CUKUPKANLAH DIRIMU DAN BERSORAKLAH (1 Tawarikh 16:31-36)



Saudaraku, kapan terakhir kali saudara meluapkan teriakan dengan lantang? Tentu bukan teriakan makian, ataupun teriakan patah hati yang saya maksudkan. Tetapi, sorak-sorai akan kebahagian dan bersyukurnya saudara akan kehdiupan ini? Atau pertanyaannya kita ubah, menjadi; Berapa banyak diantara kita yang kehilangan rasa syukur, dan sukacita; ketika kondisi tidak mendukung seperti yang telah kita rencanakan sebelumnya; ketika segala sesuatu yang telah kita rancangkan justru mendapat gangguan orang lain; atau ketika seseorang yang kita kasihi justru pergi meninggalkan kita?

Sering kali para aktivis berteriak dengan lantang di tanggal 1 Mei untuk memperjuangkan hak para buruh di Indonesia. Sering pula diantara kita yang memberontak pada ketidakadilan dan penindasan yang terjadi dalam lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan ataupun lingkungan tempat tinggal kita. Hampir semua orang mau berjuang dan mati-matian untuk melawan semua itu. Tapi, tanpa kita sadari, sering pula sesuatu yang diluar kita, dipersilahkan masuk dalam diri untuk mengekang kehidupan kita sendiri, tanpa ada protes dari kita.

Hanya karena masalah terjadi misalnya, membuat orang banyak mengeluh dan kehilangan sukacitanya, kitapun menganggap keluhan pada situasi seperti ini menjadi sesuatu yang normal. Padahal bukanlah demikian adanya, hanya karena semua orang seperti itu, tidak berarti juga kita memilih untuk menjadi seperti mereka yang selalu mengeluh dan kehilangan sukacitanya. Sebab, apabila itu terjadi, lalu apalah yang membedakan saudara yang mengaku berserah dan berpengharapan dalam Kristus Tuhan, dan ditebus di atas kayu salib. Bila pada akhirnya saudara sama seperti banyak orang yang tidak mengenal Kristus Tuhan?


Faktanya kita selalu berperang melawan pikiran kita sendiri bukan sesuatu yang terjadi diluar diri kita. Karena kitapun menyadari, bahwa sesuatu yang terjadi diluar kita tidak akan pernah 100% menjadi seperti yang kita harapkan. Lalu apakah hal itu menjadi alasan kita kehilangan harapan dan sukacita? Saya pikir, salah besar bila kita berfikir demikian.

Sebab, bila lingkungan tidak mendukung seperti yang telah saudara rencanakan sebelumnya dan membuat saudara kehilangan sukacita dan harapan. Maka, lingkunganlah yang menjadi Tuhan atas diri saudara. Bila, seseorang menertawakan mimpi kita dan menilai kita dengan begitu rendah, lalu membuat saudara kehilangan semangat dan motivasi hidup. Maka saat yang sama, orang lain telah menjadi Tuhan atas diri saudara. Bahkan ketika, kekasih saudara meninggalkan dan memutuskan hubungannya dengan saudara, lalu membuat saudara tidak bisa “move on”. Maka, saat yang sama kekasih saudara telah menjadi Tuhan atas diri saudara. Jadi siapakah Tuhan atas diri saudara? Yesus Kristus yang didalamnya ada pertolongan dan belas kasih atau hal lain yang ada diluar diri kita, yang kita sadari justru hal itulah yang selalu menggerogoti sukacita kita?

Tahukah saudara, sebelum Tabut Allah itu kembali kepada Bangsa Israel, ternyata ada begitu banyak peristiwa yang telah dialami bangsa ini dan bahkan menjadi alasan logis untuk Daud berhenti berjuang.

Bayangkan saja, masa pemerintahan Saul, tabut Allah tidaklah dipedulikan. Karena itu niatan baik dari Daud dan orang-orang Lewi untuk mengembalikan Tabut Allah seharusnya dimuluskan jalannya. Namun, nyatanya semua tidak seperti yang kita fikirkan. Ada begitu banyak proses yang harus dilewati mereka untuk mengembalikan Tabut Allah.

Tercatat dalam Kitab Tawarikh, bahwa usaha mereka untuk mengembalikan Tabut Allah sempat terhenti karena keinginan Uza untuk menyentuh Tabut Allah mendatangkan murka Allah dan membuat lembu-lembu yang membawa tabut tersebut tergelincir(1 Tawarikh 13:9). Bahkan pada saat yang sama, Uza mati oleh karena keinginannya. Atas kejadian tersebut, tiga bulan lamanya Tabut Allah tinggal pada keluarga Obed-Edom orang Gat itu. Bahkan peristiwa itu sempat membuat Daud ketakutan pada Allah.

Namun apakah situasi itu menunjukkan bahwa Allah tidak menyertai Daud dan membunuh niatan baiknya untuk mengembalikan Tabut Allah? Apakah putus asa menguasai diri Daud atas kejadian yang ada diluar kendalinya tersebut? Apakah putus asa menguasai diri Daud atas gangguan yang ditimbulkan Uza pada proses pengembalian tabut Allah tersebut? Sekali-kali tidak! Putus Asa, tidak menguasai diri Daud. Sebab dalam Tuhan ada penyertaan dan harapan untuk Daud dapat berjuang kembali, menyelesaikan niatanya mengembalikan Tabut Allah. Setelah peristiwa itu Allah menunjukkan penyertaan dan keberpihakannya dengan menegakkan dia sebagai raja atas Israel, sebab martabat pemerintahannya terangkat tinggi oleh karena Israel umat-Nya (1 Tawarikh 14:2). Pertanda itulah yang akhirnya membuat Daud berusaha kembali dan menyiapkan tempat bagi Tabut Allah dan membentangkan kemah bagi Tabut Allah. (1 Tawarikh 14:2)

Sekarang, bila pertanyaan serupa ditujukan kepada kita saat ini apakah putus asa menguasai diri saudara karena penderitaan, masalah dan kondisi buruk menghampiri hidup saudara? Apakah sukacita saudara hilang karenanya? Apakah harapan masih ada dalam hati saudara dengan semua situasi yang terlihat semakin menekan saudara?

Ada suatu kisah tentang seorang pemuda yang berjalan jauh sampai ke Surga. Seperti yang banyak yang mengisahkan keadaan surga, demikian jugalah ia menemukan kenyamanan dan kebahagian di tempat itu. Segala sesuatu yang dia minta dan fikirkan akan terjadi ditempat itu. Maka dari itu, pemuda itu merasa menjadi seorang paling beruntung. Sebab perjalanan jauhnya tidak sia-sia dan terbayar. Lalu ia memikirkan tentang tempat peristirahatan baginya, sebab pikirnya ia telah melakukan perjalanan yang menghabiskan banyak energinya. Ia pun menoleh ke sekelilingnya dan menemukan pohon rindang dengan rerumputan nyaman untuk dia merebahkan badan. Ia tertidur dan membalas seluruh letihnya saat itu.

Lalu beberapa jam setelah ia tertidur, perutnya terasa lapar dan membuat ia bangun dari tidurnya. Ia memikirkan, “seandainya makanan enak ada ditempat ini, mungkin aku akan semakin menjadi beruntung berada ditempat ini”. Tanpa disangka-sangka, semua makanan yang dia pikirkan tersedia didepannya. Ia pun merasa bahagia dan menyantap seluruhnya dengan segara sampai kekenyangan. Lalu, ia berfikir kembali “Dimanakah letak air yang baik untuk diriku, sebab perutku kenyang dan kini tubuhku membutuhkan air”. Seperti kejadian sebelumnya, minimuan-minuman yang dia pikirkan seketika tersedia didepannya.

Sungguh, kembali lagi ia merasa beruntung berada ditempat tersebut. Sampai beberapa menit setelahnya, ia mulai berfikir kembali, “darimana asal semuanya ini, makanan dan minuman ini seketika tersedia dihadapanku. Apakah hantu yang membawa semua ini kepadaku?”. Seperti sebelumnya ia memikirkan makanan dan minuman, hantupun mendatangi dirinya. Pikirnya lagi, “Wah, benar hantulah yang membawakan ini semua, maka matilah aku saat ini juga karena  hantu ini akan menyiksaku dan membunuhku”. Persis seperti yang dia pikirkan, para hantu menyiksa dan membunuhnya.

Tahukah, saudara bila sebelumnya ia berfikir bahwa tempat itu membuat dirinya menjadi seorang yang paling beruntung. Maka pada saat akhir hidupnya, ia merubah pandangannya tentang tempat itu sebagai sesuatu yang paling buruk.

Kisah ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa bila kita memfokuskan diri untuk lebih; berdamai dengan di mana kita berada, bukan berfikir di mana sebaiknya kita berada, kita akan mulai menemukan kedamaian sekarang juga pada saat ini.

Mungkin saudara akan bertanya, bagaimana cara berdamai dengan situasi yang buruk ini? Bagaimana mungkin seseorang dapat berfikir semua baik-baik saja, padahal situasi memang sedang tidak baik-baik saja.

Saudaraku, ingatlah bahwa bangsa Israel bersucakita dan bersorak, bukan karena perjuangan mereka dan usaha mereka yang berhasil. Tetapi, Tabut Allah menjadi simbol bagi mereka akan kehadiran Allah, penyertaan Allah dan keberpihakan Allah bagi mereka.
Mari kita lihat kebelakang, seberapa sering saudara menyadari bahwa karena kepemilikan Allah akan hidup kita, karena penyertaan Allah dalam hidup kitalah, maka kita mampu melewati segala situasi dan kondisi yang terjadi sebelumnya.

Apakah hal ini tidak cukup bagimu? Apakah kepemilikan Allah akan dirimu dan keluargamu tidak cukup bagimu? Saudaraku, cukupkanlah dirimu sekalipun situasi diluar sangatlah tidak baik. Sebab kita dimiliki oleh Allah yang tidak pernah meninggalkan kita; bahwa kita dimiliki oleh Allah yang selalu menyertai kita; bahwa kita dimiliki oleh Allah yang kasih setianya tidak pernah berubah sampai selama-lamanya. Tetaplah berpengharapan dan serahkahnlah semua kepadaNya dan berjalanh sebab itulah pelitamu ketika jalan didepanmu terlihat sangat gelap.

Karena ketika jalan didepanmu sangatlah gelap, engkau tidak perlu berhenti dan menunggu sampai gelap itu berubah menjadi terang. Engkau tidak perlu juga memaksakan dirimu untuk terus berjalan di dalam kegelapan itu, sebab engkau akan tersesat atau malah jatuh pada jurang yang ada disekitarnya. Tetapi engkau harus menghidupkan pelitamu yakni terus berpengharapan dan menyerahkan pada Allah yang setia menyertai dan mendampingimu melewati semua itu.

Ya, Sudah saatnya untukmu berdamai dalam kondisi saat ini. Sudah saatnya untuk kita Bersukacita dan bersorak-sorailah karena Allah yang menjadi pelita untuk membimbing, membantu dan membawa kita melewati situasi gelap ini.

Komentar