Kuat di Dalam Perlombaan Iman (Renungan Minggu GBKP Njayo – Memaknai Kemandirian Gereja)

 


Minggu GBKP Njayo bukan sekadar perayaan tahunan atau agenda liturgis gerejawi. Ia adalah panggilan rohani yang mengajak kita menyelami kembali dasar spiritual dari kemandirian GBKP. Tahun 1949 menandai sebuah tonggak penting, namun jauh lebih penting dari tanggalnya adalah roh yang melandasi semangat kemandirian itu: keberanian dalam iman, kesetiaan dalam pelayanan, dan ketekunan dalam menjalani panggilan ilahi.

Kemandirian bukan sekadar kondisi administratif—ia adalah buah dari perjalanan panjang dalam perlombaan iman. Maka, seruan Rasul Paulus dalam 1 Timotius 6:12 sangat relevan bagi kita hari ini:

“Berlombalah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup kekal.”

I. Perlombaan Iman: Antara Ketekunan dan Kesetiaan

Perlombaan iman bukanlah kompetisi duniawi di mana pemenangnya adalah yang tercepat atau terkuat. Dalam pandangan Paulus, yang kuat adalah yang setia sampai akhir, bukan yang mengawali dengan gegap gempita lalu menyerah di tengah jalan.

Bayangkan seorang pelari maraton yang tidak menoleh kepada pesaingnya, tidak sibuk melihat siapa yang di depannya atau di belakangnya, tetapi fokus kepada suara pelatih dan garis akhir. Inilah gambaran kita sebagai umat Tuhan: berlari dengan iman, bukan dengan perbandingan.

Paulus menekankan bahwa kita dipanggil bukan untuk menaklukkan orang lain, melainkan untuk menyelesaikan tugas dan panggilan kita dengan taat. Dunia mengajarkan bahwa hidup adalah arena persaingan—demi status, posisi, dan pengaruh. Tetapi dalam perlombaan iman, kita justru belajar melayani, bertumbuh, dan taat, bahkan ketika hasilnya tidak langsung tampak.

II. Iman Para Pendahulu: Manusia Allah yang Berani Melangkah

Refleksi ini menjadi semakin bermakna ketika kita menengok sejarah GBKP. Kita ingat bahwa gereja ini dimulai dari enam orang di Buluh Awar—bukan dari sebuah sinode besar, bukan dari bantuan melimpah, melainkan dari kerendahan hati, semangat pengabdian, dan iman kepada Allah yang hidup.

Para pelayan awal itu adalah “manusia Allah”—sebutan yang mengandung kedalaman makna. Mereka menyadari bahwa mereka bukan hidup untuk diri sendiri, melainkan untuk menggenapi kehendak Allah. Ciri khas mereka bukanlah jabatan atau gelar, tetapi:

  • Kesetiaan dalam ibadah.

  • Ketekunan dalam penderitaan.

  • Karakter yang berbeda dari dunia: lemah lembut, fokus, tidak bercacat.

  • Kerja keras, konsistensi, dan hidup berintegritas.

  • Keyakinan bahwa Allah yang memanggil akan menyertai hingga akhir.

Karena keberadaan “manusia Allah” inilah, gereja yang kecil itu bertumbuh menjadi komunitas besar dengan ribuan anggota, memiliki fasilitas pelayanan yang meluas—dari gereja, sekolah, rumah sakit, PPOS, ABFI Karya, hingga Gelora Kasih. Kemandirian GBKP bukanlah hasil instan, melainkan buah dari iman yang dijalani dalam ketekunan dan kesetiaan.

III. Kini: Dari “Manusia Allah” ke “Keluarga Allah”

Namun, zaman terus bergerak. Kita yang hidup di era kini ditantang untuk menerjemahkan kembali semangat itu dalam konteks yang lebih kolektif. Bila masa lalu ditopang oleh figur-figur yang dikenal sebagai "manusia Allah", maka kini kita diajak hidup sebagai "keluarga Allah".

Dalam Efesus 4:13, Paulus berbicara tentang pertumbuhan menuju kesatuan iman dan kedewasaan penuh dalam Kristus. Artinya, kedewasaan spiritual tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektif—dicapai melalui relasi saling memperlengkapi.

Sebagai “keluarga Allah”, kita:

  • Saling mendukung dalam pergumulan dan pelayanan.

  • Tumbuh bersama menuju karakter Kristus.

  • Menjadi saksi Allah di tengah masyarakat bukan sebagai perorangan, melainkan sebagai komunitas.

Identitas sebagai "keluarga Allah" menantang kita untuk tidak hanya menjadi kuat secara pribadi, tetapi untuk kuat bersama dalam kasih, dalam pelayanan, dan dalam visi Allah bagi dunia ini.

IV. Iman Melawan Kenyataan: Sebuah Lompatan Eksistensial

Dalam filsafat eksistensial, Søren Kierkegaard menyebut iman sebagai a leap of faith—lompatan dalam kegelapan, suatu tindakan percaya di tengah ketidakpastian. Para tokoh GBKP dahulu telah hidup dalam lompatan ini. Mereka tidak menunggu segala sesuatu tersedia, tetapi mereka melangkah karena percaya.

Inilah iman dalam perlombaan: tetap berjalan saat dunia berkata “berhenti.” Tetap melayani saat kenyataan berkata “tidak mungkin.” Iman seperti ini tidak bertumpu pada statistik atau rasio, melainkan bergantung penuh pada janji Allah.

Dan sebagaimana Musa memanggil langit dan bumi menjadi saksi (Ulangan 32:1–4), kita pun hari ini menjadi saksi bagi generasi baru—bahwa Allah yang sama tetap berkarya, tetap menyertai, dan tetap membentuk umat-Nya melalui tantangan zaman.

V. Kemandirian Gereja: Bukan Berarti Mandiri dari Allah

Kemandirian sering kali disalahpahami sebagai kebebasan dari ketergantungan. Tapi dalam perspektif iman, kemandirian gereja bukanlah pemisahan dari Allah, melainkan ketergantungan yang dewasa. Seperti anak yang tumbuh dewasa, gereja mandiri adalah gereja yang tetap melekat kepada Sang Sumber, tetapi mampu menjalankan peran secara bertanggung jawab.

Gereja yang mandiri adalah gereja yang:

  • Berakar pada firman dan doa.

  • Bertumbuh melalui pelayanan yang setia.

  • Berbuah dalam masyarakat melalui kasih yang nyata.

Maka, tantangan kita hari ini bukan sekadar mempertahankan apa yang sudah dicapai, melainkan menyempurnakan kemandirian itu dengan menjadi keluarga Allah yang hidup dan berdampak.

VI. Penutup: Menyelesaikan dengan Setia

Akhir dari perlombaan bukanlah kemenangan instan, tetapi kesetiaan hingga akhir. Seperti kata Paulus dalam 1 Timotius 6:14:

“Peliharalah perintah itu, hidup tanpa cacat, tak bercela sampai pada saat Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.”

Dan kita yakin, seperti yang ditulis dalam 1 Tesalonika 5:24:

“Dia yang memanggil kamu adalah setia; Ia juga akan melakukannya.”

Marilah kita tetap kuat dalam perlombaan iman ini. Bukan dengan kekuatan sendiri, tetapi bersama sebagai keluarga Allah. Bukan demi mengalahkan, tapi demi menyelesaikan. Dan bukan untuk membanggakan pencapaian kita, tetapi untuk memuliakan Allah yang telah memanggil kita dari awal.

Komentar