Kasihi Tuhan Allah dan Sesama Manusia: Refleksi Teologis tentang Martabat Manusia dan Hak Asasi (Matius 22:34-40)
REFRENSI KHOTBAH MINGGU GBKP
24 AGUSTUS 2025
Ketika Yesus ditanya oleh orang Farisi tentang hukum yang terutama, Ia menjawab dengan sederhana tetapi sekaligus radikal: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:37–39). Dalam jawaban ini, Yesus seakan mengungkap inti dari seluruh kehendak Allah: kasih.
Kasih bukan sekadar perasaan lembut atau kewajiban moral, melainkan dasar eksistensi manusia. Sejak awal, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Mazmur 8:6 melukiskan dengan indah: “Engkau membuat dia hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Betapa agungnya martabat manusia—lebih tinggi daripada ciptaan lain, bahkan dihadapkan sebagai mitra Allah dalam merawat dunia. Maka, menghargai manusia berarti menghormati Sang Pencipta yang menciptakannya.
Namun sejarah membuktikan, manusia sering lupa pada martabat mulianya. Zakaria 7:8–14 mencatat bagaimana umat Allah begitu sibuk dengan ritual dan seremonial keagamaan, tetapi menutup mata terhadap janda, yatim, orang asing, dan orang miskin. Mereka lebih mengutamakan liturgi daripada kasih, sehingga Allah menolak ibadah mereka. Ini menjadi cermin bagi kita: apakah ibadah kita sungguh melahirkan kasih, atau hanya menenangkan hati tanpa peduli pada sesama?
1 Yohanes 4:20 bahkan lebih tegas: “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta.” Kasih kepada Allah tidak pernah bisa dipisahkan dari kasih kepada sesama. Kedua perintah itu, kata Yesus, adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan.
Menariknya, Yesus menyampaikan hukum kasih ini dalam suasana penuh ketegangan. Sebelumnya, orang Saduki telah menghina seorang perempuan yang tidak memiliki keturunan, seakan-akan hidupnya tak bernilai. Yesus membela martabat perempuan itu dengan mengingatkan bahwa hidup manusia tidak berhenti pada keturunan biologis, melainkan berakar pada pengharapan kebangkitan. Sesaat kemudian, orang Farisi berusaha menjebak-Nya dengan pertanyaan hukum, dan Yesus menjawab dengan jawaban yang membungkam semua jebakan: kasih adalah hukum yang terutama.
Refleksi ini menjadi sangat relevan dengan kehidupan kita di Indonesia hari ini. Kita hidup dalam masyarakat yang majemuk: beragam agama, suku, bahasa, dan budaya. Seringkali perbedaan ini justru dipakai sebagai alasan untuk menolak, mendiskriminasi, bahkan membenci sesama. Padahal Yesus memanggil kita untuk melampaui batas-batas identitas. Kasih tidak boleh berhenti pada kelompok kita sendiri, melainkan harus menyeberangi pagar agama, etnis, bahkan politik.
Dalam dunia modern, kita mengenal istilah Hak Asasi Manusia (HAM). Deklarasi HAM menegaskan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat. Bukankah ini gema dari apa yang sudah diajarkan Alkitab? Bahwa setiap manusia, tanpa kecuali, adalah berharga di hadapan Allah? Bedanya, HAM modern menegaskan martabat itu dengan bahasa hukum, sedangkan Yesus menegaskannya dengan bahasa kasih. Namun keduanya sejalan: kasih adalah roh, hukum adalah wadah. Tanpa kasih, hukum hanya menjadi aturan dingin tanpa jiwa. Tanpa hukum, kasih berisiko terjebak dalam idealisme tanpa perlindungan nyata.
Karena itu, kasih kepada Allah dan sesama bukanlah ajaran yang abstrak. Ia harus diwujudkan dalam politik yang adil, dalam kebijakan yang melindungi yang lemah, dalam sikap yang menghormati setiap orang. Lukas 6:38 mengingatkan kita: “Hendaklah kamu memberi, maka kamu akan diberi.” Kasih adalah gerakan memberi, berbagi, dan melindungi.
Pertanyaannya: apakah kita sungguh mengasihi Allah jika masih menutup mata terhadap penderitaan sesama? Apakah ibadah kita bermakna jika masih ada yang lapar, tertindas, dan dipinggirkan?
Kasih adalah hukum terbesar. Di dalam kasih, kita menghormati Allah. Di dalam kasih, kita menjaga martabat manusia. Dan di dalam kasih, kita merawat kehidupan bersama, agar setiap orang bisa hidup dalam damai, adil, dan penuh hormat—sebagaimana Allah sejak awal menghendakinya.
Komentar
Posting Komentar