Reframing Kesejahteraan: Kritik Akademik atas Kesepakatan Prabowo–Trump dalam Perspektif Kapitalisme Global dan Kesejahteraan Sosial
Reframing Kesejahteraan: Kritik Akademik atas Kesepakatan Prabowo–Trump dalam Perspektif Kapitalisme Global dan Kesejahteraan Sosial
Abstrak
Kesepakatan dagang yang diumumkan pada Juli 2025 antara Indonesia (di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto) dan Amerika Serikat (dengan Donald Trump kembali menjabat) menjadi babak baru dalam dinamika geopolitik dan ekonomi kedua negara. Artikel ini menyoroti kerjasama ini dalam perspektif ekonomi-politik, budaya konsumsi, serta konsep kesejahteraan. Menggunakan pendekatan interdisipliner dari ekonomi politik, sosiologi, dan filsafat kesejahteraan, artikel ini mengkritisi dampak jangka panjang dari perjanjian yang memosisikan Indonesia dalam arus kapitalisme global yang semakin agresif dan materialistik.
1. Pendahuluan: Membaca Ulang Diplomasi Ekonomi
Setelah kunjungan resmi Presiden Prabowo ke Washington, sebuah kesepakatan tarif diumumkan oleh pemerintah AS. Di balik presentasi publik yang penuh euforia, terdapat konsekuensi ekonomi-politik yang mendalam. Trump menyebutnya sebagai “kesepakatan bersejarah” di mana AS menurunkan tarif impor produk Indonesia menjadi 19% dari ancaman sebelumnya 32%, sementara Indonesia setuju menghapus hampir semua hambatan tarif dan non-tarif atas barang-barang AS—mulai dari produk pertanian, farmasi, teknologi, hingga kendaraan dan pertahanan.
Pemerintah Indonesia menyambutnya sebagai pencapaian luar biasa dalam membuka pasar ekspor dan menarik investasi, namun banyak ekonom, akademisi, dan masyarakat sipil justru mempertanyakan: siapa yang paling diuntungkan?
2. Kritik Ekonomi-Politik: Ketimpangan Struktural dan Kedaulatan yang Terkikis
Perjanjian ini merupakan ilustrasi klasik dari negosiasi asimetris antara negara Global South dan negara hegemonik. AS menggunakan ancaman tarif sebagai alat tekanan, lalu memosisikan pengurangan tarif sebagai “kebaikan” dalam diplomasi. Imbalannya, Indonesia tidak hanya membuka akses seluas-luasnya bagi ekspor AS, tetapi juga menyetujui penghapusan kebijakan dalam negeri strategis seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), kebijakan sertifikasi, dan kewajiban pengolahan sumber daya mineral di dalam negeri.
Secara teori, ini adalah jalan menuju liberalisasi ekonomi. Namun secara empiris, ini adalah bentuk neo-dependency, di mana negara berkembang tetap berada dalam orbit negara maju melalui mekanisme pasar dan investasi.
Lebih jauh, kesepakatan juga mencakup ekspor komoditas kritikal seperti nikel dan tembaga, yang justru menjadi kunci dalam industri masa depan (baterai, energi hijau, semikonduktor). Alih-alih memperkuat hilirisasi dan kemandirian industri, Indonesia berisiko menjadi eksportir bahan mentah jangka panjang demi kepentingan rantai pasok industri Amerika.
3. Perspektif Sosial-Kultural: Masyarakat Konsumtif dalam Paradigma Materialistik
Kerjasama ini juga memperkuat logika pasar dalam level kultural. Produk-produk AS yang masuk tanpa hambatan memperluas penetrasi nilai-nilai konsumerisme. Konsumsi menjadi simbol status, bukan sekadar kebutuhan. Identitas sosial dikonstruksi lewat merek, gaya hidup, dan daya beli.
Dalam kerangka ini, kesejahteraan dimaknai secara sempit—yaitu kemampuan mengakses barang impor, memiliki gadget terbaru, atau menikmati infrastruktur megah—tanpa mempertimbangkan kualitas relasi sosial, spiritualitas, atau keberlanjutan lingkungan. Masyarakat Indonesia perlahan menjadi homo economicus yang melihat diri dan sesama sebagai alat produksi dan konsumsi.
Lebih ironis lagi, narasi “kemakmuran” yang dibangun pemerintah melalui perjanjian ini seringkali tidak menyentuh lapisan masyarakat bawah: petani, nelayan, pekerja informal. Mereka yang tidak mampu bersaing dengan produk impor murah justru terpinggirkan dalam ekonomi global ini.
4. Dimensi Filosofis: Krisis Makna Kesejahteraan
Jika kesejahteraan hanya didefinisikan dalam indikator ekonomi seperti pertumbuhan GDP, angka konsumsi, dan indeks investasi, maka dimensi manusiawi dari kesejahteraan menjadi hilang. Padahal dalam filsafat politik dan teologi sosial, kesejahteraan sejati mencakup keutuhan relasi manusia dengan diri, sesama, alam, dan transendensi.
Tradisi kearifan lokal Indonesia—seperti gotong royong, harmoni dengan alam, dan hidup sederhana—perlahan digantikan oleh nilai-nilai efisiensi, individualisme, dan akumulasi kapital. Dalam hal ini, kerjasama Prabowo–Trump bukan hanya perjanjian ekonomi, tetapi juga proyek ideologis yang mengubah fondasi kultural bangsa.
5. Rekomendasi: Jalan Menuju Keseimbangan
Untuk menanggapi tantangan ini, Indonesia perlu:
-
Meninjau ulang kerjasama perdagangan dalam perspektif kedaulatan ekonomi dan keberlanjutan. Pembangunan tidak boleh mengorbankan kontrol atas sumber daya strategis.
-
Memperkuat regulasi sosial dan lingkungan. Setiap investasi asing harus melewati uji dampak sosial dan ekologi, serta menjamin transfer teknologi.
-
Mengembangkan indikator kesejahteraan alternatif. Selain pertumbuhan ekonomi, negara harus mengukur kualitas hidup melalui indeks kebahagiaan, ketahanan komunitas, dan kesehatan mental.
-
Merevitalisasi nilai-nilai kultural yang menyeimbangkan ekonomi dan kemanusiaan. Pendidikan, media, dan kebijakan publik harus menjadi ruang restorasi makna kesejahteraan yang utuh.
Penutup
Kesepakatan Prabowo–Trump menunjukkan bahwa Indonesia berada di persimpangan jalan: apakah akan menjadi pemain dalam ekonomi global dengan kedaulatan dan nilai-nilai sendiri, atau hanya menjadi pasar dan penyedia bahan mentah bagi kekuatan asing?
Tugas para pemimpin bukan hanya menandatangani kesepakatan, tetapi memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi membawa kebaikan kolektif, bukan sekadar keuntungan korporasi. Kesejahteraan sejati adalah keseimbangan antara kemajuan material, keadilan sosial, dan harmoni ekologis.
Komentar
Posting Komentar