Di balik setiap jubah
pendeta, kisah tersembunyi yang tak selalu dimulai dengan keyakinan. Banyak
kali, ia terekam dari keraguan, rasa takut, bahkan penolakan. Namun justru dari
sanalah Allah memulai karya-Nya—bukan dari kekuatan kita, melainkan dari kekosongan
yang bersedia dibentuk. Seperti bumi yang gelap gulata sebelum terang pertama
itu muncul, pelayanan pastoral bukanlah ide manusia, tetapi tindakan Allah yang
mendahului permulaan siapa pun.
Pelayanan adalah
tindakan Allah, ide yang lahir dari kasih-Nya yang tak pernah berhenti mencari.
Dalam kekekalan, Allah telah memutuskan untuk memiliki sebuah keluarga—bukan
dengan cara dunia yang penuh kekerasan, tetapi dengan firman yang mengundang,
yang memanggil, dan yang berjanji. “Jadilah terang,” kata-Nya, dan semesta pun
terbentuk. Sama seperti Ia memanggil dunia dari ketiadaan, Ia juga memanggil
seorang Abraham dari ketidakmungkinan, seorang Saulus dari menempuh yang penuh
kekerasan, dan seorang Ambrose dari tengah ketebalan yang riuh. Pelayanan bukan
sekedar peran, tetapi perpanjangan dari kerinduan Allah untuk hadir dan
dikenal.
Namun, pelayanan tidak
pernah hadir di ruang hampa. Allah bekerja melalui gereja—komunitas yang
percaya, meragukan, meneguhkan, dan membentuk. Panggilan itu bersifat pribadi,
tetapi bukan privat. Seorang pendeta bukan hanya seseorang yang merasa terpanggil,
melainkan seseorang yang diakui dan diutus oleh gereja, yang dipilih bukan
karena kelayakannya, tetapi karena ketaatan pada suara yang lebih besar dari
dirinya sendiri.
Kisah Saulus yang
dirobohkan di jalan menuju Damaskus mengingatkan kita bahwa panggilan sering
datang sebagai gangguan, bukan sebagai penguatan ego. Suara dari langit yang
menyebut namanya dua kali, “Saulus, Saulus,” bukan sekadar panggilan identitas,
tetapi pergeseran arah hidup. Ia tidak hanya dipanggil keluar dari pemancar
yang lama, tetapi masuk ke dalam penderitaan demi Kristus yang telah bangkit.
Ananias, seorang murid biasa, juga dipanggil—bukan untuk mengubah dunia, tetapi
untuk menyambut seorang musuh. Panggilan itu tidak pernah steril. Ia
berantakan, menakutkan, penuh risiko, tetapi justru di sanalah kasih Allah
dinyatakan.
Pelayanan pendeta bukan
sebuah profesi yang dapat dilamar seperti pekerjaan lainnya. Itu adalah hidup
yang diresapi oleh kesadaran: “Aku di sini karena Allah menginginkanku berada
di sini.” Bahkan ketika hati goyah, bahkan ketika gereja tampak tak layak
dipimpin, justru dalam kesadaran bahwa pelayanan ini bukan milik kita—di
situlah pendeta dapat terus bertahan. Bukan karena kuat atau hebat, tapi karena
tahu siapa yang memanggil.
Ironisnya, budaya kita
hari ini memuliakan kebebasan pribadi. Kita mengajarkan bahwa manusia menjadi
berarti menjadi bebas sepenuhnya dari ikatan. Namun dalam kekristenan, justru
kebebasan sejati ditemukan saat kita dimiliki oleh kasih yang lebih besar dari
diri sendiri. Yeremia dipanggil sejak dalam rahim. Abraham baru mengenal
panggilan di usia lanjut. Panggilan Tuhan datang bukan karena usia, status,
atau kesiapan, tetapi karena kasih-Nya yang memanggil kita masuk ke dalam irama
surgawi yang berbeda dari dunia.
Dan menjadi pendeta
berarti hidup dalam irama itu—irama kasih yang tidak populer, irama penderitaan
yang penuh pengharapan, irama ketaatan yang tampak bodoh di mata dunia. Kita
tidak menjalani hidup berdasarkan kenyamanan pribadi, tetapi berdasarkan kerinduan
Allah agar gereja-Nya menjadi terang bagi dunia.
Pelayanan juga adalah
tindakan gereja. Antara kenaikan Kristus ke surga dan turunnya Roh Kudus di
Pentakosta, Kisah Para Rasul mencatat hal yang tampaknya remeh: pemilihan
Matius untuk menggantikan Yudas. Tapi dari sanalah kita belajar bahwa gereja
tidak dapat hidup tanpa kepemimpinan. Gereja membutuhkan orang-orang yang rela
memikul beban pelayanan bukan karena mereka ingin dihormati, tetapi karena
mereka bersedia menjadi saksi yang setia.
Kepemimpinan dalam
gereja adalah bukan hanya pemberian dari Allah, tetapi juga dari komunitas.
Ketika seseorang merasa dipanggil, gereja berhak dan bertanggung jawab untuk
mengujinya. Gereja adalah tempat di mana panggilan dikonfirmasi dan
ditumbuhkan. Sayangnya, banyak orang yang datang ke seminari bukan karena
mereka dipanggil menjadi pendeta, tetapi karena tidak ada ruang lain di dalam
gereja untuk menumbuhkan komitmen mereka. Ini bukan hanya kegagalan pribadi,
melainkan juga tanggung jawab institusional. Gereja harus mampu membina seluruh
tubuh Kristus, bukan hanya para pemimpinnya.
Namun dari semua ini,
satu hal yang paling penting tetap: pelayanan itu berat. Pendeta seperti pelaut
yang menavigasi badai tanpa tahu kapan daratan akan tampak. Gregory Nazianzen,
setelah ditahbiskan, lari ke pegunungan karena merasa tidak layak. Tapi ia
kembali—karena umatnya menemukan, dan karena Tuhan lebih takut untuk
mengabaikan daripada kesulitan pelayanan itu sendiri.
Kadang pelayanan terasa
seperti bekerja di tanah gersang. Kita berkhotbah kepada bangku kosong,
membantu tanpa balas terima kasih, mendamaikan konflik yang tak kunjung usai.
Kita menghadapi realitas sosiologis gereja yang penuh luka, sementara dipanggil
untuk menampilkan kemuliaan teologisnya. Tapi justru di situlah kita hidup—di
antara yang “sudah” dan “belum.” Pelayanannya merenggangkan tangan antara dunia
ini dan Kerajaan Allah yang akan datang, sambil terus percaya bahwa benih Injil
tidak pernah sia-sia.
Menjadi pendeta berarti
berbicara bukan hanya dari usia pribadi, tetapi dari sejarah dua ribu tahun
gereja. Kita tidak hanya membagikan diri kita sendiri, tetapi menghidupkan
kembali kisah para kudus. Kita tidak hanya hadir, tetapi menghadirkan Kristus. Oleh
karena itu, tugas utama pendeta bukanlah menjadi inspirator, penghibur, atau
pengatur. Tugas utama pendeta adalah menjadi Saksi—saksi atas Injil yang
mengubahkan.
Dan sungguh, tugas ini
bukan milik kita. Kita hanya dititipi. Tapi dalam penyerahan itu, justru kita
menemukan kekuatan. Kita tidak berjalan sendirian, karena Sang Pemanggil tetap
menemani. Dan ketika dunia menuntut hasil, kami tetap berdiri dalam kasih karunia,
dan berkata: “Kami hanya hamba yang tidak berguna. Kami hanya melakukan apa
yang harus kami lakukan.”
Komentar
Posting Komentar