Memberikan Kasih pada Setiap Insan: Renungan Teologis Tentang Pluralisme dan Identitas Kristus


 

Refrensi Tambahan Khotbah Minggu GBKP 29 Juni 2025

Di dunia yang terus berubah dan semakin majemuk, gereja dan umat Kristen tidak lagi hidup dalam lingkungan yang seragam. Kita hidup berdampingan dengan beragam keyakinan, suku, budaya, dan pandangan dunia yang sering kali berbeda bahkan bertentangan. Pluralisme bukan lagi sekadar isu sosial, melainkan medan nyata di mana iman Kristen diuji dan dimurnikan.

Bagi banyak orang percaya, pluralisme menjadi semacam persimpangan dilema: apakah demi keterbukaan dan toleransi kita harus melonggarkan keyakinan kita? Atau sebaliknya, apakah kita harus menutup diri demi menjaga kemurnian iman? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sederhana, karena menyangkut misi Kristus, panggilan gereja, dan juga identitas kita di tengah masyarakat yang beraneka ragam.

Namun pertanyaannya yang lebih mendalam bukanlah "apa yang harus kita kompromikan?", melainkan: bagaimana kita mencintai? Dan lebih jauh lagi, bagaimana kita menghidupi kasih Kristus dalam kenyataan yang plural, tanpa kehilangan keberanian untuk menjadi milik-Nya?

·        Kasih yang Berlimpah dalam Keberagaman (1 Tesalonika 3:11–13)

Rasul Paulus memberikan dasar penting dalam menghadapi pluralitas melalui suratnya kepada jemaat di Tesalonika. Dalam konteks kota yang penuh dengan keragaman religius dan tekanan sosial, Paulus tidak memerintahkan jemaat untuk menarik diri, melainkan berdoa agar “kasih kamu bertambah-tambah dan melimpah dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang” (ay. 12).

Perhatikan bahwa kasih tidak dibatasi hanya untuk “yang seiman,” melainkan ditujukan kepada “semua orang” (pantas anthropous). Ini adalah kasih yang menyeberangi batas sosial, agama, bahkan ideologi. Kasih yang aktif, yang menjadi kesaksian bahwa Kristus hadir melalui tubuh-Nya, yaitu gereja. Namun kasih ini bukan kasih yang sembarangan—Paulus menegaskan bahwa kasih itu justru menjadi sarana agar hati kita diteguhkan dan tetap kudus di hadapan Allah.

Dalam hal ini, kasih tidak menjadi bentuk kompromi terhadap iman, melainkan cara iman itu menjelma menjadi nyata. Bagi Paulus, kasih bukan melemahkan kekudusan, tetapi menguatkannya.

·        Belajar Jalan Tuhan dalam Dunia yang Tidak Sempurna (Mazmur 25:8–20)

Mazmur ini adalah renungan pribadi dari seseorang yang sadar bahwa dunia tidak selalu adil, dan penilaian manusia sering kali keliru. Pemazmur memilih untuk tetap berharap kepada Tuhan, mengarahkan matanya kepada-Nya, dan membiarkan Tuhan sendiri menuntunnya.

Di tengah konteks pluralisme, kita pun dipanggil untuk menjadi umat yang mau diajar. Sikap ini menuntut kerendahan hati dan kepekaan rohani. Kita tidak selalu benar, dan tidak semua perbedaan harus ditanggapi dengan kecurigaan. Justru, dalam kasih, kita belajar untuk memahami jalan Tuhan yang lebih tinggi daripada logika dunia.

“Mata yang tetap tertuju kepada TUHAN” (ay. 15) adalah simbol orientasi spiritual yang tidak goyah. Ini menjadi fondasi bahwa kasih dalam pluralisme tidak pernah lepas dari relasi yang hidup dengan Allah. Kita tidak mencintai sesama karena semua orang benar, melainkan karena kita semua sedang dalam perjalanan menuju kebenaran itu sendiri—yang adalah Kristus.

·        Kasih sebagai Pengikat yang Memperlihatkan Identitas (Kolose 3:14)

Dalam Kolose 3, Paulus mengajarkan prinsip hidup baru bagi orang percaya. Semua hal baik seperti belas kasihan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran harus dibalut dengan kasih. Bukan kasih sebagai perasaan, melainkan kasih sebagai komitmen yang menyatukan dan menyempurnakan.

Di sinilah identitas sebagai milik Kristus diuji. Kasih menjadi semacam "jubah luar" yang menyatukan semua nilai Kristiani. Maka kasih bukan berarti menghapus perbedaan atau merelatifkan kebenaran, tetapi menjadi pengungkap kebenaran itu sendiri. Dengan kasih, kebenaran tidak menjadi alat untuk menghakimi, tetapi menjadi jembatan yang membawa kehidupan.

·        Menjadi Milik Kristus dalam Dunia Plural

Pluralisme seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai arena kesaksian kasih Allah. Di sinilah dunia melihat apakah gereja sungguh-sungguh mengenal siapa Kristus itu—bukan melalui argumen, tetapi melalui kehidupan. Kristus yang mengasihi orang Samaria, yang duduk makan dengan pemungut cukai, yang menyentuh orang kusta, dan yang memulihkan mereka yang tersisih, menjadi teladan utama kita dalam merespon keberagaman.

Namun kasih itu juga memiliki batas yang jelas—bukan karena tidak toleran, tetapi karena kasih yang sejati tidak bisa melepaskan kebenaran. Menjadi milik Kristus berarti memiliki keberanian untuk berbeda, namun tetap rendah hati. Terlibat tanpa larut. Membangun jembatan tanpa kehilangan fondasi. Bersahabat tanpa menjadi serupa dengan dunia.

Kasih yang Menyatu dan Mewahyukan

Dalam dunia yang retak oleh kebencian, ketakutan, dan polarisasi, kasih Kristus adalah kekuatan yang menyatukan, bukan karena semua menjadi sama, tetapi karena kita melihat setiap insan sebagai ciptaan yang berharga di mata Tuhan. Kasih tidak merusak identitas iman kita; justru kasih menegaskan identitas kita sebagai milik Kristus.

Di tengah pluralisme, kasih yang kudus adalah kesaksian yang paling kuat. Bukan kasih yang lembek, tetapi kasih yang kuat karena bersumber dari salib. Kita mengasihi bukan karena kita takut berbeda, tetapi karena kita tahu bahwa Kristus telah terlebih dahulu mengasihi kita, bahkan ketika kita masih berdosa.

Maka marilah kita belajar untuk mengasihi seperti Kristus: penuh anugerah, namun juga penuh kebenaran. Sebab kasih itulah yang akan membentuk gereja menjadi saksi-Nya yang hidup di dunia yang plural ini.


Komentar