Tahukah kita? Ketika
Nabi Mikha menubuatkan pesan ini, kondisi rakyat Yehuda kala itu sangatlah
memprihatinkan, mereka kehilangan damai sejahtera. Penyebab utama kondisi ini
sebagian besar datang dari kondisi spiritual bangsa yang ada dalam
keterpurukan. Raja Ahas sebagai pemimpin bangsa menunjukkan ketidakpercayaan
kepada Allah dengan menduakan Allah melalui patung-patung Baal dan
menyembahnya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak tindakan tidak terpujui yang
dilakukan yang akhirnya menyebabkan Allah merendahkan Yehuda dan membiarkan mereka
terbuang di negeri bangsa yang tidak mengenal Allah(bdk 2 Tawarikh 28/;23b)
Karena itu beberapa hal
sangat baik untuk kita pelajari melalui bahan refleksi kita ini untuk
menciptakan Keluarga yang Damai
1. 1. Allah
yang berbaik kembali
Sadarkah
kita bahwa penyebab utama terjadinya ketidakdamaian dalam keluarga dikarenakan
saling mecintai? Disini terdapat paradox (= dua hal yang saling bertentangan)
dan kausalitas (= dua hal yang saling menyebabkan). Anggota-anggota satu
keluarga adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita.
Mereka
adalah orang-orang yang paling kita andalkan. Karena itu, kita mempunya
ekspektasi (=harapan yang mengandung unsur tuntutan) yang tinggi dari mereka.
Namun sebagai orang dekat, kita juga mudah melihat segala keburukan mereka.
Ekspetasi kita berbeda dari kenyataan. Kita bias menjadi kecewa. Lalu kita
menjadi kesal. Selanjutnya, sebagai orang dekat kita tidak sungkan mengecam. Kecaman
itu dapat menimbul keributan. Akibatnya dapat timbul perasaan benci. Di sini
letak paradoksnya: kita benci karena kita mencitai. Itu sebabnya kata “benci”
seolah-olah merupakan singkatan dari “benar-benar cinta.
Paradoks
dan korelasi itu pun tampak dalam hubungan antara Allah dengan umat. Namun yang
menarik di sini, ketika nubuatan Nabi Mikha justru mempertujunkan teladan baik
kepada kita yakni Allah yang berbaik kembali. Allah yang dalam posisi benar dan
baik memberikan dirinya untuk berbaik kembali dengan umat manusia supaya
manusia juga bias berbaik kembali dengan Allah dan saling berbaik satu sama
sama lain. Tapi apakah hal itu
nyata dalam kehidupan kita? Faktanya,
sangat banyak orang mendambakan dan
mencintai perdamaian. Tapi sangat sedikit untuk orang melakukan pendekatan
terlebih dahulu.
Saudaraku,
betapa banyak diantara kita yang terjebak dalam ketidakdamaian hanya karena
memendam kebencian, ketidaksukaan dan amarah kepada orang lain. Perasaan-perasaan
yang mengubah “masalah kecil” menjadi “masalah besar” dalam pikiran kita. Kita
mulai percaya bahwa posisi kita lebih penting daripada kebahagian kita.
Ternyata tidak demikian. Belajar dari nubuatan Nabi Mikha dan kehadiran Yesus
di dunia, ketidakdamaian itu dapat hilang bila kita memahamai bahwa; "menjadi
yang benar hampir tidak pernah lebih penting daripada membuat diri kita
bahagia". Seperti Yesus, Dia datang (mendekati) ke dunia untuk menebus
dosa manusia. Memulihkan hubungan, membuat dosa itu berlalu. Bukankah Yesus
pedoman hidup kita? Maukah kita membiarkan orang lain menjadi benar?
Ini
tidak berarti bahwa kita bersalah. Semua akan baik-baik saja. Kita menikmati
pengalaman membiarkan masalah berlalu, juga nikmatnya membiarkan orang lain
menjadi yang “benar”, mereka akan menjadi tidak defensif dan lebih menyukai
kita. Bayangkan, betapa kehadiran Allah meneduhkan dan memberikan kehangatan
setiap orang. Mengapa? Karena Dia datang ke dunia untuk memulihkan hubungan
kita dengan Bapa. Bukan mempersalahkan manusia. Sekalipun beberapa diantara
kita, dengan beberapa alasanya tidak merasakan dan mengabaikan kehadiranNya.
Itu tidak menjadi soal! Karena ini tentang kita, orang-orang percaya. Maukah
kita melakukan hal serupa dalam masa penantian ini? Mendekati orang yang telah
bersalah kepada kita, dan mengabaikan kebenaran yang kita miliki. Karena keinginan
kita untuk menjadi bahagia, dengan tidak terjebak dalam perasaan
menyakitkan itu?
Selain
daripada situasi yang telah diulas sebelmunya, ternyata latar belakang situasi
saat Nabi Mikha saat menubuatkan kehadiran Yesus di dunia mengalami krisis
bukan hanya dalam segi spiritual, dari social Yehuda juga ada dalam keadaan
yang terpuruk. Marak terjadi ketidakadilan di tengah-tengah bangsa ini,
kesenjangan social, pemerasan dan perampasan sewenang-wenang yang membuat
rakyat semakin menderita.
Tapi
apa yang dilakukan Nabi Mikha? Terlihat bahwa dia tidak memperkeruh suasana,
sebaliknya nubuatannya menumbuhkan harapan dan membuat kedamaian bagi mereka
yang mendengarkannya.
Tahukah
kita, berbicara menumbuhkan harapan juga ternyata menjadi bagian yang sangat
penting dalam kita menciptakan kedamaian dirumah. Mengapa? Karena dengan
menumbuhkan harapan, keluarga tidak akan menjadi bosan dalam menjalani
kehidupannya di dunia. Sesuatu yang membuat diri kita damai dalam perjalanan
kehidupan yang tidak pernah damai ini.
Sebab
harapan membantu kita melihat segala sesuatunya dengan perspektif yang lebih
positif. Disaat kita menagalami kegagalan dan menghadapi kekecewaan di hidup
ini. Harapan akan mengubah perspektif kita atas kegagalan dan membantu kit
auntuk melihatnya sebagai momen untuk bertumbuh dan mengembangkan diri – untuk melihat
kesempatan di setiap tantangan.
Harapan
membantu kita membuat rencana cadangan dan terus melangkah ke depan. Harapan membantu
kita menjadi sensitif, tetap beridri tegak saat kita jatuh dan terus belajar
dari kesalahan-kesalahan kita. Sehinggga, kedamaian itupun akan muncul dalam
diri kita.
Khususnya
orang tua pula, menumbuhkan pengharapan menjadi tanggung jawab besar orang tua
kepada anak. Karena harapan akan melahirkan pemikiran yang positif, berpikir
positif membentuk sikap percaya pada orang lain dan hari esok.
Saat
anak tidak memiliki harapan, maka dia berarti selalu berfikir negatif karena
ketidakpercayaan dirinya pada orang lain. Sikap ini akan membuat anak-anak
selalu penuh kecemasan dan ketakutan. Ini jelas akan mengaggu proses tumbuh dan
kembangnya (tumbuh dalam ketidakdamaian)
Terakhir, saya akan
menceritakan tentang dua orang buta yang seorang yang sudah tua dan yang
seorang masih muda, mereka adalah guru dan murid, mereka mencari nafkah dengan
bermain kecapi.
Pada suatu hari orang
buta yang tua ini jatuh sakit, dia tahu umurnya sudah tidak panjang lagi, lalu
dia memanggil muridnya ke samping tempat tidurnya.
Tangannya yang
gemetaran menggengam tangan muridnya dengan susah payah berkata,” Anakku,
didalam sini ada sebuah resep rahasia, resep rahasia ini akan membuat engkau
melihat dunia terang lagi, aku menyembunyikannya didalam kecapi ini, tetapi
kamu harus ingat, kamu harus bermain kecapi sampai seribu senar kecapi ini
terputus, baru boleh mengeluarkan resep rahasia ini, jika tidak kamu tidak akan
melihat cahaya terang lagi.”
Si buta kecil ini
sambil menghapus air matanya berjanji kepada gurunya, gurunya dengan tersenyum
damai pergi meninggalkan dunia ini.
Sehari demi sehari
berlalu, setahun demi setahun berlalu, si buta kecil selalu ingat kepada pesan
gurunya, selembar demi selembar tari senar putus disimpannya baik-baik, selalu
menghitungnya didalam hati. Ketika dia bermain sampai tari senar yang ke 1000
terputus, pemuda kecil buta yang lemah yang dulu sekarang sudah menjadi si buta
tua renta.
Dia tidak dapat mengekang rasa bahagia yang ada didalam hatinya, dengan tangan gemetar
dia membuka kecapinya, mengeluarkan resep rahasia yang ada didalam kecapi.
Kemudian, orang lain
memberitahu kepadanya bahwa itu adalah sepotong kertas kosong, diatas kertas
itu tidak tertulis sepatah katapun, air matanya menetes diatas kertas, dia
tertawa.
Apakah si buta tua
membohongi si buta kecil?
Si buta tua yang
dahulunya adalah si buta kecil, memegang kertas putih yang tidak ada tulisan
sama sekali, lalu kenapa dia malahan bisa tertawa?
Pada saat dia membuka
resep rahasia itu, seketika itu juga dia menjadi mengerti makna yang terkandung
didalam hati gurunya, walaupun hanya sepotong kertas putih, tetapi itu
merupakan sebuah resep rahasia tanpa tulisan, resep rahasia yang tidak akan ada
orang tahu.
Hanya dia sendiri yang dari kecil menemani gurunya bermain kecapi yang mengerti
makna yang terkandung dalam resep rahasia yang tanpa tulisan ini.
Resep rahasia itu
adalah "HARAPAN" yang memancarkan sinar terang, yang ketika dia
berada dalam kesusahan menghadapi perjalanan hidup ini gurunya menyalakan sinar
terang ini untuk menemani menjalani perjalanan hidup yang susah ini, jika tidak
ada sinar terang ini, dia mungkin sudah ditelan oleh kegelapan hidup ini,
mungkin dari dahulu dia sudah tersungkur jatuh oleh kesusahan hidup ini.
Karena
"HARAPAN" akan seberkas terang ini, dia dapat bermain kecapi sampai
seribu senarnya terputus, karena dia ingin bisa melihat cahaya terang lagi,
dengan teguh tanpa goyah mempercayai pesan gurunya.
Kegelapan bukan
selamanya terjadi, asalkan tidak mudah melepaskan keyakinan, setelah semua
kegelapan ini berlalu, akan ada cahaya yang tidak terbatas.
Setelah menaklukkan
berbagai rintangan dan kesusahan, kepercayaan yang teguh ini akhirnya membuat
hatinya bisa melihat cahaya terang yang sebenarnya.
Apakah akhirnya dapat melihat
sinar terang didunia ini hal yang perlu dibanggakan?
Manusia memiliki
sepasang mata yang terang, tetapi memiliki sisi hati yang gelap, apakah ini
berguna?
Komentar
Posting Komentar