Gunung Sinabung |
Realita hidup bisa jadi hal yang sama bagi semua
orang. Tapi, tiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dari sudut mana
mereka akan menerimanya . -AGM
Bila ingin mengubah
dunia, ubahlah dirimu sendiri terlebih dahulu. Dan ternyata esensi mengubah
diri sendiri itu bukan berfokus pada mengubah penampilan, tapi mengubah sudut
pandang. Mengubah sudut pandang terhadap cara memandang kehidupan. Dunia itu
tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Begitu juga semua peristiwa
dalam hidup ini, semua rasa yang merupakan efek dari suatu kejadian juga
tergantung dari sisi mana kejadian tersebut dilihat.
Tidak jauh berbeda
dengan yang menjadi bahan dari Mazmur 29:1-11, demikianlah cara
Pemazmur mampu melihat Kemuliaan Tuhan dalam suara guntur. Bagaimana dengan
kita dan cara pandang kita dalam melihat fenomena alam?
Tentu dalam pemandangan-pemandangan
yang Indah, sangatlah mudah bagi kita untuk merasakan penyertaan dan kebesaran
Tuhan. Karena itu, refleksi-refleksi yang sering muncul dalam kegiatan rekreasi
Gereja selalu demikian. Tapi bagaimana saat kita melihat Erupsi Gunung,
Longsor, Badai, Tsunami dan fenomena alam lainnya? Apa yang terlintas dalam
benak kita?
Seperti kita ketahui, bahwa hampir semua Anjing, lari
bersembunyi ketika mendengar suara guntur. Mereka lari ketakutan, karna dahsyatnya suara
itu. Diantara kita manusia juga beberapa melakukan hal demikian, sebagai tindakan refleks
yang sudah tertanam sejak kecil. Karena itu saya bukan memaksa kita untuk tidak
lagi berlaku demikian. Sebaliknya, saya justru mengajak kita untuk mengubah sudut
pandang dalam melihat fenomena alam.
Seperti misalnya Masyarakat
di Kaki Sinabung saat menyamakan Erupsi Gunung Sinabung dengan Manusia yang Batuk.
Apakah cara pandang tersebut juga masih hidup dalam diri kekristenan saat ini?
Atau malah kita menganggap fenomena itu sebagai bencana?
Menarik bagi saya, ketika
Sudjiwo Tedjo mengatakan;
“Sudah saatnya kita tak terus-terusan kurang ajar kepada alam. Menyebut letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir bandan, tsunami, dan sejenisnya sebagai bencana alam adalah bentuk kekurangajaran itu. Dengan istilah bencana alam, sadar atau tidak, terkandung kemarah atau minimal kekesalan kita kepada alam.
Bukankah letusan gunung, hujan abu, dan sebagainya hanyalah peristiwa fisika-kimia biasa agar alam secara keseluruhan senantiasa mencapai keseimbangan baru? Hal yang sudah niscaya dalam hukum alam seperti itu, sama halnnya dengan pemuaian, penguapan gravitasi dan sebagainya. Koq dengan sepihak dan sewenang-wenang kita tuding sebagai bencana?”
Kata-kata ini saya sukai,
karena mengajak kita untuk merubah perspektif dalam melihat alam. Sebab, seiring
berjalannya waktu manusia menjadi semakin sombong, tinggi hati dan tidak ramah
lagi kepada Alam. Sehingga terhadap fenomena-fenomena Alam, manusia selalu
melihatnya sebagai bencana. Padahal, sejatinya manusia hanya menumpang di dalam
Alam (Bumi). Manusia tidak memiliki Alam ataupun berkuasa secara hirarki pada Alam.
Menariknya, dahulu
orang-orang tua kita sangatlah ramah kepada Alam. Seperti misalnya dalam Masyarakat
Karo "dulu" saat merasa takjub pada fenomena-fenomena alam ini dengan memberikan sirih,
tembakau, buah, bunga dan barang lainnya. Persis seperti tindakan hormat mereka kepada sesama manusia.
Masyarakat Karo “dulu”
menunjukkan keramahannya dengan cara demikian. Tapi bagaimana dengan saat ini? Tampaknya, pengetahuan
dan pengertian yang didapat, justru membuat manusia semakin tinggi hati
terhadap Alam. Berfikir bahwa dirinya mampu berkuasa secara hirarki atas alam,
padahal tidak demikian. Mari kita merujuk pada Mazmur 8:7-9 ditulis demikian;
Engkau membuat dia berkuasa atas tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya, kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
Jika kita perhatikan,
semua binatang yang dituliskan dalam ayat ini juga terlihat pada Kejadian pasal
1. Sehingga menurut, Emanuel Gerrit Singgih, pemazmur hanya membayangkan
penguasaan manusia hanya terbatas pada makhluk-makhluk hidup ini. Hal itu juga,
dalam rangka penyediaan makanan dan keamanan. Sedang langit, tampaknya tidak
menjadi bagian dari kekuasaan manusia.[10] Hal ini juga dilihat Barth, sebagai
bentuk kuasa atas binatang saja dan kuasa itu juga mengandung tanggung jawab
mereka. Ditambahkan Barth juga, bahwa hubungan manusia dengan tanah berbeda
secara radikal. Yahweh menempatkan manusia untuk melayani (Ibr:abad;
Indonesia/Arab:mengabdi kepada; LAI; mengusahakan,Kej 2:15) dan memeliharanya
(sebagaimana orangtua memelihara anak, peternak memelihara ternaknya, dan orang
yang taat kepada Yahweh memelihara hukum-hukumNya).
Seperti yang
ditafsirkan Singgih pula, dalam Mazmur 104, bahwa manusia berada dalam urutan
yang sama dengan makhuk lain dan dengan habitatnya. Dia tidak berada di atas
yang lain, melainkan setara dengan yang lain. Jika didialogkan maka mansuaia
adalah khalifah yang menata alam, tetapi dia adalah rapuh (vulnerable) dan
bergantung (dependent) kepada Yahweh, dan karena itu dia adalah juga hasi
tataan ilahi. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka menyelamatkan alam,
terlebih dahulu harus sadar bahwa sebelum kita menata alam, sudah ada yang
menatanya terlebih dahul yaitu Yahweh. Ia menatanya dengan adil, sehingga
penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia termasuk yang
ditata oleh Yahweh sehingga kita bisa melihat tempat kita di dalam alam ini.
Ternyata kita adalah bagian dari alam ini. Memang alam adalah habitat kita,
namun di mazmur 104 habitat it menentukan. Jadi bukan hanya kita yang
menentukan alam, tetapi alam juga menentukan kita. Kalau habitat itu rusak,
kita juga kehilangan tempat kita.[15] Kemudian jika kita beralih lagi pada kata
“kuasa”, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Yahweh juga mengaruniakan
hikmatnya dibalik kuasa yang diberikanNya kepada manusia. Sehingga dari hikmat
tersebut manusia diajak bukan hanya untuk berkarya dan memelihara tetapi
juga menjaga. Jika kita kembali pada tinjauan kita
sebelumnya bahwa Yahweh menjadikan manusia menurut gambar-Nya untuk memungkinkan
hubungan timbal balik antara Ia dan mereka. Maka kita harus menjaga hubungan
ini, sebab Yahweh juga dapat menderita karena ciptaan-Nya rusak.[16] Karena
realitasnya manusia juga dapat berkuasa atas keinginan mengikuti hati (Kej.
4:7), bahkan ia seharusnya juga dapat hidup benar dan adil seperti Nuh yang
tidak bercela di antara segala orang sezamannya (Kej. 6:9).
Demikianlah paradigma dari gambaran Yahweh dan kuasa harus diperbaharui. Karena manusia memiliki pengetahuan untuk menyelamatkan dan menghancurkan. Untuk itu setiap manusia juga memerlukan pencarian moral dalam dirinya. Selain itu, manusia juga memerlukan sebuah kedekatan dengan kosmologi dan etika yang berpusatkan pada manusia (“antroposentrisme” dan “homesentrisme”), sebab dengan demikian juga kepekaan terhadap seluruh kajian konteks yang telah dikaji sebelumnya akan hadir dalam diri manusia.
Komentar
Posting Komentar