Mimpi Modern dan Krisis Eksistensial: Refleksi Teologis dan Filsafati atas Eksploitasi Alam dalam Bayang-Bayang Kemajuan
Abstrak:
Artikel ini merefleksikan paradoks manusia modern yang hidup dalam bayang-bayang mimpi kemajuan dan teknologi, namun secara tidak sadar menciptakan kehancuran ekologis dan spiritual. Dengan pendekatan interdisipliner antara teologi Kristen, filsafat eksistensial, dan pemikiran Yuval Noah Harari, tulisan ini menelaah akar spiritual dan etis dari ekses modernitas. Artikel ini berargumen bahwa krisis ekologis bukan hanya masalah teknis, tetapi gejala dari krisis teologis—saat manusia kehilangan identitasnya sebagai penatalayan ciptaan. Refleksi ini menawarkan pemulihan melalui narasi Kitab Suci dan kesadaran etis sebagai dasar bagi pembangunan masa depan yang lebih bertanggung jawab secara spiritual dan ekologis.
Pendahuluan
Dalam bayang-bayang modernitas, manusia hidup dikejar oleh gambaran masa depan yang serba cepat, canggih, dan mewah. Imajinasi kolektif yang dibentuk oleh dunia hiburan, teknologi, dan ekonomi global telah membentuk suatu visual ideal tentang hidup yang sempurna—dipenuhi oleh robot, AI, dan kemudahan hidup. Namun, ironisnya, demi mewujudkan mimpi tersebut, manusia terpaksa mengorbankan alam sebagai sumber energi, merusak ekosistem, dan kehilangan koneksi spiritual dengan ciptaan. Di sinilah muncul suatu ironi dan kebingungan eksistensial: manusia menciptakan mimpi dan teknologi yang akhirnya menjauhkan dirinya dari makna dan Tuhan.
1. Mimpi Kolektif dan Narasi Modernitas: Tinjauan dari Yuval Noah Harari
Yuval Noah Harari dalam karya-karyanya seperti Sapiens dan Homo Deus, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan mempercayai narasi besar. Salah satu narasi paling kuat dalam dunia modern adalah “kemajuan” dan “masa depan utopis” yang dijanjikan oleh sains dan teknologi. Narasi ini memikat karena memberikan ilusi kontrol dan keabadian. Namun, seperti yang Harari tegaskan, narasi ini juga dapat menjadi berhala baru yang menggantikan Tuhan. Manusia tidak lagi bergantung pada doa dan penatalayanan, tetapi pada data dan otomatisasi. Di titik ini, kita melihat bahwa mimpi masa depan tidak lagi bersifat profetik (dari Tuhan kepada manusia), melainkan produk budaya yang diciptakan oleh hasrat manusia sendiri.
2. Perspektif Filsafat: Kehampaan dalam Kemajuan
Dari sudut pandang filsafat, krisis ini dapat dibaca sebagai kehampaan spiritual yang disebabkan oleh transisi dari makna transenden ke makna teknologis. Martin Heidegger menyebut kondisi ini sebagai “das Gestell”—cara berpikir teknologis yang mengubah dunia menjadi “sumber daya” semata. Dalam paradigma ini, alam tidak lagi dilihat sebagai ciptaan yang suci, tetapi sebagai stok energi. Plato telah memperingatkan tentang ilusi bayangan dalam gua, dan dunia modern justru terjebak dalam bayangan masa depan yang tidak realistis.
Sementara itu, Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, memperingatkan bahwa kekuatan teknologi yang semakin besar menuntut moralitas yang lebih tinggi. Sayangnya, moralitas manusia tidak tumbuh seiring dengan kemampuannya untuk mengubah dunia. Ini menimbulkan “defisit etis” dalam peradaban kontemporer.
3. Perspektif Teologis: Dosa dan Hilangnya Mandat Penatalayan
Secara teologis, Kitab Suci memberi kerangka kuat untuk memahami relasi manusia dengan dunia. Dalam Kejadian 2:15, manusia ditempatkan di taman Eden “untuk mengusahakan dan memelihara” (Ibrani: l‘bdh w lÅ¡mrh
). Tugas manusia bukan untuk mengeksploitasi, tetapi menjadi steward (penatalayan) yang menjaga keseimbangan dan menyatakan kasih Allah melalui relasinya dengan ciptaan.
Namun, dosa membuat manusia menyalahgunakan otoritas yang diberikan. Dalam upaya menaklukkan alam, manusia justru menjadi budak dari keserakahan. Ini adalah bentuk baru dari menara Babel—membangun sistem yang tinggi, tetapi tanpa relasi dengan Allah. Seperti yang ditulis Paulus dalam Roma 8:22, “seluruh makhluk sama-sama mengeluh dan merasa sakit bersalin sampai sekarang.” Eksploitasi alam adalah refleksi dari eksploitasi spiritual—manusia yang kehilangan arah, dan ciptaan yang merintih karena dosa kolektif.
4. Jalan Pemulihan: Narasi Baru dari Teologi dan Etika
Untuk menjawab krisis ini, teologi tidak cukup hanya menjadi suara profetik yang mengutuk, tetapi harus menjadi suara yang membimbing. Gereja dan komunitas iman harus menawarkan narasi tandingan yang tidak bersifat eskapis, melainkan menebus: narasi tentang Kerajaan Allah yang tidak didirikan di atas teknologi, tetapi atas kasih, keadilan, dan penatalayanan.
Etika teologis yang bertanggung jawab terhadap ciptaan harus menjadi pusat spiritualitas Kristen masa kini. Ini mencakup pemulihan relasi dengan alam, gaya hidup sederhana, dan penyembahan yang tidak hanya vertikal (kepada Tuhan), tetapi juga horizontal (kepada sesama dan bumi). Visi ini bukan nostalgia akan Eden, melainkan kerinduan akan langit dan bumi baru (Wahyu 21:1).
Kesimpulan
Mimpi manusia akan masa depan telah menjadi sumber kebingungan dan kehancuran ketika tidak lagi dikaitkan dengan hikmat Allah. Dalam semangat Harari dan para filsuf kontemporer, manusia perlu mengkritisi narasi yang ia ciptakan. Dan dari sudut pandang teologis, hanya dengan kembali pada mandat penatalayanan dan relasi yang benar dengan Sang Pencipta, manusia dapat membangun masa depan yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga matang secara spiritual.
Daftar Referensi (contoh awal)
-
Harari, Yuval Noah. Sapiens: A Brief History of Humankind. Harper, 2015.
-
Harari, Yuval Noah. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper, 2017.
-
Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology. Harper Perennial, 1977.
-
Jonas, Hans. The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. University of Chicago Press, 1984.
-
Alkitab. Kejadian 1–3; Roma 8; Wahyu 21.
-
Wright, N.T. Surprised by Hope. HarperOne, 2008.
Komentar
Posting Komentar