sengaja “dihilangkan” atau
“menghilang sendiri” , lalu Gereja cuman diam dan tidak berbuat apa-apa karena
Gereja beranggapan bahwa orang-orang tersebut tidak bermanfaat ataupun hanya
sibuk mengkritik Gereja saja, jadi lebih baik dia “dihilangkan” atau
“menghilang sendiri” agar Gereja lebih aman dan damai. Saya berfikir, bahwa Gereja-gereja seperti ini selalu bicara
soal nyawa orang lain, tapi tidak bicara soal iman jemaat sendiri.
Padahal saya
juga pernah melihat ketika seorang memiliki sikap yang sama, kemudian ia
berbicara dengan kekasihnya, justru berbeda perlakuannya. Ia akan dengan penuh
lemah lembut mengatakan kesalahan kekasihnya agar, kekasihnya tidak ngambek
dan marah kepadanya. Apakah tujuannya
berbeda? Tidak, tujuannya sama. Tetapi “kasih” yang membedakannya. Jika saudara adalah pelayan ataupun jemaat yang ada di
dalam Gereja Kesukuaan, sadarilah bahwa saudara memiliki hak dan kewajiban. Jangan pernah memikirkan hakmu,
tetapi marilah kita berfikir tentang kewajiban kita untuk hak orang lain. Sebab
orang lain memiliki hak sebagai manusia, maka hargailah itu sebagai tanggung
jawab kita. Sederhana bukan?
Saya
memang sengaja membicarakan ini dari awal, sebab demikianlah maka kehadiran
harus dan mampu menyadari bahwa GEREJA KESUKUAN telah digerogoti dan semakin
berkurang dampaknya, termasuk untuk menjadi garam dan terang. Tentu pengalaman
berbeda juga bisa terjadi, kembali kepada saudara masing-masing untuk saling
mengevaluasi Gerejanya masing-masing.
Kembali
pada poin awal, bahwa beberapa tokoh tidak melakukan perubahan dan penemuan
yang inovatif dikarenakan visi dan misinya yang terlalu berambisi. Tetapi hal
itu menjadi mungkin terjadi karena perasaan dan kesadaran akan masalah dan
penderitaan yang terus menerus dirasakannya. Seperti halnya yang dialami oleh
Raja Gillette yang begitu lelah lelah menajamkan pisau cukur yang lurus sehingga
ia membuat pisau cukur yang aman dan hanya sekali pakai lalu dibuang. Demikian
juga dengan Chester Greenwood, ia menderita radang dingin di telinganya. Itu
sebabnya ia mengembangkan pelindung telinga dan penemuannya ini berguna bagi
banyak orang.
Hal
yang serupa dialami oleh Humphrey O’Sulliva, seorang tukang cetak yang bosan
oleh rekan-rekan kerjanya yang selalu mencuri alas karet tempatnya berdiri saat
bekerja dan akhirnya menciptakan sol karet untuk sepatu-sepatunya.
Kesulitan
yang memaksanya untuk berinovasi juga dialami oleh seorang pemilik toko kecil
yang mengalami kesulitan keuangan. Ia mengingat masa itu seperti ini:
"Saya membayar seorang sheriff 5 dollar per hari untuk menunda keputusan
atas pabrik kecil saya. Lalu datanglah seorang petugas gas, dan karena saya
tidak dapat membayar tagihan tepat waktu, ia menghentikan gas saya. Saya berada
di tengah-tengah eksperimen tertentu yang sangat penting, dan membiarkan
petugas gas menenggelamkan saya ke dalam kegelapan yang membuat saya begitu
marah sehingga saya segera mulai membaca semua tehnik gas dan ekonomi, dan
memutuskan untuk mencoba kalau-kalau listrik dapat dibuat menggantikan gas dan
memberikan para petugas gas tersebut saingan yang sangat kuat."
Orang
yang berkata diatas adalah Thomas Edison, pendiri dari Edison General Electric
Company, yang kemudian menjadi General Electric.
Kembali
lagi, GEREJA KESUKUAAN perlu menyadari bahwa kehadirannya bagi masyarakat sudah
semakin digerogoti, bahkan bisa saya katakan bahwa terangnya sudah meredup, sebagai
garampun tidak lagi mengasinkan. Bila saudara menyadari dan mengalaminya,
perasaan itu harusnya kini menjadi panggilan dari bangun tidur saudara untuk
memulai kreativitas tanpa harus mengubah identitas.
Jika
GEREJA KESUKUAAN memilih untuk membuka mata dan bangun, maka saudara bersama
dengan jemaat lainnya akan menggunakan segala kemampuan saudara, dan
sumber-sumber dalam diri saudara untuk mendorong kehadiran GEREJA KESUKUAN yang
lebih berdampak dan terasa bagi banyak masyarakat. Jangan sampai terbiasa
dengan sebuah “kebiasaan”. Terkadang kebiasaan tidak menghadirkan sebuah
inovasi baru. Bukan berarti pula saudara harus meninggalkan kebiasaan. Bukan
seperti itu! Sederhananya, tidak semua pengalaman akan membuat hasil yang sama.
Bila dengan pengalaman yang lalu GEREJA KESUKUAAN dengan “kebiasaannya” menjadi
dampak dan terasa kehadirannya. Tidak berarti untuk saat ini, hal yang sama
juga dialami oleh masyarakat luas. Bila Firman Tuhan terus hidup dan berkarya
bagi banyak orang, lalu mengapa GEREJA KESUKUAAN lebih memiliih untuk diam dan
berhenti pada sebuah kebiasaan yang sama?
TUHAN
menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia
jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya. Maz 37:23,24.
Demikian juga GEREJA KESUKUAAN, saya menyadari bahwa Tuhan memberikan tangannya
untuk menopang dan membantu. Tetapi, haruskah menuggu sampai terjatuh? Haruskah
GEREJA KESUKUAAN memilih untuk melompat dari atas tebing yang tinggi hanya
untuk membuktikan tangan Tuhan yang menopang dan membantu?
Komentar
Posting Komentar