APAKAH YESUS YANG SAMA HADIR DI SIOSAR? Photo by @aaronginting |
Allah
begitu mulia, demikianlah pemazmur menuliskan hal ini kepada para pembaca.
Suatu pengakuan yang seharusnya menyadarkan kita sebagai manusia untuk tidak
mencapai dan melebihi Tuhan. Sebab, pada hakikatnya manusia rapuh, kasih Allah
dan hikmatnyalah yang menutupi kerapuhan tersebut.
Seperti
halnya, tanah liat dalam tangan pengerajinnya. Setelah mengalami pembentukan
yang sungguh teramat baik, tanah itu harus dijemur kembali. Demikianlah manusia
tercipta dari tanah, pembentukannya sempurna hanya oleh karena belas kasihan
Allah.
Tapi
bagaimana yang terjadi saat ini?
Dalam suatu
kesempatan, saya berbicara dengan seorang teolog terkenal di Indonesia. Beliau
pernah mengatakan dalam pidatonya tentang suatu daerah yang mayoritas Kristen demikian,
“Dahulu Yesus dihadirkan ditempat ini, namun apakah Yesus yang sama masih
dihadirkan di tempat ini? Atau Yesus baru yang diciptakan oleh akal sehat
manusialah, sudah dan telah berkuasa di daerah ini?”
Suatu
pidato yang menarik bagi saya, sebab dalam diskusi santai kala itu saya mempertanyakan
tentang kehadiran Gereja saat ini. Suatu pertanyaan yang mendalam itu terungkap
karena pergumulan dari pernyataan seorang budayawan, katanya “Bila Kekristenan
itu baik dan memiliki kesempurnaan. Lalu mengapa kehadiran Kristen di Tanah
Karo justru tidak berdampak apapun pada kelestarian Alam?” Bahkan beliau
menceritakan bagaimana relasi masyarakat karo dengan Alam atas pengajaran orangtua
dahulu, maka generasi saat ini dapat menikmati Alam dengan begitu bebasnya. Lalu
bagaimana setelah kekristenan berkuasa, “moderenisasi”, globalisasi dan perkembangan
zaman saat ini. Bukankah, justru karena perilaku itu semua manusia menjadi
seolah-olah lebih dari Tuhan, kemudian berusaha mengeksploitasi alam dengan
begitu hebat beralaskan “Kebutuhan Hidup”.
Salah
satu trend saat ini yang viral di tiktok adalah nyanyian rohani “Tuhan Yesus
tidak Berubah”, saya sangat setuju akan hal ini. Tapi benarkah Yesus yang sama,
juga masih disampaikan pada saat ini? Atau kita membawa Yesus dalam rangkuman
logika dan menyebarkannya dengan bungkusan kepentingan kita?
Mari kita
lihat dan bandingkan;
Dahulu
orang-orang tua kita sangatlah ramah kepada Alam. Seperti misalnya dalam
Masyarakat Karo "dulu" saat merasa takjub pada fenomena-fenomena alam
ini dengan memberikan sirih, tembakau, buah, bunga dan barang lainnya. Persis
seperti tindakan hormat mereka kepada sesama manusia.
Masyarakat
Karo “dulu” menunjukkan keramahannya dengan cara demikian. Tapi bagaimana
dengan saat ini? Tampaknya, pengetahuan dan pengertian yang didapat, justru
membuat manusia semakin tinggi hati terhadap Alam. Berfikir bahwa dirinya mampu
berkuasa secara hirarki atas alam, padahal tidak demikian. Mari kita merujuk
pada Mazmur 8:7-9 ditulis demikian;
Engkau membuat dia berkuasa atas tangan-Mu;
segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya, kambing domba dan lembu sapi
sekalian, juga binatang-binatang di padang;burung-burung di udara dan ikan-ikan
di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
Jika kita
perhatikan, semua binatang yang dituliskan dalam ayat ini juga terlihat pada
Kejadian pasal 1. Sehingga menurut, Emanuel Gerrit Singgih, pemazmur hanya
membayangkan penguasaan manusia hanya terbatas pada makhluk-makhluk hidup ini.
Hal itu juga, dalam rangka penyediaan makanan dan keamanan. Sedang langit,
tampaknya tidak menjadi bagian dari kekuasaan manusia.[10] Hal ini juga dilihat
Barth, sebagai bentuk kuasa atas binatang saja dan kuasa itu juga mengandung
tanggung jawab mereka. Ditambahkan Barth juga, bahwa hubungan manusia dengan
tanah berbeda secara radikal. Yahweh menempatkan manusia untuk melayani
(Ibr:abad; Indonesia/Arab:mengabdi kepada; LAI; mengusahakan,Kej 2:15) dan memeliharanya
(sebagaimana orangtua memelihara anak, peternak memelihara ternaknya, dan orang
yang taat kepada Yahweh memelihara hukum-hukumNya).
Seperti
yang ditafsirkan Singgih pula, dalam Mazmur 104, bahwa manusia berada dalam
urutan yang sama dengan makhuk lain dan dengan habitatnya. Dia tidak berada di
atas yang lain, melainkan setara dengan yang lain. Jika didialogkan maka
mansuaia adalah khalifah yang menata alam, tetapi dia adalah rapuh (vulnerable)
dan bergantung (dependent) kepada Yahweh, dan karena itu dia adalah juga hasil
tataan Ilahi. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka menyelamatkan alam,
terlebih dahulu harus sadar bahwa sebelum kita menata alam, sudah ada yang
menatanya terlebih dahulu yaitu Yahweh. Ia menatanya dengan adil, sehingga
penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia termasuk yang
ditata oleh Yahweh sehingga kita bisa melihat tempat kita di dalam alam ini.
Ternyata kita adalah bagian dari alam ini. Memang alam adalah habitat kita,
namun di mazmur 104 habitat itu menentukan. Jadi bukan hanya kita yang
menentukan alam, tetapi alam juga menentukan kita. Kalau habitat itu rusak,
kita juga kehilangan tempat kita.[15] Kemudian jika kita beralih lagi pada kata
“kuasa”, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Yahweh juga mengaruniakan
hikmatnya dibalik kuasa yang diberikanNya kepada manusia. Sehingga dari hikmat
tersebut manusia diajak bukan hanya untuk berkarya dan memelihara tetapi
juga menjaga. Jika kita kembali pada tinjauan kita
sebelumnya bahwa Yahweh menjadikan manusia menurut gambar-Nya untuk
memungkinkan hubungan timbal balik antara Ia dan mereka. Maka kita harus
menjaga hubungan ini, sebab Yahweh juga dapat menderita karena ciptaan-Nya
rusak.[16] Karena realitasnya manusia juga dapat berkuasa atas keinginan mengikuti
hati (Kej. 4:7), bahkan ia seharusnya juga dapat hidup benar dan adil seperti
Nuh yang tidak bercela di antara segala orang sezamannya (Kej. 6:9).
Sederhananya
saya ingin mengatakan bahwa kerapuhan manusia jangan mengubah Tuhan dan tidak
bisa mengubah Tuhan. Sekalipun manusia memiliki pengetahuan, “keinginan” dan “kepentingan”
jauh lebih sering mengkuasai manusia itu sendiri. Atau dengan kata lain, manusia
memiliki pilihan untuk menyelamatan dan menghancurkan. Tapi, percayalah Alam
tidak mungkin dapat dilawan manusia. Sebagaimanapun cara manusia melakukannya.
Karena itu setiap manusia juga memerlukan pencarian moral dalam dirinya. Selain
itu, manusia juga memerlukan sebuah kedekatan dengan kosmologi dan etika yang
berpusatkan pada manusia (“antroposentrisme” dan “homesentrisme”), sebab dengan
demikian juga kepekaan terhadap seluruh kajian konteks yang telah dikaji
sebelumnya akan hadir dalam diri manusia.
Komentar
Sangat mberkati 🙏
Posting Komentar