Di tengah zaman yang bergerak cepat dan kehidupan remaja yang semakin lekat dengan gawai serta media sosial, perjumpaan langsung dengan sesama sering kali menjadi hal langka. Namun di sinilah Gereja dipanggil untuk menciptakan ruang yang nyata bagi anak-anak muda agar mereka mengalami kasih Allah secara konkret—bukan hanya dalam teori atau liturgi, tetapi lewat tindakan nyata dan pelayanan yang menyentuh. Inilah yang menjadi jiwa dari kegiatan Live In Remaja GBKP Runggun Talapeta di PPOS Sukamakmur—sebuah program yang bukan hanya mengajarkan remaja untuk melayani, tetapi membentuk mereka menjadi pribadi yang utuh melalui perjumpaan lintas generasi.
Hari Pertama: Melangkah
dan Membuka Hati
Pagi
itu, langkah-langkah kecil penuh semangat mulai mengisi lorong dan halaman PPOS
Sukamakmur. Anak-anak Remaja Talapeta tiba dengan wajah ceria dan hati terbuka,
siap menjalani tiga hari dua malam pelayanan bersama para Nini Bulang, para
orangtua tangguh yang kini menghabiskan masa senja mereka di PPOS Sukamakmur.
Sejak awal, mereka
langsung terlibat dalam kehidupan harian: menyiapkan sarapan, menyajikan
makanan, mencuci piring, membersihkan dapur. Namun lebih dari itu, mereka mulai
belajar menyapa dan mendengarkan. Satu per satu mereka duduk di samping Nini
Bulang, mendengar cerita hidup yang penuh perjuangan dan kasih yang tak
lekang oleh waktu. Di sanalah perjumpaan terjadi—bukan hanya antara dua
generasi, tetapi antara hati yang melayani dan hati yang disentuh.
Malam harinya, para
remaja mengikuti sesi refleksi dan konseling yang didampingi oleh mahasiswa KKN
dari UKDW Yogyakarta, STFT Jakarta, dan Biblevrouw HKBP. Dalam suasana
yang hening dan akrab, mereka berbagi pengalaman, perasaan, dan pergumulan
hidup. Proses ini memberi ruang bagi mereka untuk disembuhkan dari luka batin
yang mungkin selama ini tersembunyi.
Hari Kedua: Menyentuh,
Disentuh, dan Dipulihkan
Hari
kedua dimulai lebih pagi. Anak-anak bangun saat fajar menyingsing, memulai hari
dengan membersihkan lingkungan sekitar. Mereka melanjutkan pelayanan dengan
penuh kasih: membantu memandikan beberapa Nini Bulang yang sudah tidak
mampu merawat dirinya sendiri. Tangan-tangan muda mereka menyentuh tubuh-tubuh
renta itu dengan kelembutan dan rasa hormat, seolah merawat nenek mereka
sendiri. Mereka juga membersihkan kamar-kamar, memastikan kenyamanan dan
kebersihan bagi setiap penghuni rumah tersebut.
Siang
harinya, saya Vikaris Aron Ginting Manik bersama Terendienta Pinem, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog, memfasilitasi sesi yang menyentuh aspek teologis dan
psikologis remaja. Dalam suasana dialogis dan terbuka, para remaja diajak
mengenal luka batin mereka, belajar menerima diri, dan mengelola emosi.
Pelayanan bukan hanya tentang memberi kepada orang lain, tetapi juga
menyembuhkan bagian-bagian diri yang selama ini terluka.
Malam kedua kembali
menjadi ruang refleksi. Anak-anak diajak membaca kembali isi jurnal harian yang
mereka tulis, mengungkapkan harapan, dan membentuk komitmen baru. Didampingi
para mahasiswa dan fasilitator, mereka mulai menyadari bahwa pelayanan ini telah
mengubah cara pandang mereka terhadap diri, sesama, dan Tuhan.
Hari Ketiga: Perpisahan
yang Membekas
Pagi terakhir, semangat
anak-anak tetap menyala. Mereka berencana membuat api unggun untuk menutup
kebersamaan dengan simbol kehangatan. Namun angin pagi yang cukup kencang
memaksa mereka untuk membatalkan niat itu. Meskipun demikian, kehangatan justru
lahir dari pelukan dan kata-kata sederhana yang saling mereka bagikan sepanjang
hari itu.
Waktu seolah berjalan
terlalu cepat. Anak-anak Remaja Talapeta ingin tinggal lebih lama, masih ingin
bermain, mendengarkan cerita, dan berada di sisi para Nini Bulang. Namun
realitas memanggil mereka kembali ke kehidupan dan tanggung jawab di bangku
pendidikan. Dalam kebaktian penutup, air mata pun tak tertahankan. Pelukan demi
pelukan menjadi pengikat perpisahan. Tak ada yang dibuat-buat, semuanya hadir
dari hati yang telah terbentuk oleh kasih. Para Nini Bulang pun tak
kuasa menyembunyikan rasa haru. Dalam doa mereka, mereka menyerahkan cucu-cucu
rohani mereka kepada Tuhan, memohonkan berkat dan kekuatan
bagi perjalanan hidup mereka.
Pdt. Frida Debora br
Purba, Direktur PPOS, menyaksikan semua momen itu dengan penuh haru. Ia tahu,
apa yang terjadi dalam tiga hari itu bukan hanya program pelayanan biasa. Itu
adalah bentuk nyata gereja yang hidup—di mana generasi saling menjangkau, menyembuhkan,
dan menumbuhkan satu sama lain dalam kasih Kristus.
Mengapa Ini Penting
untuk Dilanjutkan?
Program seperti Live
In ini menyentuh dua sisi penting dalam kehidupan bergereja: membangun
karakter remaja dan merawat lansia. Dalam konteks teologis, pelayanan ini
adalah perwujudan nyata dari kasih Kristus yang menembus batas usia dan latar
belakang—sebagaimana yang diajarkan dalam Galatia 5:13, "Layanilah
seorang akan yang lain oleh kasih." Pelayanan ini bukan sekadar
aktivitas sosial, melainkan panggilan spiritual untuk menghadirkan kasih yang
hidup dan berakar dalam relasi antar sesama.
Sementara secara
psikologis, program ini memberikan ruang penyembuhan dan pertumbuhan emosional
bagi remaja yang sedang mencari jati diri mereka. Melalui pengalaman ini,
mereka belajar bahwa melayani bukan hanya memberi, tetapi juga mengalami:
mengalami kasih, mengalami kedewasaan, dan mengalami Tuhan melalui kehadiran
orang lain.
Penutup: Kesaksian
tentang Gereja yang Memeluk Dua Generasi
Live In ini menjadi kesaksian bahwa gereja dapat menjadi ruang tumbuh bagi generasi muda—bukan dengan banyak kata, tetapi lewat tindakan kasih yang sederhana. Anak-anak remaja yang dulunya malu-malu kini telah belajar menyapa, menyentuh, dan menangis bersama mereka yang dianggap “terlupakan.” Mereka pulang bukan hanya dengan kenangan, tetapi dengan hati yang diperbarui.
Sebagai orang yang
menggagas dan mengawal program ini dari awal hingga akhir, saya bersyukur
sekaligus tersentuh. Saya bersaksi bahwa pelayanan ini bukan hanya berdampak
bagi remaja dan lansia, tetapi juga bagi saya pribadi. Tuhan memakai momen ini
untuk memperhalus hati saya, memperdalam panggilan saya, dan mengajarkan
kembali bahwa pelayanan sejati tumbuh dari relasi yang saling menyembuhkan.
Persis seperti yang
disampaikan oleh saudara kita dari Lubbecke Church yang saat itu
berkunjung ke PPOS dan menyaksikan langsung kegiatan ini—bahwa program ini
sangat menginspirasi. Ia menyampaikan dengan tulus bahwa ia akan mencoba
mempraktikkan pendekatan serupa di wilayah pelayanannya di Jerman. Kesaksian
ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa pelayanan yang tulus dan menyentuh
tidak mengenal batas budaya atau benua—ia berbicara kepada hati manusia di mana
pun.
Jika Runggun kita rindu
melihat generasi muda yang bertumbuh dengan iman yang matang, empati yang kuat,
dan karakter yang melayani, maka inilah saatnya: jadikan program seperti ini
bagian dari pelayanan rutin runggun. Buatlah mereka menyentuh dan disentuh oleh
kasih yang nyata. Karena ketika generasi muda belajar menyentuh generasi tua
dengan kasih, dan gereja membuka ruang bagi dua generasi untuk saling
menyembuhkan, di sanalah gereja menjadi tubuh Kristus yang hidup—lembut,
hangat, dan setia; di mana tidak ada yang terlalu tua untuk dihargai, dan tidak
ada yang terlalu muda
untuk melayani.
Pelayanan adalah
perjumpaan, dan perjumpaan yang tulus akan selalu membekas dalam hati. Saya
melihatnya. Saya merasakannya. Dan saya rindu semakin banyak gereja melihatnya
juga. Mari kita lanjutkan.
Komentar
Posting Komentar