Upah dari Tuhan Sungguh Baik (Refrensi Bahan Khotbah GBKP Minggu 20 Juli 2025)

 


Dalam kehidupan modern, banyak orang merasa terjebak dalam sistem kerja yang tidak adil. Orang yang bekerja keras tidak selalu menerima upah yang sepadan, sementara yang curang atau malas kadang terlihat lebih berhasil. Fenomena ini dapat menimbulkan keputusasaan spiritual. Namun, Alkitab tidak pernah menutup mata terhadap realitas ini. Sebaliknya, firman Tuhan memberi kita pemahaman baru tentang arti kerja dan upah — bukan sebagai transaksi duniawi semata, tetapi sebagai perjumpaan dengan kemurahan Tuhan.

Tangan yang Rajin Membawa Berkat

Amsal 10:4 berkata: “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya.” Ayat ini menyuarakan prinsip kerja yang bertanggung jawab, bukan sekadar untuk mencapai hasil, tetapi sebagai bentuk ketaatan dan partisipasi dalam mandat Allah. Kekayaan di sini bukan hanya soal materi, melainkan kebermaknaan hidup yang ditopang oleh disiplin dan integritas.

Dalam ekonomi, kerja adalah faktor produksi, namun iman menambahkan dimensi etis dan spiritual: kerja yang dilakukan dengan rajin dan jujur mencerminkan karakter yang diperkenan Allah. Di tengah godaan untuk mencari jalan pintas, Amsal menegaskan bahwa kelimpahan sejati dibentuk lewat ketekunan dan kesetiaan.

Upah sebagai Kasih Karunia

Matius 20:1–16 menghadirkan perumpamaan yang mengguncang logika manusia. Semua pekerja, meski mulai bekerja di waktu berbeda, menerima upah yang sama. Ini bukan ketidakadilan, melainkan potret kemurahan Tuhan yang melampaui sistem upah duniawi. Upah tidak diberikan atas dasar durasi kerja, tetapi berdasarkan kebaikan hati Sang Pemilik kebun.

Dalam kacamata ekonomi sosial, ini menggugah konsep keadilan meritokratis. Tuhan tidak memberi berdasarkan perhitungan rasional dunia, tetapi berdasarkan relasi dan kasih karunia. Ini mengajarkan bahwa dalam Kerajaan Allah, semua yang bekerja dalam kehendak-Nya dihargai penuh — bukan karena besar atau kecilnya peran, tetapi karena kesediaan mereka menjawab panggilan.

Berhenti Bekerja Adalah Juga Bagian dari Kerja

Imamat 23:1–4 mencatat hari-hari raya Tuhan, termasuk Sabat, sebagai perintah untuk berhenti dari pekerjaan dan mengingat siapa yang empunya hidup. Dalam dunia yang sering menjadikan produktivitas sebagai tolok ukur nilai manusia, Imamat menjadi kritik yang membebaskan. Tuhan tidak menciptakan manusia hanya untuk bekerja, tetapi juga untuk beristirahat dan menyembah.

Secara sosial dan psikologis, ritme ini penting. Work-life balance menjadi salah satu isu besar di era modern. Namun lebih dari itu, berhenti untuk merayakan dan bersyukur mengembalikan orientasi kita pada Sang Pemberi upah, bukan pada upah itu sendiri. Maka, ibadah dan kerja bukan dua hal yang bertentangan, melainkan satu kesatuan dalam iman.

Mengapa Orang Jahat Bisa Kaya?

Salah satu tantangan emosional dalam bekerja dengan jujur adalah melihat bahwa tidak semua orang yang jahat mendapat balasan setimpal. Matius 5:45 menyatakan bahwa Allah “menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Ini menunjukkan bahwa kemurahan umum Allah mencakup seluruh umat manusia, bukan hanya orang percaya.

Namun, iman mengajarkan kita untuk tidak fokus pada perbandingan hidup, melainkan pada relasi kita dengan Allah. Kekayaan yang diperoleh dengan cara salah tidak akan bertahan lama, tetapi damai sejahtera yang datang dari Tuhan bersifat kekal. Ini mengajak kita membedakan antara berkat umum dan berkat khusus, serta memahami bahwa tujuan hidup bukanlah kesejahteraan material semata, melainkan hidup yang berkenan di hadapan Tuhan.

Bukan Berapa Banyak, Tapi Bagaimana: Prinsip Pengelolaan dalam Iman

Daripada terjebak pada rasa iri terhadap bagian orang lain, iman mengarahkan kita pada pertanyaan yang lebih penting: Apa yang sudah saya terima, dan bagaimana saya mengelolanya? Prinsip ini diperkuat dalam perumpamaan tentang talenta, di mana ukuran keberhasilan bukanlah jumlah yang dihasilkan, tetapi kesetiaan dalam mengelola.

Dalam manajemen dan ekonomi mikro, hal ini dikenal sebagai stewardship: pengelolaan sumber daya secara etis dan bertanggung jawab. Kekristenan memaknai ini lebih dalam: kita adalah pengelola atas segala yang Tuhan percayakan — waktu, tenaga, uang, bahkan kesempatan. Maka, upah dari Tuhan bukan semata hasil kerja, tetapi juga kepercayaan yang diberikan untuk mengelola bagian kita dengan setia.

Penutup: Tetap Bekerja dengan Semangat, Sebab Tuhan Tidak Pernah Lalai

Upah dari Tuhan sungguh baik, bukan karena nilainya selalu besar di mata manusia, tetapi karena diberikan oleh Pribadi yang penuh kasih dan setia. Ia melihat kerja keras yang tersembunyi, kesetiaan yang tidak dianggap dunia, dan pengorbanan yang tidak mendapat pujian. Bahkan ketika dunia tidak memberi imbalan yang layak, Tuhan tidak pernah lalai memberi upah sesuai kehendak-Nya.

Bekerjalah bukan untuk membandingkan, tetapi untuk bersyukur. Lakukan semua dengan segenap hati, seolah-olah untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Sebab “dalam Tuhan, jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Korintus 15:58).

Komentar