Ucapan
Yesus dikayu salib, “Eli.. Eli..
Lama.. Sabakhtani” menjadi kata kata yang sering kali menjadi
pertanyaan ketika perayaan Jumat Agung ataupun Paskah. Bahkan ucapan tersebut
tidak hanya dibahas oleh kalangan orang Kristen saja, orang-orang non-Kristen
juga mempertanyakan ucapan tersebut. Atas dasar ini juga, saya ingin membahas
beberapa pandangan mengenai perkataan itu sekaligus berefleksi seperti
seringnya saya lakukan dalam teks Alkitab lainnya
"Ketakutan" dan "Yesus Bukanlah Allah". Pandangan ini yang menjadi paling umum sebagai bentuk
respon atas perkataan Yesus tersebut. Sebab pengertian dari “Eli..
Eli.. Lama.. Sabakhtani” adalah “Allah..Allah.. mengapa Engkau
meninggalkanku”.
Tentu
pandangan ini tidak bisa disalahkan, sebab secara harafiah kalimat tersebut
mempertunjukan tentang Yesus bukan Allah dan Ia ditinggalkan oleh Allah dalam
ketakutan dan kekhawatiran akan kematian. Namun bila hal tersebut benar, bila
Yesus memang khawatir dan takut akan kematian, yang menjadi pertanyaan.
Mengapa, Yesus tidak pernah disebutkan memiliki keinginan untuk lari dari Salib
tersebut? Bukankah begitu banyak kuasa yang telah dilakukannya? Bukankah Dia
juga memiliki pengikut, untuk melakukan pemberontakan? Lalu mengapa Ia tidak
melakukanNya.
Alhasil
saya menyimpulkan bahwa Ia berteriak bukan karena ketakutan, sebab Dia adalah
Allah yang berkuasa. Bila kita ingat sebelum ucapan itu disampaikan, maka
seorang yang disalib disebelahnya diberikan keselamatan. Lalu mengapa Dia harus
berteriak karena ketakutan dan kekhawatiran? Dia
berteriak bukan karena takut mati, sebab Dia adalah Allah bagi yang hidup dan
mati. Bila kita ingat jauh sebelum peristiwa malam terakhir, Yesus telah
membangkitkan Lazarus dari kematian dengan mudahnya. Lalu mengapa Dia harus
berteriak karena ketakutan dan kekhawatiran pada hidup dan mati, bila pada
akhirnya Dialah Allah yang hidup dan mati?
Ada
pula pandangan menarik yang menghubungkan peristiwa ini dalam mitologi Yunani
kuno. Mitologi itu bercerita tentang, pahlawan Prometheus ditangkap dan
dirantai di puncak gunung. Di sana ia dihukum untuk selama-lamanya. Setiap
hari, seekor rajawali raksasa datang untuk memakan hatinya. Hermes datang
kepadanya dan berkata, "Jangan harap penderitaanmu akan berakhir kecuali
seorang dewa datang menggantikan siksaanmu, dan siap turun bagimu ke dalam
kerajaan Hades (dewa kematian)." Menurut mitologi tersebut, hal ini
dilakukan oleh Dewa Chiron yang bijak dan adil, yang rela mengorbankan dirinya
sendiri bagi Prometheus dan membebaskannya dari siksaan.
Kira
kira, melalui Mitologi tersebut dikatakan bahwa Manusia telah terikat oleh
dosa, dan tak ada harapan bagi manusia untuk terlepas dari dosa kecuali Allah
menggantikan. Dan itulah yang benar-benar terjadi. Yesus Kristus, Putra Allah,
mati untuk menggantikan kita dan membayar hukuman dosa kita.
Saya
tertarik dengan Mitologi Yunani tersebut dengan keterhubungannya
dengan peristiwa Salib Yesus. Tapi lebih daripada itu, saya tertarik dengan
khotbah dari pendeta yang membahas perkataan tersebut diatas mimbarnya.
Adapun
dalam khotbah tersebut, Pendeta itu mengatakan bahwa Yesus berteriak karena
keterpisahan diriNya dengan Allah yang disebabkan oleh dosa kita. Pendeta tersebut
mengatakan bahwa keterhubungan Anak dan Allah pernah terpisah hanya karena
Yesus menjadi korban untuk menghapus dosa manusia.
Sederhananya,
pernyataan pendeta tersebut mengatakan bahwa menyianyiakan pengurbanan Yesus
adalah hal yang busuk untuk kita lakukan sebagai manusia yang diselamatkan
olehNya. Bahkan manusia yang berfikir untuk bisa hidup lepas dari Tuhan adalah
manusia yang naif. Sebab, Salib justru menjadi alat perdamaian bagi Allah
dengan Manusia. Termasuk amal dan kebaikan, itu tidak membersihkan sama sekali. seumpama, iklan deterjen. Usaha kita hanya membersihkan pakaian kotor kita terlihat "seperti baru", bukan menjadi baru kembali. Karena itu penghargaan akan salib dan penderitaan Yesus itu adalah anugerah terbesar yang dapat diterima oleh kita yang percaya.
Saya
tertarik dengan pernyataan tersebut karena penjelasan itu lebih masuk akal dan
lebih dalam maknanya. Sampai akhirnya, saya terhenti pada satu pertanyaan “Adakah
Cinta yang dapat diterima oleh akal dan logika?
Bila teriakanNya, dan penyalibanNya adalah bagian dari eksperesi Cinta Allah kepada manusia. Dapatkah kita menerimanya dengan logika dan akal sehat?
Pertanyaan
dan pemikiran itulah yang akhirnya membawa saya kepada refleksi ini;
Seruan
Yesus “Eli, Eli lama sabakhtani?” adalah seruan betapa beratnya penderitaan
yang hanya dapat di mengerti dari pemahaman yang dalam. Karena itu orang banyak
tidak memahaminya, sebab mereka hanya melihat penderitaan fisik sehingga mereka
mengira Yesus memanggil Elia untuk menolongNya. Alkitab jelas memberitakan
Yesus berseru dengan suara nyaring, suara yang jelas dan pasti maka orang yang
mengira Yesus memanggil Elia-lah yang salah mengartikan seruan Yesus itu.
Tidaklah
mudah memahami penderitaan yang ditanggungkan kepada Yesus sebab kecenderungan
mata jasmani hanya memahami penderitaan fisik, penyaliban fisik dan kematian
fisik. Firman Tuhan yang kita baca hendak membawa kita kepada pemahaman
melampaui pemahaman penderitaan fisik dan batin, sebab jika demikian cukuplah
manusia menanggapinya dengan berkata; “Sungguh berat penderitaan Yesus” atau
“Kasihan Yesus”.
Namun
karena ketidakpahamaan itulah, karena Misteri itulah saya menemukan ekspresi
Cinta di kayu Salib kepada manusia berdosa seperti saya. Perasaan beruntung
tersebut pertama kali muncul ketika saya dan beberapa teman melakukan adegan
penyaliban. Kebetulan dalam kesempatan tersebut saya diminta menjadi seorang
prajurit yang menyiksa teman saya yang memerekan diri sebagai Yesus.
Karena
itu adalah drama, tentu kita mengetahui bahwa penyiksaan yang saya lakukan juga
hanyalah sandiwara. Saya tidak benar-benar menyiksanya, tapi beberapa orang Ibu
yang melihat adegan itu menangis. Tangisannya sangatlah dalam dan membuat
perasaan beruntung itu muncul.
Tentu
bukan beruntung karena adegan yang dilakukan terlihat nyata dan membuat
beberapa ibu itu menangis. Namun perasaan beruntung dimiliki oleh Allah seperti
Yesus yang memiliki perasaan menderitaan. Kalau saja, Yesus tidak memiliki
perasaan menderitaan, tentu Ia tidak akan pernah mengerti tentang kekecewaan,
penolakan dan masalah yang selalu membuatku menderita. Tapi karena Dia adalah
Allah yang menderita, maka Ia pun ikut dan terus setia menemani saya dan
saudara sekalian sebagai orang percaya dalam setiap kali saudara mengalami
penderitaan. Alhasil, saya tidak takut untuk menghadapi dan menjalani
penderitaan yang terus datang dalam kehidupan ini. Demikian pula, kehidupan
orang-orang percaya. Sebab kita memiliki Allah yang berempati akan perasaan
kita. Bahkan lebih daripada itu, Ia tidak hanya perasa. Ia juga mahakuasa dan
pemiliki kehidupan. Karena itu penyerahan kita dalam cintaNya, bukanlah
penyerahan yang sia-sia.
Untuk itu aku tidak
perlu memahami kata itu lebih jauh, namun memegang tentang kepastian akan Allah
yang menderita. Kita yang percaya tidak pernah sendiri, sebab Ia turut
merasakan penderitaan kita, terlepas tentang bagaimana caraNya untuk
mendampingi kita menyelesaikan setiap penderitaan yang kita alami. Karena CintaNya
dan Kasih setianya sudah cukup untuk kita selalu hidup dalam semangat dan
harapan.
Sungguh beruntung kita yang tidak paham, namun merasakan CintaNya yang begitu dalam dan setia - AGM
Komentar
Posting Komentar