Ingatkah saudara tentang pesan
Yesus ketika dirinya diundang oleh salah seorang pemimpin Farisi untuk makan
dirumahnya. Kemudian, dalam acara tersebut seorang sakit mendatangi dan disembuhkan
olehNya, tepat di hari Sabat. Calonteolog.com yakin saudara mengingat, kala itu
orang-orang yang hadir memfokuskan pandangan mereka pada diri Yesus. Sebab, seorang
sakit itu meminta belas kasihan (kesembuhan) pada Yesus.
Menariknya, Yesus tidak
langsung melakukan mukjizat untuk seorang sakit itu, tapi bertanya (meminta izin)
kepada mereka yang melihat dan menyoroti Yesus. Kenapa? Bagi calonteolog.com
tindakan Yesus sebagai penghormatan dan toleransi pada kebenaran orang-orang
hadir tentang pekerjaan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Sekalipun bagi
Yesus, perbuatanya bukanlah pekerjaan seperti
mereka membayangkan Dokter dalam profesinya, bekerja sebagai media untuk orang
lain dapat mengenali dan memberikan solusi bagi penyakitnya. Melainkan tindakan
tulus untuk mengasihi orang-orang yang ada disekitarnya.
Tahukah, saudara betapa banyak
diantara kita sebagai tamu yang justru tidak memberikan penghormatan dan
toleransi didalam rumah orang lain yang mengundang kita masuk kedalamnya.
Betapa sering kita, memakai kebenaran kita untuk menilai pemilik rumah yang
mengundang kita? Pernahkah saudara mendengar kesaksian orang lain, tentang
bagaimana respon orang lain yang saudara kunjungi dalam rumahnya?
Sering kali beberapa pelayan Gereja
terjebak pada hal ini, bagaimana mereka berkunjung dengan tujuan “membagikan
Berita Baik” kepada orang lain. Lalu mendapatkan penolakan dan menganggap bahwa
orang tersebut tidak mau menerima “Berita Baik” yang kita sampaikan kepadanya. Coba
telisik lebih jauh lagi, benarkah “berita baik”-lah disampaikan kepada pemilik
rumah atau saudara sedang berbicara tentang kebenaran saudara sembari
mengabaikan kebenaran yang dimiliki oleh pemilik rumah tersebut?
Calonteolog.com pikir,
pembahasan tersebut cukup sampai dan terhenti disitu saja. Sebab, dalam
kesempatan ini pemimpin farisi yang mengundang Yesus hadir dirumahnya menjadi
sorotan utama. Mengapa? Mari kita membahasnya dalam beberapa pertanyaan.
1. Bisakah, orang
lain menemukan kedamaian di dalam keluarga kita?
Pertanyaan pertama ini, tidak
ingin mengajarkan saudara untuk belajar bagaimana menjamu orang berkunjung
kerumah saudara. Sebab dalam peristiwa tersebut, calonteolog.com yakin Yesus
mendapatkan jamuan istimewa dari pemimpin Farisi tersebut. Namun bisakah, diriNya
menemukan kehangatan dalam undangan tersebut? Bila kita melihat keseluruhan
teks tersebut, ditemukan bagaimana diri Yesus merasa tergelitik ketika orang-orang
justru berusaha mencari tempat kehormatan dalam jamuan tersebut. Bisa saudara
bayangkan suatu pimpinan organisasi, menjamu dan mempertontonkan kepada saudara
tentang anggota-anggotanya yang saling sikut-menyikut untuk mendapatkan tempat
terhormat? Adakah saudara mendapatkan kedamaian dalam jamuan tersebut, atau
saudara menjadi bingung dan lekas ingin pergi? Lalu bagaimana ketika orang lain
datang berkunjung ke rumah kita. Benarkah orang-orang tersebut mendapatkan kedamaian?
Atau justru sebaliknya?
Calonteolog.com tidak memahami
betul, apakah ini budaya Orang Karo atau bukan. Tetapi, saudara bisa melihat bagaimana
orang Karo akan merasa malu bila dalam “Kerja Tahun”[1] bila
hanya sedikit orang yang berkunjung kerumahnya, begitu pula sebaliknya. Bahkan seorang
teman sepelayanan pernah menceritakan, ketika dia mendapati salah satu
jemaatnya depresi dan marah-marah, nenek tesebut tidak dikunjungi oleh
keluarganya ataupun orang disekitarnya. Termasuk, teman sepelayanan tersebut
mendapatkan amarah nenek itu. Dikarenakan kondisi dan situasi yang membuatnya
tidak dapat berkunjung ke rumah tersebut.
Terlepas tentang situasi dan
kehidupan nenek tersebut, pertanyaan calonteolog.com kepada kita. Pernahkah
saudara memperhatikan beberapa keluarga yang sering dikunjungi oleh orang lain,
ataupun pernahkah saudara mendapatkan kenyamanan ketika berkunjung ke suatu
rumah? Adakah hal serupa juga terjadi dalam rumah saudara?
Ada dua hal, calonteolog.com soroti
sebagai faktor yang membuat orang lain tidak mendapatkan kedamaian ketika
berkunjung ke keluarga kita. Pertama, iklim negatif yang justru muncul
saat kita berkunjung kerumahnya. Iklim negatif yang dimaksudkan seperti gosip. Sehingga
ketika orang lain keluar dari rumah kita, mereka khawatir bila nanti posisinya
juga ada dalam gosip saudara bersama orang lain. Atau iklim negatif lainnya, keluarga
kita mempertontokan perdebatan-perdebatan yang sering kali terjadi didalam
rumah kita. Alhasil, orang sungkan hadir kerumah kita, karena merasa tidak enak
ikut campur dalam perdebatan-perdebatan yang ada dalam keluarga kita. Kedua,
mempertontonkan keteladanan yang terasa menyengat bagi pendengarnya. Pernahkah
saudara merasa malas untuk datang kerumah seseorang, karena keluarga tersebut
layak untuk diteladani? Satu sisi, harus diakui bahwa saudara bersalah. Bila,
saudara tidak ingin belajar dari kesuksesan orang lain dan menanam kedengkian pada
kesuksesan mereka. Namun pada sisi yang berbeda, sebagai keluarga berhasil,
kita lebih senang bercerita tentang keteladanan kita daripada mendengarkan
orang lain yang ingin belajar kepada kita. Alhasil, maksud hati ingin
memberikan kesaksian agar mereka damai mendengarnya. Justru sebaliknya, kesombonganlah
yang kita pertontonkan kepada orang lain.
Seorang Kristen yang dewasa
rohani bertanya kepada seorang Kristen muda yang begitu bersemangat,
"Bukankah Anda senang bersaksi kepada orang lain?" "Ya,
benar," jawabnya segera. "Tapi apakah Anda mengasihi orang-orang yang
Anda beri kesaksian?" tanya orang Kristen yang pertama menyelidik. Pertanyaan
serupa datang kepada kita, apa jawaban kita? Sebab sering kali mereka yang
senang bersaksi, jatuh karena mereka tidak mengasihi pendengarnya sebagai sesama.
2. Bisakah, suami-istri
sejalan dalam memberikan dan membagikan kebaikan bagi orang lain?
Beberapa diantara kita mungkin
menggemari ayat 12-13, tentang ajakan Yesus untuk mengundang orang sembari
memanusiakannya. Tanpa melihat jabatan, status dan hubungan kekrabatan, kita
mengizinkan orang lain untuk hadir dan mendapatkan kenyaman dalam keluarga
kita. Tapi, benarkah realitas menerima ajakan-ajakan seperti ini?
Hal yang paling rumit sering
ditemui calonteolog.com adalah ketika salah satu dari pasangan suami istri yang
memiliki kemanusian lebih tinggi dari realitas hidupnya. Mengapa ini menjadi sulit,
sebab sering kali sosial dan kemanusiaan (mis; suami), justru bertentangan
dengan realitas istrinya sendiri. Alhasil, kebaikan suami justru terhalang untuk
orang lain. Siapa yang salah? Keduanya salah, dan keduanya benar. Mengapa?
Sering karena kemanusiaan
kita, tanggung jawab didalam keluarga terlupakan. Itulah mengapa orang menjadi
naif, ketika ia membuat kemanusiaan lebih tinggi dari realitas. Ia lupa, bahwa
setiap hal yang dia lakukan akan selalu bersinggungan dengan sosial, ekonomi, dan
budaya anggota keluarga. Alhasil, tidak jarang kemanusiaan kita mendatangkan
kedamaian bagi orang lain namun tidak bagi keluarga kita sendiri.
Seperti halnya seorang pendeta
yang jarang sekali memiliki waktu bersama keluarga karena pelayanannya kepada
jemaat. Pendeta tersebut lupa, bahwa setiap kebaikan yang dilakukannya juga akan
selalu bersinggungan dengan keluarganya. Sehingga, bila mengabaikan realitas
tersebut, jangan heran bila nantinya kita menemukan anggota keluarga yang menganggap
semua pelayanan Pendeta tersebut sebagai kepura-puraan.
Pesan dan ajakan Kristus itu sangatlah
baik, tapi kita harus mengetahui kalau Yesus jugalah realistis. IA juga tidak
ingin kebaikan kita justru menjadi halangan untuk anggota keluarga kita merasakan
kasihNya. Karena itu, alangkah baiknya keluarga kita mampu membawa damai bagi
orang sekitar kita tanpa harus mengabaikan realitas sosial, ekonomi dan budaya anggota
keluarga kita. Jangan sampai, sebagai suami kita mengambil keputusan sesukanya berdasarkan
kemanusiaan dan mengabaikan realitas istri dan anak-anak, demikian pula
sebaliknya.
Sebagai penutup,
calonteolog.com menuliskan satu pertanyaan penting sebagai refleksi akhir dari
tulisan ini. “Adakah IA mendapati keluarga kita yang membawa damai bagi seluruh
anggota keluarga dan orang lain disekitar kita?”
[1]
Kerja Tahun merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan
syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Salah satu
kebiasaan dalam kegiatan tersebut adalah bersilahturahmi kerumah-rumah.
Komentar
Posting Komentar