Dalam kehidupan yang makin cepat dan kompetitif, dua nilai yang tampak makin langka adalah kerendahan hati dan penguasaan diri. Dunia mendorong kita untuk menunjukkan keunggulan, mempertahankan gengsi, dan membalas perlakuan buruk orang lain dengan sikap yang sama. Namun justru di tengah arus dunia yang bising dan penuh ego, Rasul Paulus menyerukan jalan yang berbeda — hidup oleh Roh.
1. Hidup Menurut Daging atau Menurut Roh?
Paulus tidak menulis surat ini kepada orang-orang yang belum percaya, tetapi kepada jemaat! Ini menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kehidupan bergereja, kita bisa terjebak dalam perbuatan daging: iri hati, amarah, perselisihan, keangkuhan rohani. Itulah mengapa Paulus menasihati dengan jelas:
"Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging." (Gal. 5:16)
Kerendahan hati bukan muncul dari kelemahan, tetapi dari kehidupan yang dipimpin oleh Roh. Ia tidak perlu membuktikan diri, tidak berlomba menjadi yang paling rohani, dan tidak haus pujian manusia. Sebab ia tahu identitasnya di hadapan Allah sudah aman.
Demikian pula penguasaan diri — bukan sekadar kontrol emosi atau disiplin diri, melainkan buah dari Roh Kudus yang aktif bekerja dalam diri orang percaya. Kita dimampukan untuk berkata "tidak" pada hawa nafsu, ego, dan dorongan untuk membalas.
2. Rendah Hati: Jalan Kristus, Bukan Jalan Dunia
Yesus tidak datang dalam parade kemegahan, tetapi dalam kerendahan. Ia mencuci kaki murid-murid-Nya, bahkan termasuk Yudas yang akan mengkhianati-Nya. Kerendahan hati bukanlah merasa rendah diri, melainkan memiliki pandangan yang benar tentang diri sendiri dan orang lain di hadapan Allah.
Gereja yang dewasa bukanlah gereja yang penuh orang pintar dan berpengaruh, tetapi gereja yang rela saling melayani tanpa membandingkan, saling membangun tanpa menjatuhkan. Di sinilah doa kita menjadi latihan kerendahan hati — sebab setiap kali kita berseru kepada Allah, kita mengakui bahwa kita tidak cukup kuat untuk mengandalkan diri sendiri.
3. Penguasaan Diri: Bukti Orang yang Dipenuhi Roh
Di tengah dunia yang mendewakan kebebasan tanpa batas, penguasaan diri sering dianggap kuno atau kaku. Tapi Paulus menunjukkan bahwa penguasaan diri adalah buah dari hidup yang sejati — hidup yang berjalan dalam kekudusan.
Menguasai diri berarti belajar menunda kesenangan demi kesetiaan kepada Kristus. Menguasai diri juga berarti tidak serta-merta membalas, tidak segera menyimpulkan, tidak langsung bereaksi, tetapi menanti waktu Tuhan dengan hati yang bersih.
Di sinilah doa menjadi latihan menguasai diri: memilih hening daripada debat, memilih bersyukur daripada bersungut, dan memilih berlutut daripada membalas.
4. Doa: Tempat Mengosongkan Diri dan Dipenuhi Roh
Mari kita jujur. Kita tidak selalu rendah hati. Kita tidak selalu bisa menguasai diri. Namun, di dalam doa yang sungguh, kita datang bukan untuk menyombongkan kesalehan, melainkan untuk menyerahkan kelemahan agar Roh Kudus mengubahnya.
Doa bukan tempat pamer kesucian, tetapi tempat kita mengaku bahwa tanpa Roh, kita hanya orang beragama yang rapuh dan mudah tersinggung. Dalam doa, kita dibentuk. Bukan hanya untuk berbuat baik, tetapi untuk menjadi pribadi yang tunduk kepada Allah.
Refleksi Hari Ini
-
Apakah aku sungguh berjalan menurut Roh atau hanya mengikuti rutinitas keagamaan?
-
Dalam hal apa aku masih sulit rendah hati atau belum bisa menguasai diri?
-
Apakah aku siap dibentuk dan ditegur oleh Roh Kudus melalui doa-doaku?
Mari dalam Pekan Doa ini, kita tidak hanya memohon perubahan pada lingkungan, tetapi membuka hati agar Roh Kudus mengubah karakter kita. Dari hati yang sombong menjadi lembut. Dari diri yang reaktif menjadi tenang. Dari hidup yang dikuasai ego, menjadi hidup yang dipenuhi kasih dan damai.
Sebab mereka yang adalah milik Kristus Yesus telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Galatia 5:24).
Solus Christus. Soli Deo Gloria.
Komentar
Sangat memberkati buat saya...
🙏🙏🙏
Posting Komentar