Ketika Kemanusiaan Dikalahkan oleh Narasi: Refleksi atas Perang dan Agama



Saya sedang terheran-heran. Bukan karena kerumitan teknologi, bukan pula karena laju revolusi digital atau kemajuan kecerdasan buatan. Tapi pada satu hal yang jauh lebih mendasar dan personal—cara manusia hari ini memaknai perang, kematian, dan kemanusiaan.

Di tengah meningkatnya ketegangan global, khususnya perang yang melibatkan Israel dan Iran, saya menyaksikan reaksi manusia yang mengejutkan. Ada yang berkata dengan yakin: “Perang akan membawa damai.” Pernyataan itu terdengar seperti paradoks, bahkan mungkin absurd. Namun kenyataannya, banyak orang mempercayainya, seolah-olah penderitaan dan kehancuran hanyalah jalan rutin menuju dunia yang lebih baik.

Yang lebih mengherankan, saya mendengar komentar seperti: “Asalkan Iran menang, tak masalah berapa pun nyawa yang hilang.” Ungkapan ini mencerminkan sebuah krisis dalam kemanusiaan kita. Di mata sebagian orang, kemenangan ideologis atau keagamaan tampak lebih penting daripada nilai satu kehidupan. Padahal perang itu, jika ditelusuri lebih dalam, seringkali tidak hanya soal iman atau doktrin, tetapi soal kekuasaan, ego kolektif, dan pengorbanan yang dipaksakan atas nama “tugas suci.”

Manusia yang dahulu dijunjung tinggi karena martabatnya sebagai makhluk berakal dan berperasaan, kini hanya menjadi angka dalam laporan konflik. Statistik kematian dibaca tanpa gentar. Tangisan anak-anak dan reruntuhan rumah hanya menjadi latar bagi opini yang dibalut keyakinan ideologis.

Di tengah kegelisahan ini, saya teringat pada pemikiran Yuval Noah Harari, sejarawan dan filsuf yang menyentil akar dari semua ini. Dalam Sapiens dan Homo Deus, Harari menekankan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu menciptakan dan hidup dalam narasi—cerita yang kita sepakati bersama sebagai “kebenaran.” Kita bisa membunuh atau mati untuk ide yang tak bisa disentuh, hanya karena kita percaya ia bermakna.

Harari mengingatkan bahwa agama, seperti semua ideologi, bisa menjadi kekuatan yang membebaskan, namun juga alat pembenaran kekerasan yang sistematis. Ketika narasi agama atau kebangsaan lebih disembah daripada kenyataan penderitaan manusia, kita sedang menyaksikan tragedi moral yang mendalam. Sebab menurut Harari, homo sapiens adalah makhluk yang rela menumpahkan darah demi cerita yang ia yakini lebih sakral daripada nyawa.

Dalam dunia modern yang semakin kompleks, Harari menilai bahwa humanisme—yakni penempatan manusia dan penderitaannya sebagai nilai tertinggi—telah digantikan oleh bentuk-bentuk fundamentalisme baru. Kita tidak lagi menilai suatu tindakan berdasarkan berapa banyak kehidupan yang diselamatkan, tetapi berdasarkan apakah tindakan itu sesuai dengan tafsir keagamaan atau politik tertentu. Ini bukan hanya bahaya. Ini adalah kehilangan arah moral.

Lantas saya bertanya: apakah kita masih memiliki empati? Ataukah kita sudah terlalu tenggelam dalam narasi-narasi heroik yang membuat kita lupa akan jerit manusia yang sebenarnya?

Saya tidak menolak agama. Saya pun tidak menolak iman. Tapi saya gelisah—sungguh gelisah—ketika agama kehilangan jantung kemanusiaannya, ketika iman kehilangan wajah kasihnya. Dalam titik ini, Harari, meskipun seorang sekuler, memberi tantangan serius kepada siapa pun yang mengaku beriman: jika kepercayaanmu membuatmu kurang peduli pada penderitaan manusia, apakah itu benar-benar kepercayaan yang suci?

Di zaman ketika nyawa bisa diperdebatkan, dan kasih bisa disisihkan demi kemenangan doktrin, barangkali kita harus berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah, tetapi untuk bertanya: masihkah kita manusia?

Komentar