Kadang-kadang
saya bertanya mengapa dunia saat ini begitu kompetitif. Segala lini kehidupan
kita akan selalu berbicara soal persaingan, sehingga istilah “daya saing” manjadi
familiar kita dengar. Istilah yang akhirnya menjadi paradigma, menjadi cara
pandang dan menjadi konsep tindakan.
Di
lembaga pendidikan pun, paradigma daya saing tidak dimungkiri begitu kentara.
Dari slogan-slogan dan jargon-jargon penuh dengan konsep daya saing. Apakah
kita bisa dikatakan bodoh jika tak menyepakati paradigma “daya saing”?
Belum
beberapa lama ini saya mengobrol dengan seorang Pak Tarigan, topik pembicaraan
kami saat itu tentang “Mengapa semakin
waktu, umur manusia semakin pendek”. Dengan pemahaman muda yang berasa
paling tahu, sayapun mencoba menjelaskannya kepada Pak Tarigan. Tapi, nyatanya
pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Sebab, Ia hanya
ingin melihat cara pandang saya dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Kemudian
Pak Tarigan menjelaskan pandanganya kepada saya, dan penjelasan ini menjadi
sangat menarik sampai membuat saya berkeinginan untuk membagikannya dalam
konten ini. Adapun, ia menjelaskan bahawa sejak dalam kandungan setiap orang
telah diberikan tuntutan-tuntutan. Mengapa? Tentu, agar setiap orang memiliki “daya
saing”. Bayangkan saja, asupan “Ibu Hamil dulu” dengan asupan “Ibu Hamil saat
ini”, sangatlah berbeda. Asupan Ibu Hamil saat ini sangatlah banyak, untuk
memenuhi tuntutannya kepada anak
tersebut; pintar, rambut bagus, kulit putih dsb. Tuntutan-tuntutan itu sudah
diberikan sejak dalam kandungan, agar memiliki “daya saing”. Alhasil, bagi Pak
Tarigan, banyak orang hidup saat ini yang terlalu overthinking itulah alasan umur manusia semakin waktu semakin
pendek. Sebab, mereka yang berumur 15 tahun dipaksa untuk memikirkan sesuatu di
umur 20 tahun, ketika berumur 20 tahun mereka diajak untuk berfikir 25 tahun
dst. Saudara boleh setuju dengan hal ini, ataupun tidak! Sebab percakapan itu
terjadi saat kami berdua sedang duduk santai menikmati kopi di halaman
rumahnya.
Sekalipun
ilustrasi ini memiliki dasar yang amat sederhana tentang mengapa manusia harus
memiliki “daya saing” di dunia kita. Setidaknya dalam berbagai alasan apapun
kita tidak lagi perlu menyetujuinya, sebab bila hidup kita. Sebab hidup
demikian ini hanya sibuk dengan memuaskan ego kita masing-masing untuk
mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada orang lain.
Tapi
inilah realitanya, sejak kita duduk dibangku pendidikan kita selalu dicekoki
dengan kompetisi antara anak pintar dan bodoh. Setelah menyelesaikan bangku
pendidikan, kita diperhadapkan dengan pengejaran karir dan status sosial.
Apakah itu berhenti? Tidak! Kompetisi itu tanpa kita sadari, terus berlanjut
sampai kematian. Bukankah, ini menjadi tatanan yang paling rendah dari manusia
dengan akal, budi dan imannya. Bayangkan saja, sudut pandang itu membawa kita
pada dunia sangat kompetitif dan selalu akan menampilkan Si Menang dan Si Kalah. Si kuat akan memenangi persaingan.
Sedang mereka, tanpa “daya saing” akan terjebak dalam keterpurukan akibat kalah
bersaing.
Lalu,
saudara yang menyetujui soal “daya saing” memberikan pembelaan dengan berkata
bahwa para pemenang dapat bermanfaat bagi orang-orang kalah. Para pemenang akan
peduli kepada yang kalah dan menyebut perlakuan itu sebagai tindakan
memanusiakan manusia. Bahkan kepeduliannya akan mereka sebut dengan tindakan
baik untuk bersedekah pada si kalah.
Sungguh
tragis dunia seperti itu, bukan?
Adapula
yang berpendapat bahwa “daya saing” dihapuskan dengan menjadi “daya
guna/manfaat”. Istilah menarik bagi saya, sebab setiap manusia harusnya memberi
manfaat bagi orang lain dan kehidupan. Kemampuan yang kita miliki diperuntukkan
bagi kepentingan bersama. Ketika kita memiliki kekayaan material berlimpah,
kita gunakan untuk membantu sesama yang kekurangan. Kita bertanggung jawab
memberdayakan masyarakat yang miskin secara ekonomi. Pendidikan yang kita
dapatkan bisa turut mencerdaskan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang
lemah dan kurang berdaya.
Jika
kita membangun sektor perekonomian dan sektor pendidikan, maka dimaksudkan agar
kita memiliki daya guna/manfaat untuk membangun kehidupan yang dihuni jutaan
manusia ciptaan-Nya. Jika negara kita maju, kita pun ingin negara-negara lain
juga maju. Jika kita tak ingin terpuruk, maka kita juga tak ingin melihat orang
lain terpuruk.
Pada
bagian mengubah paham antara “daya saing” menjadi “daya guna/manfaat” saya
setuju. Namun, lebih daripada itu setiap orang harusnya menyadari bahwa dalam
dunia ini, kita harus sangat adaptif. Sebab tidak semua hal di dunia ini dapat
terkonsep dengan sempurna seperti yang kita harapkan. Ada banyak
ketidakmungkinan dalam kehidupan ini, akan terjadi. Siap ataupun tidak, semua
orang harus menghadapinya.
Maka
dari itu, selain dari pada konsep hidup yang berdaya guna/ bermanfaat, setiap
orang juga perlu menanamkan dalam dirinya tentang sikap yang selalu dan mampu
berdaptasi. Sebab kehidupan ini adalah
anugerah atas belas kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu
dengan yang lain. Dengan akal dan budi yang diberikan kepada kita, manusia
dapat beradaptasi dengan begitu banyak situasi bahagia ataupun penderitaan.
Dengan iman, kita dapat memelihara, membangun, dan membangkitkan kembali dunia
ini seturut kehendakNya.
Ya
itulah sudut pandang mengenai kehidupan yang saat ini saya pahami, bahwa dalam
tantanan tertinggi sebagai manusia dengan akal, budi dan iman. Kehidupan
haruslah berisikan inovasi tanpa pagar-pagar etika dan tanpa standar kesuksesan
orang lain yang selalu dijadikan ukuran untuk melabeli seseorang sebagai pemenang ataupun seseorang yang kalah.
Sebab,
pada akhirnya kita hidup hanya persoalan memanfaatkan kesempatan. Saat kita
mampu memanfaatkan dan beradaptasi pada setiap kesempatan yang ada, maka saat
itu kita menjadi Mitra Tuhan untuk menyatakan kehendakNya. Dan menggunakan
kesempatan juga bagian dari pemenuhan manusia sebagai ciptaanNya yang selalu
mengikuti Kehendaknya, termasuk kesempatan hidup hari ini.
Pertanyaannya sekarang, kesempatan yang kamu dapatkan digunakan sebagai “daya saing” atau “daya guna/manfaat” bagi sesamamu? Atau sebaliknya, kita menjadi seorang pemalas dengan mengabaikan semua kesempatan dari Allah?
Komentar
Posting Komentar