Apa yang terlintas dalam
benakmu saat berbicara mengenai “persekutuan”?
Berbicara mengenai persekutuan, tentu tidak terlepas dengan Gereja. Suatu
tempat yang tepat untuk mendapatkan informasi terbaru tentang apapun, pertandingan
sepak bola, pengumpulan nilai pertandingan golf, berita keluarga, masalah
kesehatan, atau sekadar berjumpa dengan teman-teman. Acara minum kopi bersama,
jabat tangan yang hangat, tepukan bersahabat di pundak, merupakan bagian dari
interaksi sosial yang kita butuhkan sebagai manusia.
Apakah ada yang salah
dari semua bentuk sosialiasi tersebut? Tentu Tidak! Namun pernahkah diantara
kita merungkan kembali makna yang lebih dalam dari sebuah persekutuan? Bila
kita melihat bahan yang menjadi refleksi kita hari ini, maka kita akan menemukan
bahwa Paulus menunjukkan gambaran menarik mengenai persekutuan. Ia memulai
suratnya dengan berterima kasih pada jemaat Filipi untuk “persekutuan mereka
dalam Berita Injil” (Filipi 1:5).
Persekutuan yang menarik
bukan? Dapat dibayangkan, ketika Paulus banyak menulis surat
untuk mengoreksi atau menegur permasalahan di jemaat mula-mula, suratnya untuk
jemaat Filipi terlihat berbeda sebagai surat yang berisi ucapan syukur dan
sukacita.
Tentu, persekutuan ini
memiliki kekurangan. Terlihat dari beberapa pasal setelahnya, ada indikasi
orang-orang yang membuat kekacauan dalam persekutuan tersebut dan sampai
membuat Paulus berkata sangat keras di pasal yang ketiga. Persekutuan Filipi
dan kedekatannya dengan Paulus ataupun keributan setelahnya menunjukkan kepada kita
bahwa bersosial itu seperti telur dan keranjang. Telur telur dapat retak karena
mereka ada dalam satu wadah yang sama. Kalau letaknya berjauhan, tentu tidak
akan saling berbenturan dan retak. Begitu pula halnya dengan orang orang dalam
persekutuan atau bahkan keluarga kita sendiri. Kedekatan dan wadah yang sama, membuat
kita bisa saling berbenturan. Karena dalam kedekatan tersebut muncul
berbagai macam perasaan, misalnya cinta, kecewa, butuh, amarah, rindu, cemas
dsb. Perasan-perasaan yang dapat menimbulkan kerukunan dan secara serempak juga
keributan.
Pada titik ini, mengembangkan kasih tulus dalam diri, sangatlah penting. Hanya dengan demikian, kita mampu melihat dan menerima segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas.
Tampaknya, demikian
jugalah hal yang diharapkan sehingga Paulus menambahkan: “dalam pengetahuan
yang benar dan dalam segala macam pengertian” (1:9a). Mengapa hal ini menjadi penting? Karena dengan sikap demikian ini,
saat seorang berlaku aneh atau tidak sepaham dengan kita, bukannya bereaksi
dalam cara yang biasa kita lakukan, misalnya “Aku tidak mengerti mengapa mereka
bersikap seperti itu,” Sebaliknya, saat saudara menjadikan diri sebagai seorang dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, saudara akan berkata seperti ini kepada diri sendiri, “Yah, aku mengerti,
mungkin memang ini caranya memandang sesuatu dalam hidupnya. Menarik
sekali”
Bila saudara mampu sampai
pada tahap demikian ini, maka saudara akan lebih kepada berempati terhadap satu
kejadian bukan sebuah penilaian apalagi penghakiman. Sebab dalam tindakan
tersebut kita telah menggantikan menjadi kebaikan yang penuh kasih, yakni
memahami dan mengerti orang lain. Alhasil, kita yang secara tulus ingin
mengetahui bagaimana orang bereaksi atau perasaan mereka terhadap suatu hal,
tidak akan memunculkan perasaan jengkel atau kesal apalagi sampai memberikan
penilaian.
Terakhir, ada sebuah
kisah tentang sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan
disebuah huta pada suatu malam musim panas yang indah sesuai makan malam.
Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan.
Tatkala mereka mendengar
suara di kejauhan, “Kuek! Kuek!”
“Dengar,” kata si istri,
“Itu pasti suara ayam!”
“Bukan, bukan. Itu suara
bebek,” kata si suami.
Tapi tetap saja, si istri
tidak mendengar dan menganggap itu sebagai suara ayam. Perdebatan yang panjang
itupun membuat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya,
suami itu teringat kenapa dia menikahinya. Dengan wajah dan kata lembut, si
suami meminta maa kepada istrinya. Suami akhirnya sadar bahwa yang lebih penting
adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan
pada malam yang indah itu.
Berapa banyak
kekeluargaan,persekutuan dan kelompok yang harus bubar karena hal-hal “ayam
atau bebek”?
Saudaraku, Inisiatif
minta maaf dengan tulus bukan hanya cara yang efektif untuk memperbaiki
hubungan yang rusak. Tetapi juga membuat diri damai dan bahagia. Mengapa? Karena
setiap kali memendam amarah, kita mengubah “masalah kecil” menjadi “masalah
besar” dalam pikiran kita. Kita mulai percaya bahwa posisi kita lebih penting
daripada kebahagian kita. Ternyata tidak demikian. Bila kita ingin menjadi
orang yang lebih damai, kita harus memahami bahwa menjadi yang benar hampir tak
pernah lebih penting daripada membuat diri kita bahagia. Cara untuk menjadi
bahagia adalah membiarkan masalah itu berlalu dan mulai berbicara lebih dahulu.
Biarkan orang lain menjadi yang benar. Ini tidak berarti kita bersalah. Semua
akan baik-baik saja. Kita akan menikmati pengalaman membiarkan masalah berlalu,
juga nikmatnya membiarkan orang lain menjadi yang “benar”, mereka akan menjadi
tidak defensif dan lebih menyukai kita. mereka mungkin akan mendekati kita
kembali. Tetapi, bila karena berbagai alasan mereka tidak melakukannya, itu
tidak menjadi soal juga. Kita akan mendapatkan kepuasan batin dari memahami
bahwa kita telah mengerjakan tugas kita untuk menciptakan dunia yang penuh
kasih sayang dengan menjadi pantulan kasih Kristus kepada banyak orang, dan
tentu saja kita sendiri akan menjadi lebih tenteram.
Komentar
Posting Komentar