Dalam suratnya kepada
jemaat di Korintus, Paulus mengakui keberadaan “duri dalam daging” yang menjadi
penderitaan personal dan spiritual baginya. Ia memohon tiga kali agar Tuhan
mengambilnya, namun jawaban Tuhan sungguh mengejutkan: "Cukuplah kasih
karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi
sempurna." (2 Korintus 12:9).
Ayat ini menjadi poros
teologis untuk merefleksikan Misericordias Domini—Minggu tentang belas
kasih Tuhan, yang tidak hadir dalam bentuk kemudahan, tetapi dalam kekuatan
yang menyertai kelemahan. Dalam konteks ini, belas kasih bukanlah penghapusan
penderitaan, melainkan kehadiran Allah di tengah penderitaan itu sendiri.
1. Belas Kasih yang
Tidak Berjarak (2 Kor 12:7–9 & Hosea 11:1–4)
Allah tidak mencintai
kita dari kejauhan. Dalam Hosea 11:1–4, kita melihat betapa lembutnya cinta
Tuhan:
"Aku menarik
mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih. Aku berlaku kepada mereka
seperti orang yang mengangkat kuk dari rahangnya; Aku membungkuk kepada mereka
dan memberi mereka makan."
Ini adalah gambaran
Allah yang turun ke bawah, yang merendahkan diri-Nya untuk mengasuh umat-Nya
yang keras kepala. Sama seperti Tuhan tidak menghapus duri dalam daging Paulus,
Ia juga tidak menghukum umat-Nya dengan segera. Ia bersabar, penuh kelembutan,
dan membentuk mereka melalui kasih.
Dalam pendekatan
psikologi eksistensial, penderitaan tidak harus diselesaikan, melainkan
dimaknai. Viktor Frankl menyebut bahwa manusia dapat bertahan hidup dalam
penderitaan jika ia menemukan makna di dalamnya. Maka, dalam konteks
Paulus, makna ditemukan ketika ia memahami bahwa kasih karunia Tuhan cukup.
Filsuf seperti
Kierkegaard mengajarkan bahwa keputusasaan manusia justru membuka pintu bagi
kehadiran Allah. Kelemahan bukanlah akhir, tetapi tempat di mana kebenaran
Allah meresap.
2. Identitas Baru dalam
Belas Kasih (2 Kor 12:10 & 1 Petrus 2:10)
“Kamu yang dahulu bukan
umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya; yang dahulu tidak
dikasihani, tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.”
(1 Petrus 2:10)
Dalam kelemahan Paulus,
ada pengakuan akan identitas baru yang dibentuk oleh kasih. Belas kasih Tuhan
mengangkat status manusia dari ‘bukan siapa-siapa’ menjadi umat yang dikasihi.
Paulus belajar untuk “bersukacita dalam kelemahan,” karena di situlah identitasnya
bukan ditentukan oleh kekuatan pribadi, melainkan oleh penerimaan Tuhan.
Ini relevan dengan
konsep self-acceptance. Ketika seseorang dapat mengakui
ketidakberdayaannya tanpa menyangkal nilai dirinya, maka ia membuka ruang bagi
kasih dan relasi yang tulus. Paulus mengalami hal ini dalam relasinya dengan
Allah.
Dalam pemikiran Hannah
Arendt, martabat manusia tidak tergantung pada pencapaian, tapi pada being-with,
keberadaan bersama orang lain—dan dalam iman Kristen, bersama Tuhan. Paulus
menemukan keberadaannya bukan dalam kekuasaan, tetapi dalam belas kasih Allah
yang menyertainya.
3. Relevansi untuk
Hidup Masa Kini
Di tengah dunia yang
mendewakan kekuatan, kinerja, dan citra, pesan ini sangat kontras: Tuhan
tidak menuntut kita menjadi kuat terlebih dahulu. Ia justru hadir dalam
segala bentuk kerentanan kita: kegagalan, luka batin, rasa tidak mampu, bahkan
kehancuran relasi. Seperti gembala yang menggendong domba yang terluka, Tuhan
tidak lari dari penderitaan, melainkan masuk ke dalamnya—dan mengubahnya dari
dalam.
Refleksi Misericordias
Domini hari ini mengajak kita untuk:
- Berhenti menyembunyikan luka,
karena justru di sanalah Tuhan menyatakan kuasa-Nya.
- Memeluk identitas sebagai umat yang
telah dikasihi, bukan karena prestasi tetapi
karena belas kasih yang mendahului kita.
- Melihat kelemahan bukan sebagai
kegagalan iman, tetapi sebagai tempat kesaksian
kasih Tuhan bekerja.
Penutup: Belas Kasih
yang Cukup
Dalam dunia yang terus
menuntut “lebih”—lebih pintar, lebih sukses, lebih kuat—firman ini adalah kabar
baik:
Belas kasih Tuhan sudah
sangat cukup.
Seperti anak kecil yang
digendong dalam Hosea, seperti orang yang dahulu tidak dikasihi dalam 1 Petrus,
seperti Paulus yang ditinggali dengan duri dalam daging, kita semua sedang
diajar bahwa tidak ada kondisi manusia yang terlalu rusak untuk disentuh oleh
kasih-Nya. Bahkan dalam kondisi paling rapuh pun, kita bisa berkata seperti
Paulus:
“Jika aku lemah, maka
aku kuat.”
Komentar
Posting Komentar