Bully
tampaknya bukan kata baru di telinga kita, mungkin saja kita adalah korban atau
bahkan pelaku Bully tersebut. melakukan bully dapat diartikan sebagai “memakai
kekuatan atau kekerasan untuk mengintimidasi atau melecehkan orang lain”. Orang
yang suka mem-bully adalah orang yang menganggap dirinya lebih kuat dari pada
orang lain dengan mengancam mereka untuk dicelakai/dilecehkan, atau benar-benar
mencelakai/melecehkan mereka, agar maksudnya tercapai. Itulah mengapa menghina
(dalam hal ini bullying) menjadi sikap yang haram.
Tetapi,
sadarkah kita, saat mendengar seorang berkata demikian. Saat yang sama kitapun
mengetahui bahwa nasihat ini sudah pernah dan sering kali kita dengar dan
diajarkan kepada kita. Bahkan sejak kita kecil, tapi bagaimana dengan tindakan membully para pelaku bully?
Beberapa
waktu yang lalu kita mendengar kasus Ferdian Paleka yang melakukan kesalahan
dengan memberikan sembako berisi sampah kepada beberapa orang, salah satunya
kaum waria. Kaum yang sebenarnya, tanpa kita sadari juga tidak dihargai di
negara kita. Jadi jangan hanya sebut Ferdian Paleka, sebagai pelaku bullying.
Bahkan saat LGBT tidak mendapatkan haknya di negara kita dan lingkungan kita.
Saat yang sama juga, kitapun adalah bagian dari Ferdian Paleka.
Tapi,
dalam kesempatan ini saya juga tidak ingin kita terlalu fokus pada masalah
bullying yang dilakukan Ferdian Paleka ataupun yang kita lakukan untuk kaum
LGBT.
Saya
lebih mengajak kita, seperti poin semula. Bagaimana sikap kita kepada para
pelaku bully?
Fenomena
yang tampak di beberapa kalangan publik figure yang dahulu menyesakkan dan
terganggu dengan para Netizen karena komentar negatifnya. Ternyata dalam kasus
Ferdian Paleka, banyak juga yang berkomentar
negatif dan melakukan bullying loo. Dengan anggapan bahwa sikap demikian
ini wajar untuk memberikan hukum jera pada pelaku bullying. Termasuk pula yang
dilakukan para tahanan di dalam penjara untuk mereka.
Saat
seperti ini, saya jadi teringat akan Filsuf Blaise Pascal, yang memiliki suatu
pemikiran bahwa kekerasan tidak pernah menjadi bukti akan kebenaran. Jika kelompok
masyarakat melempari batu kepada seseorang pencuri misalnya, tindakan
pelemparan itu baginya tidak membuktikan salahnya seorang pencuri tersebut.
Atau dengan kata lain pelemparan batu bukanlah menjadi pembenar atau “kebenaran”
kita. Karena kekerasan tidak bisa menjadi bukti bahwa diri kita jauh lebih
benar dan baik dari yang lain.
Pilihlah
untuk setiap waktunya, menjadi yang baik daripada menjadi yang benar. bukan
hanya kepada Ferdian Paleka juga kepada para pelaku pembully dalam hidup kita.
Sebab setiap waktunya kita memiliki kesempatan untuk menunjukkan kesalahan para
pembully, apa yang dapat dan harus dilakukannya secara berbeda atau apa yang
harus mereka perbaiki. Kita memiliki kesempatan untuk “mengoreksi” orang lain,
secara pribadi dan dihadapan orang lain, kesempatan itu sebenarnya adalah
kesempatan membuat orang lain merasa tidak nyaman, dan diri kita sendiri juga
akan merasa tidak nyaman dalam prosesnya.
Bila
kita mengevaluasi kembali sikap kekerasan pada para pembully, kita akan melihat
bahwa perasaan kita akan menjadi lebih tidak enak dibanding dengan sebelum
menjatuhkan orang lain itu. Hati kita, bagian diri kita yang penuh rasa belas
kasih, sangat tahu bahwa tidak mungkin kita akan merasa lebih nyaman bila kita
berada di atas kesulitan orang lain.
Untungnya,
kebalikannya juga berlaku, seperti yang menjadi refleksi kita dalam Amsal 14:21
“Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang
yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita.”
Kitapun
diminta untuk tidak menjadi orang yang benar, tetapi menjadi baik dalam berbelas
kasih kepada para pelaku bullying. Karena itu, bila kita mendapat kesempatan
untuk mempermalukan mereka, tahan godaan itu. Sebaliknya, tanyai diri kita “Apa
yang sebenarnya kuinginkan dari interaksi ini?” Kesempatannya adalah, apa yang
kita ingingkan adalah interaksi damai ketika semua pihak meninggalkan interaksi
itu dengan perasaan enak. Persis seperti Amsal 11:12
“ Siapa menghina sesamanya, tidak berakal budi, tetapi orang
yang pandai, berdiam diri.”
Ingat,
jangan merancukan hikmat yang diberikan penulis Amsal kepada kita, dengan
menjadi orang yang lemah. Karena pelaku bullying juga bisa sangat berlebihan,
beberapa kasus menunjukkan korban bullying ada yang meninggal akibar kekerasan
yang dilakukan para pelaku. Karena itu, selalu ada pilihan lari dan
meninggalkan lingkungan tersebut. Saudara juga tidak boleh merancukan hikmat
yang diberikan dengan tidak mempertahankan keyakinan kita bahwa “Tuhan
menciptakan kita dengan begitu Istimewa” dengan menjadi pelaku bullying baru
untuk diri kita sendiri. Bahkan dalam kesempatan ini, saya tidak menyarankan
bahwa kita tidak boleh menjadi yang benar. Hanya saja, kalau kita memaksa untuk
menjadi yang benar, sering kali ada harga yang harus dibayar yakni ketenangan
batin kita.
Komentar
Posting Komentar