BAHAN SERMON PEKAN PENATALAYANAN GBKP 2025 HARI KEEMPAT "TETAP MENJALIN RELASI BAIK DENGAN SEMUA - Kejadian 26:26-33"

 


===================================================================

Invocatio       : Efesus 4:26

Bacaan I        : Matius 5:21-26

Kotbah           : Kejadian 26:26-33

Tema              : TETAP MENJALIN RELASI BAIK DENGAN SEMUA

===================================================================

Pengantar

“Menjaga hubungan baik itu ibarat menyiram tanaman. Kalau terlalu banyak air, akarnya busuk. Kalau terlalu kering, daunnya layu. Kuncinya ada di keseimbangan.” Pernyataan ini terdengar sederhana, tapi sebenarnya menyimpan kearifan mendalam. Dalam kehidupan, hubungan dengan orang lain sering kali menghadirkan tantangan yang kompleks. Dari perbedaan pendapat kecil hingga konflik besar yang melibatkan emosi, setiap relasi membutuhkan hikmat dan kesabaran. Tapi mari jujur sejenak: bukankah kita sering kali lebih suka mempertahankan ego daripada merawat hubungan?

 

Dalam dunia yang penuh perbedaan ini, menjalin relasi baik dengan semua orang adalah panggilan yang tidak bisa diabaikan. Bukan karena mudah, tetapi karena penting. Sebagaimana dinyatakan dalam Kejadian 26:26-33, kisah Ishak dan Abimelekh mengajarkan bahwa keberhasilan bukan hanya soal siapa yang menang dalam konflik, tetapi siapa yang mampu membawa damai.

 

Kisah Ishak dan Abimelekh dalam Kejadian 26 adalah gambaran nyata bagaimana konflik dapat muncul dari ketegangan ekonomi dan politik. Ishak, yang diberkati Tuhan dengan kesuburan tanah dan kekayaan, menarik kecemburuan bangsa Filistin. Sumur-sumur yang digali oleh Ishak — sumber kehidupan di tanah kering — dirampas oleh orang-orang Filistin. Secara manusiawi, situasi ini jelas merugikan Ishak.

 

Namun, alih-alih membalas dengan kekerasan atau memaksakan haknya, Ishak memilih untuk menjauh dan menghindari konflik lebih lanjut. Ketika Abimelekh kemudian datang untuk mengajukan perjanjian damai, Ishak tidak memendam dendam. Ia menerima Abimelekh dengan tangan terbuka, mengakui bahwa damai lebih penting daripada menang dalam perdebatan.

 

Secara psikologis, pendekatan Ishak mencerminkan prinsip resolusi konflik yakni  hubungan yang sehat tidak diukur dari absennya konflik, tetapi dari bagaimana konflik tersebut dikelola. Ishak menunjukkan emotional intelligence yang tinggi dengan tidak membiarkan emosi negatif menguasai tindakannya. Ia memahami bahwa rancangan Tuhan lebih besar dari kerugian materi yang ia alami.

 

Paulus, dalam Efesus 4:26, menulis, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kemarahan adalah bagian dari pengalaman manusia, tetapi respons terhadap kemarahan itulah yang menentukan apakah hubungan dapat dipertahankan atau tidak.

 

Dalam konteks relasi, membiarkan kemarahan berlarut-larut hanya akan memperburuk keadaan. Psikolog Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence menyatakan bahwa kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi adalah kunci keberhasilan dalam menjalin hubungan. Ishak mencontohkan hal ini dengan tidak membiarkan rasa sakit hatinya menghalangi rekonsiliasi dengan Abimelekh. Sikap ini mencerminkan kebijaksanaan yang melampaui kepentingan pribadi.

 

Pengajaran Yesus dalam Matius 5:21-26 memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang pentingnya rekonsiliasi. Dalam konteks historis, Yesus berbicara kepada masyarakat Yahudi yang sangat menghargai ritual keagamaan. Namun, Ia menegaskan bahwa sebelum mempersembahkan korban di altar, seseorang harus terlebih dahulu berdamai dengan saudaranya yang berselisih. Pesan ini revolusioner karena menempatkan relasi manusia sebagai prioritas di atas ritual keagamaan.

 

Yesus juga memperingatkan bahwa kemarahan yang tidak terkendali dapat membawa seseorang kepada dosa. Dengan kata lain, rekonsiliasi bukan hanya soal memulihkan hubungan dengan sesama, tetapi juga soal menjaga hubungan dengan Tuhan. Dalam dunia modern, pesan ini relevan untuk mengingatkan kita bahwa hubungan yang sehat adalah cerminan iman yang hidup.

 

Secara filosofis, pengampunan adalah tema yang sering dibahas oleh para pemikir besar. Pengampunan sejati sebagai sesuatu yang “tidak mungkin” secara manusiawi, tetapi menjadi mungkin melalui kasih karunia Tuhan. Dalam konteks ini, pengampunan bukanlah tanda kelemahan, tetapi kekuatan yang melampaui batasan manusia.

 

Carol Gilligan, dalam konsep ethics of care, menekankan bahwa hubungan yang sehat dibangun di atas dasar empati dan perhatian terhadap kebutuhan orang lain. Dalam konteks Kristen, ini berarti mengutamakan kasih dan pengampunan sebagai respons terhadap konflik. Seperti yang ditunjukkan oleh Ishak, pengampunan membuka jalan bagi rekonsiliasi dan kedamaian.

 

Menjaga relasi baik dengan semua orang adalah tantangan yang membutuhkan iman, hikmat, dan pengorbanan. Dari Ishak yang menyerahkan konfliknya kepada Tuhan, Paulus yang menasihati untuk tidak membiarkan kemarahan berlarut-larut, hingga Yesus yang mengajarkan pentingnya rekonsiliasi, kita belajar bahwa hidup di jalan damai adalah panggilan yang harus dihidupi oleh orang-orang yang berolehkan keselamatan dari Tuhan.

 

Dalam dunia yang sering kali mengutamakan kemenangan atas orang lain, kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai. Sebab, pada akhirnya, relasi yang dipenuhi kasih dan pengampunan bukan hanya memberikan kebahagiaan bagi kita, tetapi juga memuliakan Tuhan. Jadi, mari kita berhenti bertanya, “Siapa yang salah?” dan mulai bertanya, “Bagaimana saya bisa membawa damai?”

Komentar