REFRENSI KHOTBAH MINGGU GBKP 12 JANUARI 2024 – ANAK MANUSIA YANG DISURUH TUHAN - Markus 9:2-12




Pengantar

Bayangkan Anda diajak naik ke atas gunung oleh seorang teman yang Anda tahu istimewa, tetapi Anda belum sepenuhnya mengerti mengapa. Anda mendaki dengan susah payah, napas terengah-engah, hanya untuk tiba di puncak dan menyaksikan sesuatu yang mengubah pandangan Anda tentang dunia dan diri Anda sendiri. Begitulah yang dialami oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes di Gunung Transfigurasi. Dalam sekejap, mereka menyaksikan Yesus berubah rupa, wajah-Nya bersinar, dan pakaian-Nya memancarkan kemuliaan surgawi. Tidak hanya itu, dua tokoh besar Perjanjian Lama, Musa dan Elia, muncul di sisi-Nya, berbincang dengan-Nya.

Namun, momen ini tidak hanya spektakuler secara visual. Transfigurasi adalah pengungkapan mendalam tentang identitas Yesus sebagai Anak Manusia yang diutus Tuhan. 

1. Transfigurasi: Puncak Kemuliaan dan Transformasi Psikologis

Ketika murid-murid melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya, mereka mengalami apa yang oleh Abraham Maslow disebut sebagai peak experience. Ini adalah momen di mana seseorang merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, sebuah pengalaman spiritual yang menggetarkan. Para murid, yang sehari-hari melihat Yesus sebagai Guru mereka, tiba-tiba dihadapkan pada sisi keilahian-Nya yang luar biasa. Emosi yang mereka rasakan—kagum, takut, dan heran—adalah respons manusiawi terhadap kehadiran ilahi.

Dacher Keltner, seorang psikolog sosial, menyatakan bahwa rasa kagum (awe) dapat memperluas perspektif seseorang dan menginspirasi tindakan yang lebih penuh makna. Dalam konteks ini, Transfigurasi adalah lebih dari sekadar momen penglihatan. Itu adalah panggilan bagi para murid untuk melihat Yesus dengan cara baru dan, pada akhirnya, untuk hidup dengan misi baru. Ketika Tuhan berkata, “Dengarkanlah Dia!” (Markus 9:7), itu bukan hanya perintah tetapi undangan untuk mengalami transformasi batin.

2. Gunung dan Kehadiran Tuhan: Perspektif Filsafat

Dalam Mazmur 48:2, Gunung Sion disebut sebagai “puncak yang indah, kegirangan bagi seluruh bumi.” Gunung dalam Alkitab sering menjadi tempat pertemuan manusia dengan Tuhan—dari Musa menerima Taurat di Gunung Sinai hingga Yesus berdoa di Getsemani. Namun, di Gunung Transfigurasi, pertemuan itu mencapai puncaknya. Yesus tidak hanya menjadi perantara antara Tuhan dan manusia; Dia sendiri adalah pernyataan kemuliaan Tuhan.

Secara filosofis, momen ini mencerminkan gagasan Plato tentang the Forms, di mana dunia nyata hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi. Transfigurasi memberi para murid sekilas tentang dunia ilahi yang sempurna. Namun, seperti yang diajarkan oleh Dietrich Bonhoeffer, pengalaman spiritual seperti ini bukanlah alasan untuk melarikan diri dari dunia nyata. Sebaliknya, ini adalah kekuatan untuk menghadapi realitas dengan keberanian.

Seperti dalam Yesaya 43:1-5, Tuhan berfirman, “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau.” Filsuf eksistensialis Søren Kierkegaard menekankan bahwa iman sejati lahir ketika manusia berani menghadapi ketakutannya dengan percaya pada pemeliharaan Tuhan. Gunung Transfigurasi mengingatkan kita bahwa, meskipun hidup penuh tantangan, kehadiran Tuhan selalu menyertai kita.

3. Kemuliaan Kristus dan Kasih Karunia Tuhan

Transfigurasi sebagai momen penting dalam pewahyuan keilahian Kristus. Kemuliaan yang ditunjukkan Yesus adalah penguatan bagi iman para murid sebelum mereka menghadapi penderitaan salib. Ini adalah bentuk kasih karunia Tuhan yang memilih untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia meskipun manusia tidak layak.

Saya juga menyoroti pentingnya suara Tuhan yang berkata, “Dengarkanlah Dia!”. Mendengarkan Yesus, menurut saya, bukan sekadar mendengar perkataan-Nya tetapi juga menundukkan diri pada kehendak-Nya. Ini adalah inti dari iman Kristen: hidup dalam ketaatan penuh kepada Kristus sebagai respons terhadap kasih karunia Tuhan.

4. Humor dan Kelemahan Manusia: Petrus di Gunung

Salah satu aspek yang paling manusiawi dari kisah ini adalah respons spontan Petrus yang ingin mendirikan tiga kemah—satu untuk Yesus, satu untuk Musa, dan satu untuk Elia. Meskipun kelihatan lucu, ini mencerminkan keinginan kita untuk membuat momen spiritual menjadi permanen. Kita sering ingin “berkemah” di momen-momen indah dan melupakan bahwa Tuhan memanggil kita untuk turun dari gunung dan melayani dunia.

Respons Petrus adalah tanda kelemahan manusia, tetapi Tuhan menggunakan kelemahan ini untuk mengajarkan pelajaran berharga. Humor ini mengingatkan kita bahwa Tuhan dapat bekerja melalui kekurangan dan ketidaksempurnaan kita. Seperti kata C.S. Lewis, “Kebesaran jiwa manusia sering muncul di tengah-tengah absurditas hidupnya.”

Penutup: Turun dari Gunung dengan Misi Baru

Momen Transfigurasi adalah puncak pengalaman spiritual bagi para murid, tetapi itu bukanlah akhir. Setelah momen itu, mereka harus turun dari gunung dan menghadapi dunia nyata, termasuk penderitaan dan salib yang menanti. Begitu juga dengan kita. Minggu Epiphanias ini mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk mengenal Yesus lebih dalam, mendengar suara-Nya, dan membawa cahaya-Nya ke dunia yang gelap.

Sebagai manusia, kita mungkin merasa tidak layak atau bingung seperti Petrus. Tetapi seperti dalam Yesaya 43:5, Tuhan berkata, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau.” Keberanian kita tidak berasal dari kekuatan sendiri, tetapi dari kasih dan kehadiran Tuhan yang setia.

Mari kita turun dari gunung dengan hati yang diperbarui, membawa semangat Transfigurasi ke dalam hidup sehari-hari. Anak Manusia yang diutus Tuhan berjalan bersama kita, mengubah kelemahan kita menjadi alat kemuliaan-Nya. Dan itu, saudara-saudara, adalah berita terbaik yang pernah ada.

Komentar