Dalam
bahan Khotbah Minggu kita hari ini, kita diingatkan akan beberapa hal;
Pertama, menikmati hidup tidak berarti membuat diri
menjadi beban bagi orang lain.
Santai
dengan kehidupan, menikmati hidup dsb menjadi filosofi-filosofi hidup yang
digemari oleh kalangan muda. Namun yang menjadi masalah adalah kalangan muda
tersebut justru lebih terlihat malas-malasan, dan menjadi beban bagi orang
tuanya. Padahal sejatinya filosofi-filosofi semacam itu tidak mengajarkan
orang-orang hidup untuk bermalas-malasan. Sebaliknya, filosofi-filosofi yang
mengajak untuk santai dengan kehidupan ataupun belajar menikmati hidup
sebenarnya bertujuan agar hidup kita tidak mudah stress atas setiap hal yang
terjadi dalam pekerjaan kita ataupun usaha yang naik turun. Jadi bukan tidak
bekerja dan bermalas-malasan. Tetapi memiliki ketenangan batin, selayaknya
orang beriman yang tidak hanya bertumpu pada usaha dan pekerjaannya tapi juga
menyerahkan semua hal tersebut kepada Tuhan. Sehingga hidup demikian tersebut,
membuat diri kita tidak menjadi seorang yang terlalu ambisius dan lebih ringan
dalam berkonsentrasi dan mencapai tujuan kita.
Kedua, beribadah ataupun pelayanan bukanlah
persembunyian dan pembenaran untuk diri tidak tidak bekerja.
Ada
sebuah kisah tentang Belalang dan Semut. Pada musim
dingin, si belalang melihat sederet semut membawa biji-bijian ke sarang mereka.
Kata belalang, “Maukah kamu berbagi sedikit makanan? Saya belum makan apa pun
sejak kemarin; saya hampir mati kelaparan.” Seekor semut menjawab, “Apa yang
kamu lakukan sepanjang musim panas sehingga tidak punya makanan pada musim
dingin ini?” Kata belalang, “Saya menghabiskan waktu untuk bernyanyi dan
beribadah kepada Tuhan; saya sibuk mempersembahkan berbagai kidung kepada-Nya
sehingga saya tidak sempat mengumpulkan makanan untuk musim dingin.” Jawab
semut. “Kalau begitu, berdoalah terus dan mintalah musim dingin segera pergi.”
Rombongan semut itu berlalu meninggalkan si belalang.
Fabel
di atas tidak jauh berbeda dengan ajaran Paulus yang menjadi bahan Khotbah kita
Minggu ini. Yangmana Paulus menegaskan bahwa orang yang tidak mau bekerja tidak
boleh makan. Paulus sangat konsen pada hal ini, sebab dia tidak ingin melihat
ada jemaat yang hidupnya kacau, malas kerja dan tidak bertanggung jawab atas
diri sendiri. Bahkan Paulus juga memberikan keteladan hidup bagi jemaat Tesalonika
yaitu bekerja. Sekalipun Paulus pantas mendapatkan tunjangan hidup dari jemaat,
tanpa harus capek bekerja. Tetapi Paulus tidak ingin menjadi beban bagi jemaat
Tesalonika, karena itu dia memberikan contoh yang baik yaitu Tekun
Bekerja.
Ketiga, Bekerja dan Beribadah adalah sesuatu yang
tidak dapat terpisahkan.
Bila
kita memperhatikan kehidupan Yesus dan pelayananNya, maka sejatinya kita
memahami bahwa Yesuspun telah memperluas definisi dari pekerjaan itu sendiri
tanpa sekali kali menghapus dan meniadakan Hukum Taurat. Seperti yang terjadi
dalam Matius 12:1-8, saat orang-orang Farisi yang menjaga tradisi untuk tidak
melakukan pekerjaan sama sekali di hari Sabat, maka saat yang sama Yesus
menunjukkan tentang definisi pekerjaan yang dituduhkan orang Farisi tersebut
sebagai sikap beribadah, karena ada kasih yang ditaruh dalam pekerjaan
tersebut. Atau dalam konteks berbeda. Saat cuti, liburan dan beribadah (ritual)
dianggap sebagai sesuatu yang bukanlah bagian dari pekerjaan. Maka itupun
termasuk sebuah kekeliruan. Sebab cuti, liburan dan beribadah (ritual) bukanlah
sesuatu yang menghambat produktivitas. Sebaliknya, hal ini justru memungkinkan
manusia mengambil jarak dari kesibukan kesehariannya, dan begitu dia bisa
berfikir lebih jernih mengenai kreativitasnya. Sesuatu yang disebut juga
sebagai pekerjaan.
Dengan
dasar inilah, sesungguhnya kita membutuhkan pemahaman dan sudut pandang
spiritual yang tidak memisahkan pekerjaan dan peribadahan. Tetapi, haruslah
kita memandang bahwa “saat aku bekerja, maka saat yang sama pula aku beribadah
kepada Tuhan”.
Keempat, semakin sering mengeluh maka hidup semakin
tidak karuan dan kita semakin tidak produktif.
Benar
bahwa keadaan dan situasi saat ini sedang kacau akibat dari Covid 19 yang
melanda negara dan bangsa kita. Tapi ini bukanlah alasan untuk kita menjadi
manusia yang tidak produktif, tidak tau berbuat apa dan tidak mau berbuat
apa-apa. Saya teringat dengan nasihat seorang
pemain football Amerika bernama Lao Holtz, dikatakan bahwa “Kehidupan adalah 10% apa yang terjadi pada Anda dan
90% adalah bagaimana Anda meresponsnya.”.
Nasihat yang akhirnya memberikan pesan kepada kita, bahwa Apa pun yang
kita alami, bagaimana pun kehidupan kita, semua kembali pada respon kita.
Kalau
kita merespon situasi saat ini dengan terus menerus mengeluh, maka hidup
semakin tidak karuan dan kita semakin tidak produktif. Mengapa? Karena pikiran
kita adalah alat yang paling kuat pengaruhnya. Bila kita memutuskan bahwa
sesuatu memang benar ada di luar jangkauan kita, maka saat yang sama kita juga
akan sangat sulit menerobos hambatan yang kita ciptakan sendiri itu. Atau
dengan kata lain ketika kita punya kebiasaan mengeluh, membiarkan pikiran kita
semakin rumit ketika menghadapi kesulitan atau bersikap hidup ini adalah
keadaan darurat? Maka kita akan menjadi frustasi karena sedikit banyak, kita
selalu memperaktikan rasa frustasi. Itulah mengapa saudara sangat sulit
mengembangkan potensi dalam diri saudara dan jatuh pada tindakan malas.
Camkanlah
ini, kebahagian itu tidak diperoleh dari situasi yang baik apalagi diberi oleh
orang lain. Sebab sejatinya, dalam baik dan buruknya situasi, Tuhan Allah turut
bekerja dan menyertai semua hal yang kita kerjakan untuk hidup yang penuh
sukacita!
Komentar
Posting Komentar