Hoax sepertinya belum berhenti sampai saat ini, bahkan
beberapa pekan terakhir ini media sosial memperlihatkan bagaimana kerusuhan di
Wamena kembali terjadi dikarenakan Hoax yang dilontarkan oleh seorang di akun
media sosialnya. Oknum yang sedang dalam pencarian ini menyebarkan berita
tentang seorang Guru rasis kepada muridnya.
Meski baru mengambil peran utama dalam panggung
diskusi publik Indonesia, hoax sebetulnya punya akar sejarah yang panjang. Menurut
artikel yang dituliskan Kumparan.com[1],
hoax pertama yang berhasil dicatat sejarah ditemui pada 1661. Kasus tersebut
adalah soal Drummer of Tedworth, berkisah soal John Mompesson- seorang tuan
tanah – yang dihantui oleh suara drum setiap malam di rumahnya.
Ia mendapat nasib tersebut setelah ia menuntut William
Drury – seorang drummer band gipsy – dan berhasil memenangkan perkara. Mompesson
menuduh Drury melakukan guna-guna terhadap drumahnya karena dendam akibat
kekalahannya di pengadilan.
Singkat cerita, seorang penulis bernama Glanvill
mendengar kisah tersebut. Ia mendatangi rumah tersebut dan mengaku mendengar
suara-suara yang sama. Ia kemudian menceritakannya ke dalam tiga buku cerita
yang diakunya berasal dari kisha nyata.
Kehebohan dan keseraman local horror story
tersebut berhadil menaikkan penjualan buku Glancil. Namun pada, buku ketiga
Glavill mengakui bahwa suara-suara tersebut hanyalah trik dan apa yang
ceritakan adalah bohong belaka.
Ya,
demikianlah sejarah awal dari Hoax, versi kumparan. Walaupun, ia juga menyadari
bahwa kata hoax sebenarnya baru digunakan sekitar tahun 1808. Kata yang
dipercaya muncul dari hocus (mengelabui). Kata-kata hocus sendiri
merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap
digunakan dalam pertunjukkan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam
pertunjukan mereka di panggung.
Namun, hoax dalam pengertian saat ini tidaklah
sesederhana kelihatannya. Sebuah kebohongan bisa disebut hoax apabila dibuat
secara sengaja agar dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Tak hanya itu,
kebohongan baru disebut hoaks apabila keberadaanya memiliki tujuan tertentu,
seperti misalnya untuk memengaruhi opini publik.
Bila kita melihat Alkitab,
khususnya penulis Amsal menceritakan orang-orang zaman kuno yang menggunakan
bahasa tubuh untuk menghancurkan sesamanya (6:12-15).
Mereka memfitnah dengan mengerlingkan mata, memberi isyarat, atau mengangkat
bahu agar merasa aman. Lagi pula, kejahatan dalam bentuk gerakan isyarat atau
kerlingan mata sangat sulit dibuktikan. Tindakan mereka tidak kentara, tetapi
sama mematikannya dengan peluru yang menembus jantung.
Ya, sedemikianlah
berbahayanya hoax untuk kehidupan kita. Bahkan hoax ini juga akan
berubah menjadi post-truth yakni kebohongan yang sangat sering
diulang-ulang terus (ofter enough), lalu membuat orang mempercayai kebohongan
itu dan bahkan kitapun juga ikut mempercayainya sebagai kebenaran. Ya, kita
memahami bahwa kitalah pelaku hoax tersebut, namun karena terus diulang-ulang. Kitapun
juga ikutan mempercayainya.
Calonteolog.com tidak
ingin kita hanya berbicara tentang beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia,
sebagai akibat dari hoax. Karena, kepercayaan ataupun cara kita beragama juga “sepertinya”
terindikasi dengan produk-produk hoax dari pendeta. Bukan apa kata Firman
Tuhan! Ada banyak diantara kita yang mudah menghakimi orang lain dengan “kata
Pendeta”. Tidak sedikit juga yang kecewa dan marah pada Tuhan, karena “kata
Pendeta” tidak seperti yang dialami dan dirasakan olehnya.
Tentu, ini tidak
semerta-merta kesalahan dari pendeta saja. Sebab, pendeta juga terkadang dibatasi
untuk berkata-kata kebenaran, oleh jemaat. Atau lebih positifnya lagi, sering kata-kata
pendeta hanya didengar lalu disampaikan, tanpa memahami secara jelas maksud dan
tujuan dari kata yang disampaikan pendeta tersebut. Sekalipun demikian,
orang-orang yang melakukan hal tersebut juga tidak akan mengalami perasaan
bersalah. Mengapa? Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa kebohongan tersebut
telah menjadi keyakinan untuknya pula.
Karena itu, saat ini perlu
menyaring dan memahami setiap hal yang didengar dan diucapkan. Tidak mudah
percaya begitu saja, bahkan bila hal itu juga masuk dalam ranah doktrin dan
dogma. Seperti calonteolog.com pahami dan imani. Bahwa Tuhan adalah Sang
Misteri, bila Misteri dengan mudah dijelaskan maka Misteri itu tidak lagi
menjadi Misteri. Bila doktrin dan dogma bertujuan untuk menyederhankan Tuhan
dan menghancurkan Sang Misteri, maka pembuat doktrin dan dogma melebihi dari
Sang Misteri. Tetapi, bila setiap kita mengizinkan diri untuk mengalami dan
menghayati iman kita bersama Sang Misteri, kita tidak membutuhkan
penyederhanaan apapun. Karena itu sudah cukup untuk menguatkan dan mendukung
kita ke arah yang lebih baik. Tanpa harus melupakan pembelajaran. Sebab bila
seorang melupakan pembelajaran, pemahaman ini juga menjadi keliru. Setiap orang
juga harus mau melakukan pembelajaran melalui pemahaman dan pengalaman orang
lain tentang Tuhan. Jangan sampai, kita menjadi sombong dalam pikiran kita
sendiri.
Komentar
Posting Komentar