MELAMPAUI BATAS UNTUK KEDAMAIAN - MATIUS 5:9 & GALATIA 5:15 (REFRENSI TAMBAHAN PJJ GBKP 20-26 OKTOBER 2024)
Created by AGM |
Pengantar
Michel Foucault, dalam
analisisnya tentang kekuasaan dan masyarakat, menekankan bahwa kedamaian sering
kali dipelihara oleh struktur kekuasaan dan pengawasan sosial. Dalam pandangan
ini, kedamaian tercipta melalui regulasi, kontrol, dan disiplin. Namun, kedamaian
seperti ini dapat bersifat represif, menindas ketidaksetaraan, dan kadang
menutup ruang untuk kebebasan individu. Bagi Foucault, kedamaian yang
dipaksakan melalui kekuasaan eksternal tidak benar-benar mewujudkan
kesejahteraan yang hakiki, tetapi hanya memelihara ketertiban.
Jika kita memandang
kedamaian dari sudut pandang iman, bagaimana kita seharusnya memahami kedamaian
yang Kristus tawarkan? Apakah damai itu datang dari aturan yang ketat atau dari
relasi yang didasarkan pada kasih dan kebenaran? Lalu, bagaimana kita memaknai
damai yang sejati dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita mencari damai
melalui kontrol dan aturan, atau melalui belas kasih dan pengampunan seperti
yang dicontohkan oleh Yesus?
Kedamaian Sejati:
Hubungan dengan Allah dan Sesama
Dalam Matius 5:9, Yesus
menyatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut
anak-anak Allah.” Firman ini menunjukkan bahwa membawa damai adalah tindakan
yang lahir dari hubungan yang sehat dengan Allah. Kedamaian yang sejati tidak
hanya tentang absennya konflik, tetapi tentang hidup dalam keharmonisan yang
selaras dengan kehendak Allah. Kedamaian ini tercermin dalam hubungan kita
dengan orang lain.
Kita dipanggil untuk
menjadi pembawa damai dengan menunjukkan kasih, pengampunan, dan kelembutan
dalam setiap interaksi. Apakah kita benar-benar membawa damai dalam setiap
hubungan kita? Apakah hubungan kita dengan Allah mempengaruhi cara kita
berhubungan dengan sesama? Bagaimana kita mewujudkan kedamaian yang berasal
dari Allah dalam dunia yang penuh pertentangan ini?
Kedamaian di Zaman
Yesus: Kasih dan Pengampunan vs. Penegakan Hukum yang Kaku
Pada zaman Yesus, para
Ahli Taurat dan Farisi berusaha menciptakan kedamaian dengan menegakkan hukum
secara kaku. Mereka memandang bahwa dengan mematuhi setiap aturan hukum,
masyarakat akan hidup dalam ketertiban. Namun, pendekatan ini sering
mengabaikan belas kasihan dan cinta kasih. Yesus datang untuk menunjukkan bahwa
kedamaian sejati tidak terwujud melalui penegakan hukum yang kaku, tetapi
melalui kasih dan pengampunan.
Dalam Galatia 5:15,
Paulus memperingatkan jemaat, “Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling
menelan, waspadalah, supaya kamu jangan saling membinasakan.” Perkataan ini
menekankan bahwa persaingan, penghakiman, dan konflik hanya akan menghancurkan hubungan
antar sesama. Sebaliknya, kita dipanggil untuk mencari pemulihan dan
rekonsiliasi.
Apakah kita lebih
sering menegakkan aturan tanpa memperhatikan belas kasihan? Apakah kita mencari
kedamaian melalui kasih seperti yang Yesus ajarkan, atau kita terjebak dalam
persaingan dan penghakiman yang hanya memperlebar jurang di antara kita?
Tata Gereja dan
Kedamaian dalam Pelayanan Yesus
Banyak gereja saat ini
memiliki tata gereja yang mengatur kehidupan berjemaat dengan cermat. Sistem
ini penting untuk menjaga ketertiban, memastikan pelayanan berjalan efektif,
dan menjaga keharmonisan internal. Namun, apakah tata gereja ini selalu membantu
menciptakan kedamaian sejati? Jika kita merenungkan kehidupan Yesus, Dia sering
kali menantang struktur hukum yang kaku demi mengutamakan kasih dan belas
kasihan.
Meskipun penting untuk
menghormati tata gereja, nasihat dalam Galatia 5:15 mengingatkan kita bahwa
kita harus mencari pemulihan dan rekonsiliasi, bukan menekankan aturan yang
kaku hingga mengabaikan kasih. Bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan antara menaati
tata gereja dan menghidupi kedamaian seperti yang Yesus ajarkan? Apakah kita
mampu mewujudkan kedamaian di gereja kita dengan fokus pada rekonsiliasi, bukan
pada perselisihan?
Keprihatinan Gereja
Terkini: Panggilan untuk Menjadi Pembawa Damai
Di tengah situasi dunia
yang penuh konflik, baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi, gereja
dipanggil untuk menjadi agen perdamaian. Dunia sering kali terpecah belah oleh
perbedaan pandangan dan kepentingan. Namun, panggilan kita sebagai gereja adalah
menjadi pembawa damai, bukan sekadar pemelihara ketertiban. Kedamaian yang kita
bawa haruslah aktif, mengundang rekonsiliasi, dan mengutamakan hubungan yang
dipulihkan.
Gereja sering kali
terjebak dalam debat internal yang tidak membawa damai. Kita perlu bertanya:
apakah kita sebagai gereja sudah menjalankan peran kita sebagai pembawa damai?
Ataukah kita justru memperuncing perpecahan? Bagaimana gereja dapat lebih berperan
aktif dalam memulihkan hubungan yang rusak di dunia ini?
Kisah Nyata: Gereja
yang Menjadi Pembawa Damai
Di salah satu desa
kecil di Papua, sebuah gereja berperan penting dalam meredakan konflik antara
dua suku yang sudah lama berseteru. Perselisihan ini berakar dari perebutan
lahan yang menyebabkan pertumpahan darah. Ketika gereja setempat melihat
semakin memanasnya situasi, mereka memutuskan untuk turun tangan sebagai
mediator.
Dengan penuh kesabaran,
mereka mengadakan pertemuan-pertemuan bersama pemimpin kedua suku,
menyelenggarakan doa bersama, dan memberikan ruang dialog bagi kedua belah
pihak. Melalui proses yang panjang dan melelahkan, gereja ini berhasil
mendamaikan kedua suku. Mereka tidak hanya berbicara tentang kasih dan
pengampunan, tetapi juga menghidupi nilai-nilai tersebut dengan tindakan nyata.
Gereja ini membangun
jembatan rekonsiliasi yang memungkinkan kedua suku untuk berdamai dan hidup
berdampingan kembali. Kisah ini menunjukkan bagaimana gereja yang dipenuhi
dengan kasih dan belas kasihan dapat menjadi alat Tuhan untuk membawa kedamaian
dalam masyarakat. Apakah kita juga bersedia menjadi jembatan damai seperti
mereka di lingkungan kita?
Refleksi:
Apakah kita siap mengambil peran sebagai pembawa damai di tengah-tengah konflik
yang ada? Bagaimana kita bisa menghidupi kedamaian yang sejati, bukan hanya
dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata yang memulihkan dan
mendamaikan?
Komentar
Posting Komentar