Photo by John Schnobrich on Unsplash |
Seperti diketahui, 2 Tim 2:15 menjadi bagian penutup sekaligus pembuka untuk nasihat dalam menghadapi pengajaran yang sesat. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah; “Apa hubungannya dengan kepemimpinan?”
Sebelum membahasnya
terlalu jauh, kita ketahui bahwa Kepemimpinan yang ideal itu tidak hanya
memandang dirinya sebagai “pemimpin” namun juga memiliki kedalaman pemahaman
akan mereka yang dipimpin. Pemahaman ini dalam konteks “habitat” alias ruang bergerak.
Dengan kata lain, kepemimpinan itu selalu dipengaruhi oleh 3 faktor; yakni pemimpin,
yang dipimpin dan lingkungan
Alhasil dalam
perjalanan kepemimpinan tersebut, semua pihak dilibatkan dalam suatu
transformasi secara komprehensif. Ini mencakup fisik, psikis dan spiritual
dalam setiap aktivitas kepemimpinan, termasuk dalam menyelesaikan tugas,
pengambilan keputusan, dan berkomunikasi.
Tidak melulu fokus pada
kegiatan teknis (hardskill) dalam memimpin, tetapi mementingkan harmoni yakni
Softskill, Tingkat kesulitannya tentu berbeda, karena tidak dapat diukur secara
kuantitatif, namun dapat dirasakan dan nyata dalam kualitas juga berbagai
tindakan positif. Untuk itu, dalam prosesnya kepemimpinan yang demikian
ini sangat dipengaruhi oleh kualitas kerja sama antara si peimpin dan yang
dipimpin.
Adapun, kegiatan
dan cara yang dapat digunakan untuk mencapai proses ini adalah, demikian;
1. MENJADIKAN
KEPENTINGAN TUHAN SEBAGAI DASAR UTAMA
Salah satu fakta perkembangan
dunia saat ini adalah mengedepankan daya saing bukan daya manfaat. Segala bentuk
misi yang dimunculkan bertujuan untuk dapat berkompetisi dengan orang lain
bukan bermanfaat bagi banyak orang. Tidak heran, dunia saat ini terasa begitu
sangat kompetitif dan terasa sangat egosentris. Persis seperti situasi yang
sedang dihadapi dalam bahan renungan kita, itulah mengapa panggilan untuk ikut
menderita dalam pelayanan dan kepentingan Kristus sangat diutamakan. Tidak
seperti pengajaran-pengajaran sesat yang terasa sangat egosentris.
2. MENJADIKAN
DIRI SUPPORT SYSTEM BUKAN KRITIKUS
Rocky Gerung dalam
twitternya pernah menuliskan bahwa, “Kritik tak mewajibkan solusi. Masalah tak
pernah baru. Ia adalah sisa dari kemarin. Yang harus baru adalah cara
melihatnya. Bahkan satu hal yang dapat diterangkan dengan dua cara, berubah
menjadi dua hal.”
Saya
tidak ingin menyalahkan statement dari beliau, tapi saya ingin bilang bahwa; “Ada
istilah You are your own master. Apa yang kita pikirkan, rasakan, dan perbuat
merupakan tanggung jawab kita sendiri. Jangan menyalahkan orang lain. Don’t
blame others. Perhatikan setiap kali pikiran dan perasaan muncul. Bangun
kepekaan akan apa yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Skill ini penting untuk menjadi support system bukan kritikus yang juga
dihindari sesuai dengan bahan renungan kita.
3. MEMBANGUN
OPTIMISME BERSAMA
Hal nyata yang sering menjadi
permasalahan dalam suatu kepemimpinan dan juga terjadi dalam bahan renungan
kita adalah bentuk pesimisme. PESIMISME bukan sekadar berpikir negatif.
Pesimisme juga mencakup sikap yang berfokus pada tujuan, sesuatu yang
diperkirakan terjadi di kemudian hari. Orang yang pesimistis justru menduga
hasil negatif cenderung akan terjadi. Salah satu tipe pesimisme ialah pesimisme
defensif, yakni menggunakan pikiran negatif dengan cara yang berbeda dan
diperhitungkan dapat mencapai suatu tujuan (Norem, 2000). Dalam buku berjudul
The Positive Power of Negative Thinking (Norem, 2002) disebutkan bahwa
pesimisme defensif adalah menetapkan ekspektasi yang rendah untuk rencana dan
situasi tertentu, misalnya membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan
terjadi. Menariknya, seorang dengan sikap pesimistis defensif dapat merencanakan
berbagai tindakan untuk memastikan kemungkinan buruk yang dibayangkan tidak
akan terjadi.
Hal demikian ini
terjadi pada Himeneus dan Filetus, yang telah menyimpang dari kebenaran dengan
mengajarkan bahwa kebangkitan kita telah berlangsung dan dengan demikian
merusakan iman sebagian orang pada masa itu.
Akhir kata….Mari kita
menerapkan kepempinan ini.
Komentar
Posting Komentar