Anak yang hilang menjadi kisah terkenal di kalangan orang Kristen. Bahkan
calonteolog.com juga pernah ikut mementaskan kisah ini dalam kegiatan natal. Tapi, calonteolog.com
tidak ingin bercerita tentang bagaimana proses pementasan kisah Anak yang hilang. Melainkan membahas beberapa kekeliruan yang muncul saat pembacaan kisah tersebut, dan memiliki dampak bagi beberapa orang tua. Misalnya, mereka menjadi tabu
untuk membicarakan mengenai harta warisan, tentu dapat dipastikan pula bahwa
kisah ini bukan menjadi faktor utama. Tapi setidaknya kisah ini, seolah-olah
mendukung beberapa budaya yang mentabukan dan menghindari pembicaraan mengenai
harta warisan. Mereka berfikir, seakan warisan itu tidak layak untuk
dibicarakan ketika kedua orang tua masih hidup. Ataupun, beberapa juga berfikir
bila mereka akan meninggalkan anak-anaknya dengan keadaan yang baik-baik saja. Sementara
beberapa kejadian justru menunjukkan tentang bagaimana warisan justru menjadi
hal yang menegangkan dan membuat suasana kekeluargaan menjadi hilang.
Ada banyak pula orang Kristen tidak merasa dirinya masuk kategori 'anak yang hilang', sebab menurut mereka anak
yang hilang adalah mereka yang meninggalkan
gereja dan hidup dalam hingar bingar duniawi. Selama masih pergi ke
gereja, terlibat dalam pelayanan dan tidak melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, kita berpikir kita hidup dalam pertobatan dan tidak masuk
kategori anak yang hilang. Benarkah? Sesungguhnya pertobatan yang
Tuhan kehendaki lebih dari itu, yaitu kita sungguh-sungguh memberi diri hidup
dalam penguasaan Tuhan dan kendali Roh Kudus sepenuhnya. Selama masih hidup menurut kehendak diri sendiri
kita tergolong sebagai anak yang terhilang, meski secara lahiriah tampak
beribadah. "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita
juga dipimpin oleh Roh," (Galatia 5:25).
Ciri nyata anak yang terhilang
adalah hidup dalam kendali diri sendiri. Mereka menggunakan waktu,
tenaga, uang, dan apa yang dimiliki sesuka hati untuk kepentingan diri sendiri
dan menurut selera sendiri, bukan menurut kehendak Tuhan. Pertobatan
adalah kesediaan datang kepada Bapa dan bersedia hidup dalam kekuasaan atau
dominasi Bapa. Si bungsu yang bertobat berkata, "Bapa,
aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi
disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan
bapa." (Lukas 15:18-19). Kesediaannya untuk tidak menggunakan haknya sebagai anak dan rela
diperlakukan sebagai hamba oleh bapa adalah bukti kesungguhannya bertobat.
Ya¸ini menjadi pesan penting bagi calonteolog.com tentang kesediaan
untuk menerima kehendak Allah dan diperlakukan sebagai hamba oleh Bapa. Bukan menuntut
Bapa dan memaksakan kehendak Bapa. Sebab tidak semua orang seperti Anak yang
Hilang, terkadang beberapa diantara kita justru menjadi Si anak sulung yang
merasa sangat muak terhadap bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama
sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran
dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan
menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang
dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan
kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar
dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah
menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi
si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu
sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.
Ya, calonteolog.com melihat kisah ini tentang dua Anak yang Hilang,
yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua
Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak
pernah “merasa” hilang. Bayangkan ada berapa banyak orang-orang didalam Gereja
yang justru selalu merasa diri sudah ditobatkan dan tidak lagi menerima
kehendak Allah. Ketika kehendaknya tidak lagi menjadi kehendak Bapa, ia tiba-tiba
berubah menjadi seorang yang tidak pernah mengenal Allah sama sekali.
Betapa banyak orang berfikir
bahwa pertobatan adalah sesuatu yang hanya sekali dilakukan. Betapa banyak
orang yang mudah menyaksikan pertobatannya kepada banyak orang, tetapi dalam
kehidupan selanjutnya justru berbalik arah menjadi seorang yang tidak pernah
merasakan belas kasihan Tuhan. Bagi, calonteolog.com Pertaubatan itu bukanlah
akhir. Pertaubatan hanyalah langkah awal untuk memikul salib, bersamaNya.
Terakhir, kisah Anak yang Hilang
juga bisa menjadi keliru ketika orang tua selalu berfikir bahwa setiap kehendak
dan masukkan dari mereka yang tidak dilakukan anak-anaknya disebut sebagai
anak-anak yang hilang. Calonteolog.com justru berfikir bahwa mereka yang telah
memilih jalannya dan konsisten untuk menghidupinya bukanlah anak yang hilang. Sekalipun
pilihannya tidak seperti yang diharapkan oleh orangtuanya. Karena itu, hal yang
paling menentukan apakah seorang anak disebut sebagai anak yang hilang atau
tidak adalah “Kebahagian Menjalani Perubahan yang Lebih Baik”. Bila seorang
tersebut bahagia menjalani jalannya dan membuat dirinya berubah kearah lebih
baik. Sekalipun pilihannya tidak seperti orang tuanya. Apakah seorang itu dapat
dikatakan sebagi anak yang hilang? Lalu bagaimana dengan seorang anak yang
akhirnya bunuh diri justru karena mengikuti setiap tuntutan orang tuanya.
Apakah orang tua tersebut dapat dikatakan sebagai seorang yang menghilangkan
anaknya?
Komentar
Posting Komentar