DUNIA INI SUNGGUH KOMPETITIF…!


Kadang-kadang saya bertanya mengapa dunia saat ini begitu kompetitif. Segala lini kehidupan kita akan selalu berbicara soal persaingan, sehingga istilah “daya saing” manjadi familiar kita dengar. Istilah yang akhirnya menjadi paradigma, menjadi cara pandang dan menjadi konsep tindakan.

Di lembaga pendidikan pun, paradigma daya saing tidak dimungkiri begitu kentara. Dari slogan-slogan dan jargon-jargon penuh dengan konsep daya saing. Apakah kita bisa dikatakan bodoh jika tak menyepakati paradigma “daya saing”?

Belum beberapa lama ini saya mengobrol dengan seorang Pak Tarigan, topik pembicaraan kami saat itu tentang “Mengapa semakin waktu, umur manusia semakin pendek”. Dengan pemahaman muda yang berasa paling tahu, sayapun mencoba menjelaskannya kepada Pak Tarigan. Tapi, nyatanya pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Sebab, Ia hanya ingin melihat cara pandang saya dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Kemudian Pak Tarigan menjelaskan pandanganya kepada saya, dan penjelasan ini menjadi sangat menarik sampai membuat saya berkeinginan untuk membagikannya dalam konten ini. Adapun, ia menjelaskan bahawa sejak dalam kandungan setiap orang telah diberikan tuntutan-tuntutan. Mengapa? Tentu, agar setiap orang memiliki “daya saing”. Bayangkan saja, asupan “Ibu Hamil dulu” dengan asupan “Ibu Hamil saat ini”, sangatlah berbeda. Asupan Ibu Hamil saat ini sangatlah banyak, untuk memenuhi  tuntutannya kepada anak tersebut; pintar, rambut bagus, kulit putih dsb. Tuntutan-tuntutan itu sudah diberikan sejak dalam kandungan, agar memiliki “daya saing”. Alhasil, bagi Pak Tarigan, banyak orang hidup saat ini yang terlalu overthinking itulah alasan umur manusia semakin waktu semakin pendek. Sebab, mereka yang berumur 15 tahun dipaksa untuk memikirkan sesuatu di umur 20 tahun, ketika berumur 20 tahun mereka diajak untuk berfikir 25 tahun dst. Saudara boleh setuju dengan hal ini, ataupun tidak! Sebab percakapan itu terjadi saat kami berdua sedang duduk santai menikmati kopi di halaman rumahnya.

Sekalipun demikian, percakapan itu ternyata membawaku pada sebuah pencarianku dalam beberapa artikel mengenai, “Mengapa dunia ini, kompetitif?”. Salah satu artikel menjelaskannya dengan mengumpamakan apel sebagai bumi. Apabila apel tersebut dibagikan hanya untuk 2 orang, maka saya dan kamu mendapatkan setengah bagian. Namun, kita menyadari bahwa bukan hanya 2 orang yang hidup di dunia ini. Sementara Bumi tidak pernah membesar dan bahkan hanya satu yang kita ketahui. Alhasil, “daya saing” menjadi sesuatu yang penting untuk setiap orang bisa mendapatkan bagiannya.

Sekalipun ilustrasi ini memiliki dasar yang amat sederhana tentang mengapa manusia harus memiliki “daya saing” di dunia kita. Setidaknya dalam berbagai alasan apapun kita tidak lagi perlu menyetujuinya, sebab bila hidup kita. Sebab hidup demikian ini hanya sibuk dengan memuaskan ego kita masing-masing untuk mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada orang lain.

Tapi inilah realitanya, sejak kita duduk dibangku pendidikan kita selalu dicekoki dengan kompetisi antara anak pintar dan bodoh. Setelah menyelesaikan bangku pendidikan, kita diperhadapkan dengan pengejaran karir dan status sosial. Apakah itu berhenti? Tidak! Kompetisi itu tanpa kita sadari, terus berlanjut sampai kematian. Bukankah, ini menjadi tatanan yang paling rendah dari manusia dengan akal, budi dan imannya. Bayangkan saja, sudut pandang itu membawa kita pada dunia sangat kompetitif dan selalu akan menampilkan Si Menang dan Si  Kalah. Si kuat akan memenangi persaingan. Sedang mereka, tanpa “daya saing” akan terjebak dalam keterpurukan akibat kalah bersaing.

Lalu, saudara yang menyetujui soal “daya saing” memberikan pembelaan dengan berkata bahwa para pemenang dapat bermanfaat bagi orang-orang kalah. Para pemenang akan peduli kepada yang kalah dan menyebut perlakuan itu sebagai tindakan memanusiakan manusia. Bahkan kepeduliannya akan mereka sebut dengan tindakan baik untuk bersedekah pada si kalah.

Sungguh tragis dunia seperti itu, bukan?

Adapula yang berpendapat bahwa “daya saing” dihapuskan dengan menjadi “daya guna/manfaat”. Istilah menarik bagi saya, sebab setiap manusia harusnya memberi manfaat bagi orang lain dan kehidupan. Kemampuan yang kita miliki diperuntukkan bagi kepentingan bersama. Ketika kita memiliki kekayaan material berlimpah, kita gunakan untuk membantu sesama yang kekurangan. Kita bertanggung jawab memberdayakan masyarakat yang miskin secara ekonomi. Pendidikan yang kita dapatkan bisa turut mencerdaskan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lemah dan kurang berdaya.

Jika kita membangun sektor perekonomian dan sektor pendidikan, maka dimaksudkan agar kita memiliki daya guna/manfaat untuk membangun kehidupan yang dihuni jutaan manusia ciptaan-Nya. Jika negara kita maju, kita pun ingin negara-negara lain juga maju. Jika kita tak ingin terpuruk, maka kita juga tak ingin melihat orang lain terpuruk. 

Pada bagian mengubah paham antara “daya saing” menjadi “daya guna/manfaat” saya setuju. Namun, lebih daripada itu setiap orang harusnya menyadari bahwa dalam dunia ini, kita harus sangat adaptif. Sebab tidak semua hal di dunia ini dapat terkonsep dengan sempurna seperti yang kita harapkan. Ada banyak ketidakmungkinan dalam kehidupan ini, akan terjadi. Siap ataupun tidak, semua orang harus menghadapinya.

Maka dari itu, selain dari pada konsep hidup yang berdaya guna/ bermanfaat, setiap orang juga perlu menanamkan dalam dirinya tentang sikap yang selalu dan mampu berdaptasi. Sebab kehidupan ini adalah anugerah atas belas kasih Tuhan, bukanlah perlombaan keunggulan antara satu dengan yang lain. Dengan akal dan budi yang diberikan kepada kita, manusia dapat beradaptasi dengan begitu banyak situasi bahagia ataupun penderitaan. Dengan iman, kita dapat memelihara, membangun, dan membangkitkan kembali dunia ini seturut kehendakNya.

Ya itulah sudut pandang mengenai kehidupan yang saat ini saya pahami, bahwa dalam tantanan tertinggi sebagai manusia dengan akal, budi dan iman. Kehidupan haruslah berisikan inovasi tanpa pagar-pagar etika dan tanpa standar kesuksesan orang lain yang selalu dijadikan ukuran untuk melabeli seseorang sebagai pemenang ataupun seseorang yang kalah.

Sebab, pada akhirnya kita hidup hanya persoalan memanfaatkan kesempatan. Saat kita mampu memanfaatkan dan beradaptasi pada setiap kesempatan yang ada, maka saat itu kita menjadi Mitra Tuhan untuk menyatakan kehendakNya. Dan menggunakan kesempatan juga bagian dari pemenuhan manusia sebagai ciptaanNya yang selalu mengikuti Kehendaknya, termasuk kesempatan hidup hari ini.

Pertanyaannya sekarang, kesempatan yang kamu dapatkan digunakan sebagai “daya saing” atau “daya guna/manfaat” bagi sesamamu? Atau sebaliknya, kita menjadi seorang pemalas dengan mengabaikan semua kesempatan dari Allah?


Komentar