RENUNGAN NATAL #3 "Mengapa Sang Raja Lahir di Palungan?"

 

(Lukas 2:7: “Ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan kain lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.”)

Ketika mendengar tentang kelahiran seorang raja, kita mungkin membayangkan istana megah, karpet merah, dan sambutan penuh kemegahan. Namun, Yesus, Sang Raja segala raja, lahir di sebuah palungan sederhana. Mengapa Sang Mesias memilih jalan rendah hati ini?

Palungan adalah simbol kerendahan hati Allah yang mau merendahkan diri-Nya untuk menjangkau manusia. Dalam teologi Kristen, ini dikenal sebagai kenosis—pengosongan diri Allah seperti yang dijelaskan dalam Filipi 2:7. Psikolog Carl Rogers, melalui pendekatannya yang berpusat pada manusia (person-centered approach), menekankan pentingnya empati untuk membangun hubungan sejati. Dengan lahir di palungan, Yesus menunjukkan empati-Nya kepada umat manusia, menyatakan bahwa Dia hadir bagi semua, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan.

Dalam dunia yang sering menilai manusia berdasarkan status, kekayaan, dan pencapaian, kelahiran Yesus di palungan adalah teguran bagi kita. Filosof Jean-Paul Sartre, meskipun bukan seorang Kristen, pernah menulis dalam karyanya Being and Nothingness bahwa manusia sering kali terjebak dalam permainan status sosial untuk mencari makna. Namun, Yesus menunjukkan bahwa makna sejati ditemukan dalam kerendahan hati dan hubungan dengan Allah.

Kerendahan hati yang ditunjukkan dalam kelahiran Yesus juga menginspirasi untuk hidup lebih sederhana di tengah budaya konsumtif. Psikolog Barry Schwartz dalam bukunya The Paradox of Choice menyoroti bagaimana manusia modern sering kehilangan kebahagiaan karena berusaha mendapatkan yang lebih banyak, alih-alih bersyukur atas yang sederhana.

Pada abad ke-20, seorang wanita bernama Agnes Gonxha Bojaxhiu, yang kemudian dikenal sebagai Ibu Teresa, meninggalkan kenyamanan hidupnya di Albania untuk melayani orang-orang miskin di Kolkata, India. Ia memilih hidup sederhana di tengah kemiskinan yang parah, percaya bahwa kasih sejati hanya dapat ditemukan dalam pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam salah satu tulisannya, ia berkata, “Allah memilih menjadi kecil dan sederhana, agar kita dapat mendekati-Nya.”

Kisah Ibu Teresa mengingatkan kita pada kelahiran Yesus di palungan. Allah tidak memilih jalan yang megah untuk menunjukkan kasih-Nya, melainkan jalan yang rendah hati, agar semua orang dapat mendekati-Nya tanpa rasa takut atau minder.

Melihat Sang Raja yang lahir di palungan, kita diundang untuk merefleksikan hidup kita. Apakah kita terlalu terikat pada status, kemewahan, atau hal-hal duniawi yang membuat kita jauh dari Allah? Atau, seperti Yesus, kita bersedia merendahkan diri untuk melayani sesama dan membangun hubungan yang penuh kasih?

Teolog Henri Nouwen menulis, “Kerendahan hati adalah pintu gerbang menuju kasih. Tanpa kerendahan hati, kasih akan menjadi perhitungan dan tuntutan.” Dengan mengikuti teladan Yesus, kita dipanggil untuk meninggalkan kebanggaan diri dan menerima panggilan untuk melayani.

Refleksi Pribadi

Apakah ada hal-hal dalam hidup Anda yang perlu Anda lepaskan untuk menemukan makna sejati seperti yang Yesus tunjukkan di palungan? Bisakah Anda hidup lebih sederhana dan memberi lebih banyak bagi sesama? Melalui kerendahan hati, kita menemukan pintu menuju kasih Allah yang sejati.


Referensi

1.      Alkitab (Lukas 2:7)

2.      Filipi 2:7, tentang pengosongan diri Allah (kenosis)

3.      Carl Rogers, On Becoming a Person

4.      Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness

5.      Barry Schwartz, The Paradox of Choice

6.      Henri Nouwen, The Selfless Way of Christ

7.      Kisah Ibu Teresa dalam Come Be My Light: The Private Writings of the Saint of Calcutta

8.      Artikel dari Psychology Today tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Komentar