Photo by Dane Deaner on Unsplash |
“Uang
bukanlah segalanya” menjadi prinsip bagi beberapa orang untuk hidup yang lebih
sederhana dan berbahagia. Namun jika benar demikian, mengapa pembicaraan
mengenai uang dari mimbar Gereja menjadi sesuatu yang sensitif. Bahkan tidak
jarang orang-orang seperti saya, merasa takut untuk membicarakan uang. Karena
takut dianggap sebagai Teolog yang mata duitan. Padahal bila dipikirkan lagi,
bila memang “uang bukan segalanya” tentu uang tidak lagi jadi masalah dalam
pembendaharan Gereja. Apalagi sampai kesulitan dalam melaksanakan program
pelayanannya atas dasar uang. Sebab, bagaimanapun bentuk pelayanannya “uang” menjadi
salah satu bagian untuk menggerakan pelayanan Gereja.
Sekalipun
demikian, uang seharusnya tidak lagi menjadi masalah dalam menggerakan
pelayanan Gereja. Sebab, naik turunya keuangan Gereja “seharusnya” tidak mempengaruhi
para pelayan untuk melayani Gereja. Seperti halnya kesaksian hidup seorang
Paulus dalam pelayanannya, dikatakan “Saudara-saudari, kamu pasti ingat betapa
giatnya kami bekerja. Kami bekerja baik siang maupun malam supaya kami tidak
menjadi beban bagi siapa pun selagi kami memberitakan Kabar Baik dari Allah
kepadamu.” (Bdk 1 Tesalonika 2;9)
Lalu,
yang menjadi pertanyaan adalah mengapa peristiwa seperti dalam Maleakhi 3:8-12
ini dapat terjadi bagi kita saat ini?
Seperti
kita ketahui bangsa itu merengek kepada Allah. Hal ini tampak saat
mereka mengalami situasi pasca pembuangan di Babel. Daripada memperbaiki
kondisi kerohanian dan nilai-nilai kehidupan yang berkenan di mata Tuhan,
mereka justru lebih memilih untuk melakukan playing victim, dimana seolah-olah
mereka menjadi korban yang tidak bersalah dalam kehidupan yang mereka jalani.
Dalam kenyataannya bangsa Israel bersalah, tapi mereka malah mempertanyakan
kesetiaan Tuhan (bdk. Mal. 1:2; 3;9). Lebih lanjut lagi mereka mempertanyakan
mengapa Tuhan tidak berkenan atas persembahan mereka dan menangis dengan air
mata palsu, padahal mereka sendiri jelas tahu persembahan yang mereka berikan
adalah persembahan yang cemar di mata Tuhan (bdk. Mal.1:8; 3:8)
Nah,
bagaimana dengan kehidupan kita?
Jangan-jangan
apa yang terjadi dalam kehidupan Bangsa Israel pasca Pembuangan di Babel juga
terjadi kehidupan kita. Berfikir dengan berbagai macam filosofi kehidupan,
namun tidak pernah menghidupinya. Bahkan mengalaskan “transparansi keuangan” untuk
tidak berbagi pada siapapun termasuk pada Gereja. Padahal bila dilihat kembali
dalam diri, sering kali justru kitalah yang sering kali tidak “transparan”
dalam hal keuangan kepada Tuhan.
"Jika Anda menilai orang, Anda tidak punya
waktu untuk mencintai mereka." Mother Teres
Jadi,
bagaimana?
Kehidupan
itu nyatanya tentang menaruh dan membagikan cinta bagi banyak orang. Saat kita menaruh
dan membagikan cinta pada pasangan, tentu kita tidak pernah memikirkan tentang
seberapa besar yang kita miliki. Sebaliknya kita justru berfikir tentang “Apa
yang bisa kita beri” untuk mengekspresikan cinta itu, dimanapun dan kapanpun.
Tanpa menunggu dan mencari momen tertentu. Sebab akan sangatlah sulit untuk
mengekspresikan cinta, bila kita hanya menunggu “momen” (mis; saat kampanye,
saat kaya, saat perayaan dsb). Karena seperti yang Mother Teresa pernah katakan
"Not all of us can do great things. But we can do small things with
great love". (Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar.
Tetapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan penuh cinta).
Inilah
yang harus menjadi pedoman dalam kehidupan kita, sebab uang selalu membawa
pengaruh yang besar bagi setiap hal yang disentuhnya. Ia berfungsi sebagai
pemberi motivasi (insentif), atau justru mengkorupsi nilai-nilai luhur yang
ada, sehingga menjadi rendah. Ia memicu kinerja, sekaligus menghancurkan cinta,
persahabatan serta solidaritas sosial yang mengikat kehidupan bersama manusia.
Untuk
itulah kita perlu untuk menempatkan uang ke tempat asalnya, yakni sebagai alat
dari tujuan hidup manusia yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan dan kepenuhan
hidup. Untuk itu, kita perlu menggunakan pikiran kita tidak hanya untuk mencari
dan mengumpulkan uang, tetapi untuk bertanya ulang, apa yang membuat hidup kita
sebagai manusia itu penuh, dan apa tujuan sebenarnya dari semua yang kita
lakukan.
Komentar
Posting Komentar