Beda tempat dan beda
cara, demikianlah nasihat yang selalu diberikan kepada saya dalam setiap
pelayanan yang diberikan. Mengapa? Ketika saya mengajak para pelayan di Desa
berefleksi tentang cara dan tanggung jawabnya melayani seperti apa, maka
jawaban yang paling saya sering temukan adalah “Sayapun sebenarnya tidak
menerima dan dipaksa untuk menerima panggilan ini!”
Menarik bukan? Saudara
yang terbiasa dengan jawaban ini, tentu tidak akan terheran-heran. Tapi hal ini
cukup mengherankan saya. Mengapa? Bukankah Gereja tidak hanya sebuah institusi
pada umumnya? Bukankah pelayanan pada jemaat adalah tanggung jawab pada Tuhan?
Lalu mengapa hal ini seolah-olah dan dianggap jadi alasan paling tepat untuk
menghindari pelayanan dan tanggung jawab sebagai seorang pelayan?
Tentu saya juga
mengakui, persoalan yang sering terjadi bukan pada “Apa yang mereka lakukan”,
melainkan “Mereka tidak mengerti menjalankan yang seharusnya. Misalnya, tidak
jarang Gereja-Gereja di Desa mengalami kendala pada proses pelayanan disebabkan
oleh aturan-aturan dan sistem panduan dari Sinodal tidak berlangsungkan
sebagaimana adanya. Hal ini ternyata membuat kegiatan-kegiatan gereja semakin
rumit dan menambah beban tersendiri bagi para pelayan di setiap desa.
Faktor lainnya, adalah
para pelayan sering kali menghadapi persoalan dalam mengatur waktu. Hal ini
saya analisa dari berbagai tempat pelayanan yang sering dijumpai, bahwa mereka
sudah kelelahan dengan rutinitas pekerjaan dan tambahan upacara-upacara adat
yang diberlangsungkan. Hal ini sering membuat mereka terkendala dalam
menyelesaikan tanggung jawab. Alhasil, kendala-kendala semacam ini membawa pada
pembelaan-pembelaan seperti yang saya sebutkan diawal.
Padahal bila kita
melihat kembali pada bahan refleksi kita, seorang Paulus juga seorang pelayan Tuhan
yang bekerja sebagai pembuat tenda. Tidak berhenti pada hal itu saja, beberapa
kali disebutkan dirinya tidak mengambil hak yang seharusnya diterima dalam
setiap pelayanan.
Tentu hal ini dapat
mudah terbantahkan, bahwa pada akhirnya Paulus tidak memiliki keluarga yang dinafkahi.
Sementara para pelayan yang ada didesa memiliki keluarga dan tanggung jawab
untuk menafkahi. Tapi bila dilihat kembali, apakah pelayanan mengurangi perekonomian
para pelayanNya, sampai-sampai hal ini menjadi alasan terbesar untuk tidak
bertanggung jawab pada pelayanan? Atau jangan-jangan hal ini persoalan karena
Tata aturan dan panduan yang diberikan oleh Sinodal tidak diberlakukan.
Sampai-sampai ada banyak waktu yang terbuang untuk perdebatan yang sia-sia, dan
banyak waktu yang dihabiskan untuk kegiatan yang sifatnya justru tidak
membangun alias cuman bicara sana-sini tanpa melakukan aksi sama sekali?
Pada akhirnya, saya
menyadari sekalipun semua hanya alasan belaka, namun tetap layak
dipertimbangkan. Sebab memang demikian halnya yang terjadi. Tapi apakah renungan
ini hanya berhenti pada hal ini? Tidak! Justru ini hanya awal pembicaraan kita!
Faktanya, kemerosotan
terjadi pada rasa empati! Semua hanya menjadi “PEMERHATI” dan lupa untuk
melakukan aksi. Terbukti, bahwa tingkat partisipasi dalam pelayanan-pelayanan
Gereja sangatlah kurang! Semua hanya sibuk untuk mempertanyakan tanggung jawab para
pelayan tanpa membantu para pelayan. Tidak jarang, Gereja dianggap sebagai
tempat-tempat komersial yang dibayar untuk menerima pelayanan dengan penuh.
Tapi benarkah kita mampu melakukannya kepada Tuhan Sang Empunya Gereja? Hati-hati..
jangan angkuh pada Tuhan!!
Lebih menarik lagi,
ketika menjadi pelayan Tuhan dan beranggapan sebagai “EMPUNYA GEREJA”. Hahaha
Luar biasa bukan? Hal ini sering kali terjadi pada orang-orang yang sudah
lama melayani dan lupa diri bahwa dirinya mendapatkan anugerah dari Tuhan untuk
melayani jemaat. Bukan dianugerahkan untuk menguasai jemaat! Mereka-mereka yang
seperti ini, sering berangapan bahwa tanpanya Gereja tidak akan berjalan dengan
semestinya. Mereka lupa, bahwa Gereja tidak berjalan justru karena orang-orang
yang demikian! Wkwkwkwkwk.. Benar bukan?
Tapi, bagaimana pun
yang terjadi pada situasi pelayanan ataupun Gereja kita saat ini. Satu hal yang
menarik untuk kita ingat, dari apa yang Paulus sampaikan;
Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka
tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil, tetapi yang lain karena
kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan
demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara. Tetapi tidak mengapa, sebab
bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan
jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita, karena
aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan
pertolongan Roh Yesus Kristus.
Hal ini sering kali
kita lupakan, bahwa kita condong pada persoalan dan setiap masalah. Kita lupa
bahwa Tuhan selalu memiliki cara dengan bagaimanapun untuk mengajari kita.
Termasuk dari para pelayan-pelayan yang palsu sekalipun! Tuhan dapat memberikan
pengajaran itu untuk kita.
Karena itu, ini bukan
tentang siapa yang salah dan saling menyalahkan. Tapi tentang bagaimana setiap
dari kita mempertanggung jawabkan anugerah yang telah dia berikan kepada kita?
Jangan sampai, karena perspektif kita yang salah dan fokus kita pada yang salah.
Justru menghambat kita untuk berkembang.
Atau..... Jangan-jangan
kitalah yang menjadi permasalahan dan penghambat untuk orang lain melayani? Hayoooooo
lo....
Komentar
Posting Komentar