Salah satu hal yang sedang
menguasai banyak orang saat ini adalah EGO. Sifat yang membawa diri untuk
mementingkan dan mengutamankan diri sendiri, lalu mengabaikan orang lain.
Sampai hal ini terwujud dalam doa-doa yang sering terucap dalam diri kita,
yakni berdoa untuk diri sendiri dan kepentingan pribadi. Sedang doa bagi orang
lain? Tentu dilakukan! Namun dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pula. Koq
bisa?
Kita berdoa bagi orang lain,
dengan anggapan bahwa dirinya dapat mengubah sikap, kepribadian, dan hal hal
lain yang selama ini merugikan kita. Sehingga orang-orang yang kita sebut jahatlah
yang mendapatkan kesempatan untuk didoakan atas nama kepentingan pribadi kita.
Bagaimana dengan keluarga? Tentu kita mendoakan orang lain yang bukan diri kita
melainkan keluarga kita. Tapi tujuannya, apa? Tujuannya sama; seorang ibu
mendoakan anaknya karena kasih dan cintanya kepada anaknya. Tentu hal ini atas
dasar kepentingan pribadi seorang ibu yang mencintai dan mengasihinya, bukan?
Bagaimana bila hal serupa juga kita lakukan untuk tempat dimana kita tinggal
dan orang lain? Apakah kita mau melakukannya dengan kasih dan cinta pula?
Pemazmur menganjurkan untuk
kita mendoakan orang lain, dengan harapan mereka mendapatkan kesejahteraan atas
doa yang kita utarakan dan ungkapkan. Hal ini terwujud dan menjadi sejarah di
Perang Dunia kedua, yangmana Bruder Roger memberikan dirinya untuk membentuk
komunitas dimasa itu dengan tujuan dan harapan akan perdamaian. Lalu berkembang
sampai saat ini, untuk kesejahteraan banyak orang. Lalu bagaimana dengan komunitas
dan persekutuan dari Gereja-Gereja kita saat ini, apa yang sedang kita doakan bagi
tempat kita tinggal dan orang-orang yang berada di sekeliling kita?
Memberi diri bagi orang
lain melalui, tentu bukanlah sesuatu yang sulit dan bisa kita lakukan. Hanya kegiatan
tersebut tidak menjadi satu tanggung jawab dalam kehidupan pribadi kita. Kita
melepaskan diri akan tanggung jawab tersebut dan menyuruh orang lain untuk berdoa
bagi dirinya? Terbukti, ketika kita berjumpa dengan orang-orang yang jarang
bersekutu dan beribadah ke Gereja, dengan sengaja kita mengungkapkan kepadanya
;”Makanya, banyak berdoa dan ke Gerejalah!”. Tapi, sering kita melupakan untuk
mengatakan kepadanya, “Izinkan aku berdoa bagimu dan semoga Tuhan mendengarkan
doaku untukmu”.
Bila kita menyadari
bahwa orang-orang yang kita sebut jahat, sangatlah kurang waktunya untuk berdoa
dan bersekutu dengan Tuhan, mengapa kita tidak mengambil inisiatif untuk
mendoakannya dan meminta agar Tuhan tetap menyertai kehidupannya? Apakah ini
sulit bagi kita? Atau kita sudah mulai terbiasa untuk menyombongkan diri dengan
kehidupan berdoa dan persekutuan kita kepada orang-orang seperti ini?
Terakhir, pertanyaan-pertanyaan
yang sering kita ajukan menjadi kendala untuk kita berdoa bagi orang lain
adalah; “Kira-kira apa hasil doaku bagi orang tersebut?”. Sering kita lupa
bahwa berdoa bukan tentang hasilnya, tapi tentang memberikan diri bagi Tuhan
dan memberikan diri untuk orang lain kepada Tuhan. Bila kita memaknainya, kita
menyadari “apapun” dan “bagaimanapun” Tuhan menjawab doa kita bagi orang lain, bukanlah
tanggung jawab kita. Alhasil, kita tidak takut apabila doa kita tidak seperti
yang diharapkan orang lain terjadi dalam kehidupannya. Sebaliknya, kita tidak
juga merasa bangga ketika yang kita doakan untuk orang lain terjadi seperti
yang diharapkannya.
Jadi bagaimana? Maukah saudara
mendoakan orang lain dengan cinta dan kasih? Maukah saudara mendoakan orang
lain bukan karena kepentingan saudara, melainkan kesejahteraan bagi hidupnya?
Maukah saudara berdoa bagi tempat dimana saudara berada saat ini?
Aron
Ginting Manik, S.Si Teol C.CM
GBKP Rg Buluh
Awar (085372363155)
Komentar
Posting Komentar