“Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti...”
(1 Korintus 11:23)
Pengantar
Perjamuan Kudus adalah salah satu momen paling kudus dalam kehidupan gereja. Di meja Perjamuan, umat diundang untuk mengingat, merayakan, sekaligus mengalami kasih Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 11:23-32 mengingatkan bahwa sakramen ini bukan sekadar tradisi manusia, melainkan ajaran yang diterimanya langsung dari Tuhan Yesus sendiri. Karena itu, Perjamuan Kudus bukan hanya lambang, tetapi juga tanda dan meterai perjanjian anugerah Allah yang mengikat kita dalam persekutuan dengan Kristus.
Bagi gereja kita, GBKP, Perjamuan Kudus bukanlah acara seremonial semata. Ia adalah panggilan untuk masuk dalam persekutuan yang hidup dengan Tuhan, di mana roti dan anggur mengingatkan kita bahwa hidup baru kita adalah karunia semata, bukan hasil usaha kita. Lebih dari itu, Perjamuan Kudus juga mengikat kita dalam persaudaraan sebagai tubuh Kristus: satu sumber kehidupan, satu pengharapan, dan satu panggilan untuk hidup berpadanan dengan Injil.
Melalui perenungan ini, kita akan melihat bagaimana Perjamuan Kudus dimengerti sebagai materai perjanjian anugerah, sebagai peringatan akan kematian Kristus, sebagai panggilan untuk pemeriksaan diri, serta bagaimana berbagai tradisi Kristen memaknainya secara berbeda. Pada akhirnya, semua ini menolong kita untuk semakin menghargai tradisi iman kita di GBKP, dan menjalani Perjamuan Kudus dengan penuh hormat, iman, dan rasa syukur.
1. Perjamuan Kudus: Segel Perjanjian Kasih Allah
Perjamuan Kudus bukanlah tradisi buatan manusia. Rasul Paulus menegaskan bahwa ia menerima ajaran ini langsung dari Tuhan Yesus. Karena itu, sakramen ini menjadi tanda dan segel (materai) kasih Allah bagi umat-Nya.
John Calvin menjelaskan sakramen sebagai sigillum—segala sesuatu yang dipakai Allah untuk meneguhkan perjanjian-Nya, seperti sebuah stempel yang mengesahkan isi surat. Dalam Perjamuan Kudus, roti melambangkan tubuh Kristus yang diserahkan, dan anggur melambangkan darah-Nya yang tercurah untuk pengampunan dosa.
Agustinus menyebut sakramen sebagai “Firman Allah yang kelihatan”. Artinya, melalui roti dan anggur kita bukan hanya mendengar Injil, tetapi juga melihat dan menyentuh tanda nyata dari kasih Allah.
2. Peringatan Akan Kematian Kristus
Yesus berkata, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Kor. 11:24-25). Jadi, setiap kali kita makan roti dan minum dari cawan, kita mengingat kembali pengorbanan Kristus di salib. Namun, ini bukan sekadar mengenang peristiwa masa lalu, melainkan juga menyatakan kematian Kristus sampai Ia datang kembali.
Perjamuan Kudus menghubungkan kita dengan dua arah:
- Masa lalu – karya penebusan Kristus di kayu salib.
- Masa depan – janji kedatangan-Nya kembali untuk membawa keselamatan yang penuh.
3. Pemeriksaan Diri: Hidup Kudus dalam Persekutuan
Paulus mengingatkan jemaat Korintus agar tidak mengikuti Perjamuan Kudus dengan sembarangan. Siapa pun yang makan dan minum tanpa menghargai tubuh dan darah Kristus, mendatangkan hukuman bagi dirinya (1 Kor. 11:27-29).
Karena itu, setiap orang dipanggil untuk memeriksa diri sebelum mengambil bagian:
- Apakah hidup kita selaras dengan Injil Kristus?
- Apakah kita datang dengan iman dan hati yang penuh syukur?
- Apakah kita sudah berdamai dengan sesama tubuh Kristus?
Perjamuan Kudus bukanlah acara biasa. Ini adalah perjumpaan kudus dengan Tuhan, di mana kita datang dengan kerendahan hati, bukan dengan kesombongan.
4. Perbedaan Pandangan dalam Tradisi Kristen
Sesudah Paulus menekankan pentingnya memandang Perjamuan Kudus dengan penuh hormat—sebagai materai perjanjian, peringatan akan kematian Kristus, dan ajakan untuk memeriksa diri—muncullah beragam pemahaman di antara tradisi-tradisi Kristen tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sakramen ini. Walaupun semuanya sepakat bahwa Perjamuan Kudus adalah anugerah Tuhan Yesus bagi umat-Nya, cara memahami dan menghayatinya tidak selalu sama.
Dalam tradisi Reformed (Calvinis, termasuk GBKP), Perjamuan Kudus dipandang sebagai tanda dan materai dari perjanjian Allah. Roti dan anggur tetaplah roti dan anggur, tetapi melalui kuasa Roh Kudus, umat sungguh-sungguh dipersatukan dengan Kristus. Kehadiran Kristus nyata secara rohani, sehingga setiap orang yang percaya dikuatkan imannya dan diteguhkan hidupnya dalam persekutuan kudus.
Sementara itu, dalam tradisi Katolik, Perjamuan Kudus disebut Ekaristi dan dipahami sebagai kehadiran Kristus yang nyata dalam rupa roti dan anggur. Melalui ajaran transubstansiasi, roti dan anggur sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, meski wujud luarnya tetap sama. Karena itu, Ekaristi dipandang sebagai puncak ibadah gereja dan sumber rahmat bagi umat yang menerimanya dengan iman.
Berbeda lagi dengan tradisi Karismatik, yang menekankan dimensi kuasa Roh Kudus dalam Perjamuan Kudus. Bagi banyak jemaat Karismatik, makan roti dan minum anggur bukan hanya mengingat karya Kristus, melainkan juga tindakan iman yang membawa kesembuhan, pembebasan, dan kemenangan rohani. Perjamuan Kudus dipandang sebagai pengalaman iman yang penuh kuasa, di mana Roh Kudus bekerja secara nyata dalam hidup orang percaya.
Adapun tradisi Kristen Progresif menekankan makna sosial dan inklusif dari Perjamuan Kudus. Sakramen ini dilihat sebagai tanda solidaritas dengan mereka yang lemah, miskin, dan tertindas, sekaligus undangan untuk membangun kehidupan yang adil dan penuh kasih. Dalam praktiknya, banyak gereja progresif membuka meja Perjamuan Kudus untuk siapa saja tanpa syarat, menekankan kasih Allah yang merangkul semua orang.
Dengan demikian, walaupun ada perbedaan dalam memahami bagaimana Kristus hadir dalam Perjamuan Kudus—apakah secara rohani, jasmani, kuasa mujizat, atau sebagai simbol sosial—semua tradisi sama-sama sepakat bahwa Perjamuan Kudus adalah warisan kudus dari Tuhan Yesus. Ia tetap menjadi undangan bagi umat-Nya untuk mengingat kasih-Nya, memperbaharui iman, dan hidup dalam persekutuan yang benar dengan Tuhan dan sesama.
Penutup
Pada akhirnya, Perjamuan Kudus bukan sekadar ritual atau tradisi keagamaan. Ia adalah undangan dari Kristus sendiri untuk duduk di meja-Nya, mengingat kasih yang rela berkorban, dan dikuatkan oleh janji anugerah-Nya. Melalui roti dan anggur, kita diingatkan bahwa hidup kita bukan milik kita lagi, melainkan milik Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita.
Banyak pandangan dalam tradisi Kristen tentang bagaimana memahami Perjamuan Kudus. Namun, dalam terang iman GBKP yang berakar pada tradisi Reformed, kita diajak untuk melihat sakramen ini sebagai tanda dan materai perjanjian anugerah. Roti dan anggur tetaplah roti dan anggur, tetapi oleh kuasa Roh Kudus, kita sungguh dipersatukan dengan Kristus, ditopang dalam iman, dan dipelihara dalam perjalanan hidup sebagai umat tebusan-Nya.
Karena itu, setiap kali kita mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, marilah kita datang dengan hati yang rendah, dengan kerinduan untuk diperbaharui, dan dengan kesadaran bahwa kita hidup dari sumber yang sama—yaitu kasih Kristus yang tak berkesudahan. Perjamuan Kudus adalah tanda persekutuan kita dengan Tuhan dan dengan sesama; sebuah rahmat yang bukan hanya mengingatkan kita pada kematian Kristus, tetapi juga meneguhkan kita menantikan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan.
Maka marilah kita, sebagai jemaat GBKP, menghargai dan menghayati tradisi iman ini dengan sungguh-sungguh. Jangan kita memandangnya sebagai rutinitas belaka, melainkan sebagai momen kudus di mana Allah sendiri hadir meneguhkan janji-Nya bagi kita. Setiap roti yang kita makan dan setiap anggur yang kita minum adalah kesaksian bahwa kita telah ditebus, kita hidup dalam persekutuan kasih, dan kita dipanggil untuk tetap setia sampai akhir.
“Setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1 Korintus 11:26)
Komentar
Posting Komentar