Pernahkah saudara
mendengar bahwa seorang petani akan mengarahkan pandangannya pada satu sasaran
yang jauh selama membajak sawah, maka dirinya akan menghasilkan alur yang
lurus. Ya, demikianlah jawaban untuk saudara yang mungkin pernah bertanya,
mengapa tanaman-tanaman itu dapat tersusun dengan rapi dan indah.
Jika dengan mengarahkan
pandangan ke sebuah sasaran yang jauh saja, saudara dapat membajak, maka
saudara juga dapat menggunakan prinsip tersebut dalam kehidupan, apalagi jika
sasaran pandang itu selalu sama, baik kemari, hari ini dan selamanya.
Itulah yang dikatakan
oleh penulis Amsal dalam pasal 4.
Sesungguhnya, seluruh pasal dalam kitab Amsal berbicara tentang
mengikuti jalan yang benar. Kitab tersebut menasihatkan tentang bagaimana
menghindari godaan dosa seksual (pasal 5-7), bagaimana mempertahankan
integritas (12:1-16; 29:23), bagaimana mengendalikan lidah (12:17-22; 21:23),
bagaimana menghadapi orang yang sulit (14:7, 15:1) serta rahasia untuk hidup
sehat dan umur panjang (3:7-8, 13-18). Menurut kitab Amsal, orang yang
bijaksana akan berjalan di jalan yang benar dan tidak akan menyimpang.
Jalan yang benar adalah
Yesus Kristus, itulah iman kita. Tahukah saudara, ketika Yesus menjadi manusia,
Ia hidup dengan menaggalkan keilahianNya. Bukankah, ini serupa dengan manusia
yang diajak untuk menanggalkan egoNya? Yesus dan keilahianNya dapat
meninggalkan dan memusnahkan seluruh orang-orang yang dahulu mengumpatnya dan
menyalibkan dirinya. Tapi Dia, memilih untuk tidak melakukan hal tersebut untuk
menjadikan diri sebagai tebusan. Apakah hal serupa juga dapat kita lakukan?
Sebuah kisah menceritakan
seorang Hakim Agung bernama Byron White. Ia sedang berada di Salt Lake City
untuk berpidato, ia diserang oleh seorang pria yang marah. Tersangka mengatakan
bahwa ia menyerang hakim itu karena keputusan-keputusannya di Pengadilan
Tinggi. Ia berkata, "Hakim White menyebabkan sumpah serapah memasuki ruang
keluarga saya melalui televisi." Untuk merasionalisasi serangannya, ia
melanjutkan, "Satu-satunya cara yang saya ketahui untuk menghentikan hal
itu adalah dengan mendatangi sumbernya."
Di situlah letak
kesalahan pria itu. Tentu, ia berhak menyuarakan pendapatnya yang keras. Ia
bahkan dibenarkan untuk marah jika ia yakin keputusan pengadilan mendorong
imoralitas. Namun, sikap yang ia pilih untuk mengungkapkan kemarahannya sama
buruknya, bahkan lebih buruk, dengan keputusan pengadilan yang salah.
Bacaan Kitab Suci hari
ini berkata, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat
dosa" (Efesus 4:26). Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain
mungkin membangkitkan amarah kita dan pada beberapa kasus perlu membuat kita
marah. Namun, berhati-hatilah untuk tidak bereaksi secara berlebihan dan
kehilangan kendali. Rasul Paulus mengingatkan bahwa walaupun kita "masih
hidup di dunia", namun kita "tidak berjuang secara duniawi" (2
Korintus 10:3,4).
Apakah orang kristiani
boleh marah? Tentu saja boleh! Namun, jangan pernah membiarkan kemarahan kita
meledak dengan cara yang berdosa.
Dalam kesempatan ini
calonteolog.com tidak ingin kita berhenti pada simpulan tersebut saja. Sebab,
sering kali marah dianggap sebagai sesuatu yang dibenarkan untuk menyatakan
kesalahan, nasihat dan membenarkan diri sendiri. Alhasil, sikap demikian justru
menjadi kekerasan yang lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik yang sering
terjadi di dalam keluarga.
Tahukah saudara, sebuah
kisah menceritakan seorang anak berusia delapan tahun ditangkap karena
menyerang teman bermainnya dengan sebatang tongkat. Namun keadaan kian memburuk
ketika kedua pihak orangtua anak-anak tadi terlibat perang mulut dan
menyebabkan anak-anak tersebut dihina dan dipermalukan di depan pers nasional.
Tongkat dan batu menimbulkan luka yang biasanya disembuhkan oleh waktu. Tetapi
perkataan dapat melukai lebih dalam dan menimbulkan rasa sakit yang bertahan
seumur hidup.
Karena itu, kitab Amsal
mendorong kita untuk berhati-hati atas perkataan kita (12:17-22; 15:4; 26:2).
Seharusnya kita berdoa bersama sang pemazmur, "Mudah-mudahan Engkau
berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku"
(Mazmur 19:15)
Demikianlah,
mengerikannya suatu kekerasan verbal. Tentu hal ini, dapat saudara antisipasi
dengan mengendalikan diri dan menggap bahwa umpatan itu sebagai sesuatu yang
tidak penting. Sebab, terkadang kita perlu mengizinkan orang lain merasa diri
benar daripada ikut masuk dalam perdebatan yang tidak berujung. Tapi, bagaimana
bila ini dilakukan oleh keluarga saudara. Apakah, hal demikian dengan mudah
untuk kita terima?
Jika kita mengasihi
anggota keluarga kita, tentu kita ingin melihatnya maju. Sedikit banyak kita
akan merasa berhak dan berkewajiban untuk memberikan dorongan. Kita pun
kemudian memberikan nasihat sesuai dengan cara yang kita pandang baik. Tidak
jarang, nasihat kita bercampur dengan rasa gemas dan tanpa direncanakan nada suara
kita pun meninggi. Terlebih jika kita tidak melihat perkembangan baik dalam
kehidupan pribadi orang yang kita kasihi tersebut. Yang tidak kita sadari,
seringkalinya maksud baik kita malah membangkitkan ketidaksukaan di dalam hati
anggota keluarga yang kita nasihati tersebut. Bukannya termotivasi, ia malah
menjadi sakit hati dan memberontak. Bukannya merasa dikasihi, ia malah merasa
direndahkan dan dihakimi. Tak ayal, pertengkaran pun terjadi.
Sebab, kita harus
menyadari bahwa semua individu akan mengatasi skenario dengan cara
berbeda-beda. Contohnya seperti seorang Bapak yang memiliki tiga orang anak;
Satu atau dua orang saudara dapat menerima komentar yang dilempar Bapak mereka,
tapi saudara lainnya dapat merasa komentar tersebut sangat menyakitkan dan
berada di bawah pertahanan dirinya.”
Mengapa demikian?
Sam Wass, psikolog
perkembangan mental di Universitas of East London dan Universitas Cambridge
menjelaskan fenomena serupa pada anak yang disebut dengan fenomena 'dandelions'
dan 'orchids'.
Mengutip studi ahli
perkembangan anak Megan Gunnar, Wass menjelaskan, anak dandelion secara
neurobiologi adalah anak yang kurang sensitif. Mereka akan berkembang dalam
rumah tangga yang suportif ataupun yang tidak suportif.
Sebaliknya, anak orchid
akan maju jika mereka berada dalam lingkunan yang suportif, tapi sangat
menderita jika dibesarkan dalam rumah yang tidak mendukungnya.
Karena itu, calonteolog.com sangat setuju dengan statement yang pernah disampaikan oleh Gary Chapman dalam bukunya, “…dibutuhkan empati dan kemampuan untuk melihat dari
perspektif orang yang kita kasihi. Kita harus terlebih dahulu mempelajari apa
yang penting bagi mereka. Baru kemudian kita dapat memberikan dorongan.”
Coba renungkan kembali,
pernahkah kita mencoba untuk memahami kesulitan yang dihadapi oleh orang yang
kita kasihi? Apakah dengan bersikap keras dengan mereka, lantas mereka dapat
menemukan jalan keluarnya sendiri? Cobalah untuk mengajak mereka bicara
baik-baik. Tanyakan apa yang sebenarnya mereka inginkan dan butuhkan. Siapa
tahu, dengan cara demikian kita dapat benar-benar menolong mereka.
Komentar
Posting Komentar