Salib Kosong dan Tubuh Tergantung: Pemaknaan Teologis Salib

 


Pendahuluan

Simbol salib berdiri di pusat iman Kristen, menjadi tanda paling dikenal dari kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Namun, perbedaan yang mencolok muncul antara tradisi Katolik dan Protestan dalam cara menampilkan salib ini. Gereja Katolik lazim menggunakan crucifix—salib dengan tubuh Yesus tergantung di atasnya—sementara gereja Protestan, terutama yang dipengaruhi oleh Reformasi radikal seperti Kalvinisme, lebih memilih salib kosong. Perbedaan ini bukan sekadar artistik atau estetika, melainkan menyiratkan perbedaan mendalam dalam cara memaknai karya Kristus dan bagaimana iman harus dihidupi.


Simbol yang Berbicara: Crucifix dalam Tradisi Katolik

Dalam teologi Katolik, crucifix menekankan realitas penderitaan Kristus. Tubuh Yesus yang tergantung menjadi pengingat visual akan sengsara-Nya sebagai penggenapan kasih Allah terhadap dunia. Ini merupakan bagian dari spiritualitas penderitaan yang kuat dalam Gereja Katolik—suatu panggilan untuk merenungkan pengorbanan Yesus secara personal dan emosional.

Crucifix bukan sekadar hiasan; ia berfungsi sebagai sarana devosi, medium kontemplasi, bahkan sebagai pengingat akan Ekaristi, di mana pengorbanan Kristus diperingati secara terus-menerus dalam liturgi. Penderitaan Kristus bukan hanya peristiwa masa lalu, tetapi dihadirkan kembali dalam kehidupan umat melalui perayaan-perayaan sakramental.


Salib Kosong: Simbol Teologis Reformasi

Sebaliknya, Reformasi Protestan menolak penggunaan crucifix dan simbol-simbol visual yang dianggap berpotensi menyimpangkan makna sejati dari penyembahan kepada Allah. Yohanes Calvin adalah tokoh utama dalam pemurnian bentuk ibadah ini. Bagi Calvin, salib kosong menyampaikan pesan yang lebih kuat: Kristus telah bangkit.

Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menolak penggunaan gambaran tubuh Kristus sebagai pelanggaran terhadap hukum kedua dalam Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:4-5), yang melarang pembuatan patung atau gambar untuk tujuan penyembahan. Calvin menulis:

“Allah harus disembah sebagaimana Dia menyatakan diri-Nya, bukan sebagaimana imajinasi kita menciptakan-Nya.” (Institutes, I.11.1)

Penggunaan crucifix bagi Calvin bukan hanya salah arah, tetapi juga menyimpan bahaya teologis: mengurung umat dalam kesedihan dan penderitaan, sementara Injil adalah kabar kemenangan—Kristus yang telah mati, namun bangkit. Salib kosong menjadi simbol kekuatan Injil: kematian Kristus telah dikalahkan oleh kebangkitan-Nya, dan karena itu, umat percaya tidak lagi hidup dalam bayang-bayang maut, tetapi dalam terang kehidupan baru.


Ikonoklasme dan Reaksi terhadap Simbolisme Katolik

Pandangan Calvin sejalan dengan gerakan ikonoklasme yang terjadi dalam Reformasi. Di kota-kota seperti Zürich, Jenewa, hingga Skotlandia, banyak gereja "dibersihkan" dari ikon, patung, dan lukisan religius. Reformator seperti Huldrych Zwingli bahkan mengosongkan interior gereja dari semua hiasan agar umat tidak terdistraksi dari penyembahan sejati yang berpusat pada Firman.

Sementara Katolik menekankan visualisasi iman, Reformasi mendorong umat untuk mengalami Allah melalui pendengaran iman—melalui pemberitaan sabda, bukan gambar. Maka tidak heran, dalam banyak gereja Reformasi, mimbar menggantikan altar sebagai pusat ruangan ibadah, menandakan pergeseran dari simbolisme visual menuju pewartaan teologis yang murni.


Dimensi Eskatologis Salib Kosong

Lebih dari sekadar kritik terhadap ikon, salib kosong memiliki makna eskatologis. Dalam pemikiran Calvin, karya Kristus belum selesai hanya dengan kematian, tetapi berpuncak pada kebangkitan dan kenaikan-Nya. Salib kosong menunjuk pada kemenangan, bukan hanya penderitaan. Dalam pengertian ini, salib bukan hanya lambang kematian, tetapi gerbang menuju kehidupan kekal.

Kebangkitan Kristus bagi Calvin adalah segel dari pengesahan Allah atas karya penebusan. Tanpa kebangkitan, kematian Kristus tidak bermakna (1 Korintus 15:17). Maka, salib kosong menyiratkan bahwa Kristus kini hidup dan berkuasa sebagai Imam Besar yang kekal (Ibrani 7:24-25), bukan lagi sebagai korban tergantung yang pasif.


Konsekuensi Liturgis dan Pastoral

Perbedaan salib ini juga membawa konsekuensi dalam praktik ibadah dan spiritualitas umat. Gereja Katolik cenderung menekankan partisipasi emosional dalam penderitaan Kristus, yang tercermin dalam devosi Jalan Salib, Misa Kudus, dan perayaan Jumat Agung. Sebaliknya, tradisi Kalvinis menekankan pemahaman rasional atas karya penebusan dan penguatan iman melalui pengajaran yang sistematis.

Calvin melihat iman bukan sebagai respons emosional semata, melainkan sebagai hasil dari pengenalan yang benar akan Kristus melalui Firman. Karena itu, simbol seperti salib kosong lebih cocok bagi spiritualitas yang menekankan refleksi teologis dan pemuridan, bukan kontemplasi mistis.


Penutup: Salib Sebagai Medan Tafsir

Salib, baik dalam bentuk crucifix maupun salib kosong, adalah medan tafsir iman Kristen. Dalam tradisi Katolik, salib adalah undangan untuk ikut serta dalam penderitaan Kristus sebagai jalan keselamatan. Dalam tradisi Protestan radikal, salib kosong adalah deklarasi bahwa Kristus tidak lagi di salib, tetapi hidup dan memerintah. Kedua bentuk salib ini mengarahkan umat kepada misteri yang sama—namun dengan cara yang sangat berbeda.

Melalui perbedaan ini, kita belajar bahwa simbol-simbol dalam iman Kristen tidak pernah netral. Ia lahir dari keyakinan, pergumulan sejarah, dan refleksi mendalam akan siapa Allah itu dan bagaimana Dia hadir dalam hidup umat-Nya. Calvin dan para reformator mengingatkan kita bahwa di balik salib kosong, ada panggilan untuk hidup dalam kuasa kebangkitan—dengan iman yang bersandar penuh pada Firman, bukan pada bentuk.

 

Komentar