Ada banyak sekali
artikel yang saat ini bercerita tentang “Pendeta juga manusia”. Pertanyaanya,
apakah pesan yang dimaksudkan dari perkataan ini? Apakah ini menyatakan ;
pembelaan? Pembenaran? Permintaan agar kita dimaklumi oleh jemaat atas setiap
kesalahan yang kita miliki?
Setiap dari kita tentu
pernah membaca kisah tentang proses pemanggilan murid-murid di Galilea. Tentu,
kita bisa membayangkan bagaimana setiap harinya Yesus melihat dan memperhatikan
para nelayan di sana. Tapi dia lebih memilih Simon yang kemudian menjadi
Petrus, Yohanes dan Yakobus anak-anak dari Zabedeus. Dengan kelebihan dan
kekurangan yang selama ini Yesus perhatikan. Sesuatu yang memberikan kesadaran
pula bagi kita, bahwa setiap kita dipilih dan dipanggil untuk melayani bukan
tanpa alasan. Saya yakin, Tuhan juga memperhatikan dan mengenal orang-orang
yang dipilihnya menjadi pelayan, dengan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Termasuk pula para pelayan yang ada di Gereja kita saat ini.
Nah, yang menjadi
menarik untuk dilihat adalah bagaimana cara setiap kita merespon setiap
panggilan dari Tuhan untuk melayaniNya? Bila kita melihat respon para murid
ketika mereka dipanggil untuk melayani. Mereka memiliki sedikit pertahanan
dengan mengatakan bagaimana pengalaman mereka selama menjala ikan selama satu
malam sebelumnya. Walaupun, pada akhirnya mereka mengikuti perintah tersebut
dengan menyatakan, “.....tetapi karena Engkau menyuruhnya.....”
Saya yakin, bila
ungkapan ini merupakan bentuk kesadaran tentang; siapa yang memberikan perintah
dan sebagaimana kita mempercayai DIA yang memerintahkan kepada kita.
Pertanyaannya apakah dalam proses pelayanan saudara, kita menyadari tentang hal
ini? Atau kita berpikir atas dasar “tanggung jawab kita” bukan karena kesadaran
bahwa “Tuhan telah memerintahkan kita?”
Kedua hal ini
memberikan respon yang berbeda. Walaupun sama-sama melakukan pelayanan. Tetapi,
bila kita berpikir pelayanan sebagai tanggung jawab kita, maka saat yang sama
kita memiliki beban yang sangat besar untuk melakukan segala sesuatunya dengan
sasaran, target, program dan hasil. Sesuatu yang sering kali menghilangkan IMAN
dan fokus pada rasa “AMBISIUS”. Sehingga, saat semua sasaran, target, program,
dan hasil tidak tercapai; respon kita terhadapnya menjadi gelisah, marah dan
bahkan memunculkan perasaan bersalah.
Sikap-sikap yang
seperti inilah, akhirnya memunculkan kalimat-kalimat bahwa “Pelayan juga
manusia”, “Pelayan juga punya hati” dan sebagainya. Ke semua itu, ditujukan
untuk menutupi perasaan bersalah yang muncul karena berbagai macam sasaran,
target, program dan hasil yang tidak sesuai dengan harapan dan perencanaan awal
kita.
Bukankah kita lebih
baik, untuk melakukan segala bentuk pelayanan kita dengan berdasarkan
kepercayaan bahwa Tuhan telah yang menyuruh kita ? Bukankah kita mempercayai
bila Tuhan menyuruh, maka DIA memahami keterbatasan dan kelebihan kita?
Bukankah dia mengenal kita? Termasuk tentang sasaran, program, hasil dari
setiap target yang kita miliki. Saya meyakini, bahwa Tuhan tidak terfokus
dengan hal tersebut. Sebaliknya, DIA fokus pada proses dan perjalanan kita yang
tetap di dalamNya.
Lalu mengapa kita
melelahkan pikiran kita dengan semua istilah-istilah pencapaian layaknya
seorang buruh atau budak yang bekerja di dalam satu usaha? Apakah, para pelayan
merupakan buruh atau budak dengan saling membandingkan diri satu dengan yang
lain? Sebaliknya lagi, apakah para pelayan buruh atau budak bagi para jemaat?
Atau jemaat juga memahami dan mengerti bahwa, setiap pelayan diutus oleh-Nya?
Komentar
Posting Komentar