Belajar dari Romo Mangun: Refleksi Teologis Gereja atas Peran Sosial dan Spiritualitas di Zaman Modern
Gereja telah lama dikenal sebagai rumah bagi mereka yang lelah, tempat perlindungan bagi jiwa yang haus akan pengharapan. Namun, di tengah hiruk pikuk dunia yang terus berubah, apakah peran Gereja masih sekadar menjadi tempat bernaung, atau lebih dari itu, menjadi lentera yang menerangi jalan gelap dunia ini? Inilah pertanyaan yang harus kita jawab saat berkaca pada sosok Romo Y.B. Mangunwijaya, seorang imam, arsitek, dan pejuang kemanusiaan, yang hidup dan karyanya menginspirasi kita untuk melihat kembali wajah Gereja di zaman ini.
Romo Mangun bukan hanya seorang yang penuh wacana atau retorika, tetapi ia mewujudkan gagasan besar ke dalam aksi nyata. Melalui pendekatan kemanusiaannya, ia mengajarkan bahwa iman yang benar adalah iman yang menjejak di bumi—yang turun ke jalan dan berjalan bersama mereka yang dilupakan oleh dunia. Dari sini, kita dapat belajar banyak tentang apa yang seharusnya menjadi misi Gereja hari ini: menghidupi iman dengan tangan yang bekerja, dengan hati yang tergerak, dan dengan kaki yang melangkah.
1. Teologi yang Berakar pada Tanah Kehidupan
Romo Mangun menghidupkan teologi pembebasan dalam konteks Indonesia. Teologinya tidak mengawang-awang di menara gading, tetapi menyatu dengan tanah, dengan air sungai, dengan rumah-rumah sederhana di bantaran Kali Code. Ia tidak berbicara tentang Tuhan hanya di balik mimbar, tetapi menghadirkan Tuhan dalam tindakan pembebasan bagi mereka yang hidup di pinggir kehidupan.
Ia mengajarkan kita bahwa Gereja bukanlah sekadar bangunan megah dengan salib yang menjulang tinggi, tetapi seharusnya menjadi tenda darurat bagi mereka yang terluka—baik luka fisik maupun jiwa. Gereja harus ada di tengah dunia, di antara yang miskin, yang tersingkirkan, yang tertindas. Inilah panggilan kita: menjadi pelayan, bukan sekadar pemimpin. Menjadi sahabat bagi yang kecil, bukan sekadar pemandu moral yang kaku.
Gereja hari ini, lebih dari sekadar memberi khotbah dan mengajar doktrin, harus berani menjejakkan kakinya di jalan-jalan berdebu kehidupan nyata. Kita dipanggil untuk mendengarkan, bukan hanya berbicara. Kita dipanggil untuk memeluk, bukan hanya menilai. Di sini, Romo Mangun memberi kita teladan teologi yang menyatu dengan kemanusiaan.
2. Spiritualitas yang Bertumbuh dalam Pelayanan
Ada satu hal yang selalu ditekankan Romo Mangun: spiritualitas harus diwujudkan dalam pelayanan nyata. Spiritualitas tidak sekadar tentang doa-doa panjang atau ritual yang indah, tetapi tentang bagaimana doa-doa itu menjadi inspirasi untuk bertindak, untuk mengasihi lebih lagi.
Gereja hari ini sering kali terjebak dalam rutinitas. Ibadah berjalan, pujian dinyanyikan, tetapi apakah kita benar-benar hadir di tengah-tengah mereka yang membutuhkan? Apakah kita mendengarkan tangisan orang yang terpinggirkan, atau kita lebih suka mendengarkan nyanyian indah di dalam gedung gereja yang nyaman?
Romo Mangun mengajarkan kita bahwa kasih Tuhan harus berwujud. Ia tidak diam di altar, tetapi melangkah keluar, merangkul mereka yang tidak dianggap. Saat ia mendampingi warga di Kali Code, ia tidak hanya memberi mereka roti, tetapi memberi mereka harapan, kebanggaan, dan masa depan. Inilah yang harus dilakukan Gereja: tidak hanya memberi, tetapi memberdayakan.
3. Inkulturasi: Merangkul Budaya, Bukan Menghapusnya
Sebagai seorang arsitek, Romo Mangun paham betul bahwa Gereja yang sejati harus menghormati budaya setempat, bukan mendominasi atau menghapusnya. Saat ia merancang Gereja Mangunan, ia tidak sekadar membangun tempat ibadah, tetapi ia menggabungkan elemen-elemen budaya Jawa yang begitu kental. Bagi Romo Mangun, iman dan budaya bisa bersinergi, saling memperkaya, tanpa harus saling meniadakan.
Dalam refleksi ini, Gereja harus bertanya: apakah kita sudah cukup merangkul budaya tempat kita berada, atau kita justru menjadi tamu asing yang mencoba mengubah segalanya? Inkulturasi bukan tentang kompromi iman, tetapi tentang merangkul kearifan lokal sebagai sarana untuk mewartakan kasih Tuhan yang universal.
4. Keberanian Melawan Ketidakadilan
Romo Mangun tidak hanya seorang imam yang lembut hati, tetapi juga pemberontak terhadap ketidakadilan. Ia tahu kapan harus berbicara dengan penuh kasih, tetapi ia juga tahu kapan harus bersuara lantang melawan ketidakadilan. Dalam berbagai kesempatan, Romo Mangun berdiri melawan sistem yang menindas, bahkan ketika itu membuatnya menghadapi risiko besar.
Gereja hari ini perlu belajar dari keberanian Romo Mangun. Di tengah dunia yang penuh korupsi, penindasan, dan ketidakadilan, Gereja tidak boleh diam. Kita harus berani berdiri untuk kebenaran, meskipun itu berarti harus melawan kekuatan besar yang mungkin menekan kita. Gereja adalah suara bagi mereka yang tidak memiliki suara, seperti yang dilakukan Romo Mangun di Kali Code dan di berbagai perjuangan kemanusiaan lainnya.
5. Pelestarian Lingkungan Sebagai Bagian dari Misi Gereja
Romo Mangun adalah seorang arsitek yang peduli pada kelestarian lingkungan. Dalam setiap desainnya, ia selalu memikirkan bagaimana alam bisa tetap terjaga. Ini adalah pesan yang sangat relevan bagi Gereja di masa kini, terutama ketika dunia menghadapi krisis lingkungan yang semakin memburuk.
Gereja harus menyadari bahwa tugas kita bukan hanya menyelamatkan jiwa, tetapi juga menjaga ciptaan Tuhan. Alam adalah bagian dari karunia Tuhan, dan merusaknya adalah bentuk ketidakadilan terhadap generasi mendatang. Seperti Romo Mangun yang merancang dengan memikirkan ekologi, Gereja juga harus bergerak dalam aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan.
6. Gereja sebagai Tempat Refleksi dan Dialog
Romo Mangun tidak pernah berhenti untuk merenung dan berdialog. Ia selalu mencari makna yang lebih dalam dari setiap peristiwa, selalu membuka ruang bagi pertanyaan dan perbedaan. Ia mengajarkan bahwa Gereja harus menjadi ruang untuk dialog, bukan sekadar tempat untuk dogma.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, Gereja perlu menjadi tempat di mana semua orang bisa merasa diterima, di mana perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk saling belajar. Inilah tantangan bagi Gereja hari ini: menjadi tempat bagi refleksi yang mendalam dan dialog yang terbuka.
Penutup: Refleksi Kasih dalam Aksi
Romo Mangun telah meninggalkan jejak yang begitu dalam, bukan hanya di tanah tempat ia bekerja, tetapi di hati setiap orang yang merenungkan hidup dan karyanya. Ia telah menunjukkan kepada kita bahwa iman tanpa tindakan adalah mati, dan Gereja tanpa pelayanan adalah kosong.
Gereja hari ini perlu belajar dari warisan Romo Mangun—belajar untuk melihat dunia melalui mata mereka yang terpinggirkan, untuk bertindak dengan tangan yang penuh kasih, dan untuk berani melawan ketidakadilan. Di tengah dunia yang semakin haus akan keadilan dan cinta, Gereja harus menjadi oasis bagi mereka yang mencari Tuhan, melalui tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.
Seperti Romo Mangun, kita semua dipanggil untuk mewujudkan kasih Tuhan dalam setiap langkah hidup kita. Gereja harus menjadi terang bagi dunia yang gelap, bukan hanya dengan khotbah-khotbah indah, tetapi dengan tangan yang bekerja dan hati yang terbuka.
Komentar
Posting Komentar