Photo by Ian Stauffer on Unsplash |
Seorang
anak kecil sedang bermain sendirian dengan mainannya. Sedang asyik-asyiknya
bermain tiba-tiba mainannya itu rusak. Dia mencoba untuk membetulkannya
sendiri, tapi rupanya usahanya itu dari tadi sia sia saja. Maka dia mendatangi
ayahnya untuk minta ayahnya itu yang membetulkannya.
Tapi
sambil memperhatikan ayahnya dia terus memberikan instruksi kepada ayahnya,
“Ayah, coba lihat bagian sebelah kiri, mungkin di situ kerusakannya.”
Ayahnya
menurutinya, tapi ternyata belum betul juga mainannya.
Maka
dia memberi komentar lagi, ”Oh, bukan di situ Yah, mungkin yang sebelah kanan,
coba lihat lagi deh Yah.”
Kali
ini ayahnya juga menurutinya, tapi lagi-lagi mainannya itu belum betul.
“Kalau
begitu coba yang di bagian depan Yah, kali aja masalahnya ada di situ.” Kali
ini ayahnya marah, ”Sudah, kalau kamu memang bisa, mengapa tidak kamu kerjakan
sendiri saja? Jangan ganggu Ayah lagi. Ayah banyak kerjaan lain.”
Tapi
setelah dia mencoba beberapa saat untuk membetulkan sendiri dan masih belum
berhasil, maka akhirnya dia kembali kepada ayahnya sambil merengek. “Tolonglah
Yah, aku suka sekali mainan ini, kalau rusak begini bagaimana? Tolong Ayah
betulkan supaya bisa jalan lagi ya.”
Karena
tidak tega mendengar rengekan anaknya, si ayah akhirnya menyerah, ”Baiklah Nak.
Ayah akan membetulkan mainanmu asal kamu berjanji tidak boleh memberitahu Ayah
apa yang harus dilakukan. Kamu duduk saja dan perhatikan Ayah bekerja. Tidak
boleh mencela.”
Ketika
ayahnya sedang memperbaiki mainannya, si anak mulai berkomentar lagi, ”Jangan
yang itu Yah, kayaknya bagian lain yang rusak.”
Tapi
kali ini ayahnya berkata, ”Kalau kamu berkomentar lagi, mainan ini akan ayah
lepaskan dan silahkan kamu berusaha sendiri.”
Akhirnya
karena takut ayahnya akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya, anak itu
diam dan duduk manis melihat ayahnya membetulkan mainannya sampai bisa berjalan
lagi tanpa mengeluarkan komentar apa pun.
Berdasarkan
ilustrasi ini, saya bertanya kepada saudara semua; Apakah kita mempercayai
Yesus, sebagai Tuhan yang berkuasa atas kehidupan kita? Bila benar demikian,
mengapa kita sulit berdoa dan berserah secara penuh pada rancangan dan cara
Tuhan.
Mungkin
benar, terkadang rancangan Tuhan tidak seperti yang kita harapkan dan inginkan.
Tapi bukankah hal demikianlah yang paling terbaik bagi kehidupan kita? Ataukah
kita masih sering berfikir bahwa cara dan keinginan kita paling baik untuk
kehidupan kita?
Paulus
menasihkatkan kepada kita melalui Kitab Roma untuk mengaku dan percaya kepada
Yesus sebagai Tuhan yang memiliki kehidupan ini. Kepercayaan dan keyakinan itu
sangat diperlukan dalam setiap kali kita
menyampaikan permohonan dalam doa. Tanpa itu, semua hanya kosong dan doa tidak
akan pernah menumbuhkan pengharapan dan rasa optimis.
Jadi,
maukah kamu mengaku, percaya dan meyakinkan semua permohonanmu dalam doamu
kepadaNya?
Komentar
Posting Komentar