Pengantar
Salah satu tanda
kehidupan iman yang sehat adalah antusiasme terhadap pembaharuan. Namun,
antusiasme itu bukanlah euforia sesaat, melainkan kesiapan untuk menghidupi
firman Allah secara nyata dalam konteks kehidupan. Paulus mengingatkan jemaat
di Filipi: “Apa yang telah kamu pelajari dan terima, apa yang telah kamu
dengar dan lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan
menyertai kamu” (Filipi 4:9).
Teolog pembebasan Paulo
Freire menekankan bahwa pengetahuan sejati harus di-praxis-kan—dihidupi
dalam tindakan yang membebaskan, bukan sekadar dihafal. Dalam bukunya Pedagogy
of the Oppressed (1970), ia menulis: “To exist, humanly, is to name the
world, to change it.” Inilah panggilan iman: bukan hanya mengetahui
kebenaran, melainkan mengimplementasikannya demi transformasi hidup bersama.
Dialog, Bukan Dominasi
Sejarah kolonialisme
mengajarkan kita bahwa kebenaran sering ditegakkan dengan mengorbankan pihak
lain. Namun Paulus menolak pola ini. Ia tidak menegakkan Injil dengan
kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialogis (Kisah Para Rasul
17:16-21). Paulus berdialog di sinagoga, di pasar, hingga dengan para filsuf
Epikuros dan Stoa.
Hans-Georg Gadamer,
filsuf hermeneutik, mengatakan bahwa dialog sejati lahir ketika kita bersedia
ditantang oleh pandangan lain, bukan sekadar menunggu giliran berbicara.
Baginya, “Understanding is not merely a reproductive activity, but always a
productive one” (Truth and Method, 1960). Dalam terang ini, Paulus
mengajarkan kita bahwa Injil tidak dipaksakan, melainkan dihadirkan dalam ruang
percakapan yang membuahkan pemahaman baru.
Secara psikologis,
dialog penuh empati membuka jalan bagi penerimaan. Orang tua dan anak,
misalnya, tidak bisa membangun relasi yang sehat melalui dominasi, melainkan
lewat mendengarkan yang sabar. Secara filosofis, manusia berkembang sebagai
makhluk dialogis—sebagaimana dikatakan Martin Buber, “All real living is
meeting” (I and Thou, 1923).
Pembaharuan yang
Membebaskan
Pertanyaan penting:
apakah pembaharuan membawa kebebasan atau justru penindasan? Fakta di lapangan
menunjukkan banyak bentuk “kemajuan” yang mengeksploitasi orang lain.
Orang-orang dengan kecerdasan atau posisi berkuasa memanfaatkan pengetahuan
untuk menguasai, bukan melayani.
Namun, Alkitab
menggambarkan hikmat sejati sebagai sesuatu yang “lebih berharga daripada
permata” dan yang “menciptakan bumi dengan pengertian” (Amsal
3:15-20). Hikmat yang dari Allah tidak menghancurkan, melainkan menopang
kehidupan.
Jürgen Moltmann dalam Theology
of Hope (1964) menegaskan bahwa pembaharuan sejati bersifat eskatologis: ia
bukan sekadar inovasi teknis, melainkan partisipasi dalam karya Allah yang
sedang memperbarui ciptaan. Dengan demikian, pembaharuan Kristen tidak pernah
boleh menjadi sarana eksploitasi, melainkan harus menyalurkan pengharapan yang
membebaskan.
Paulus dan Atena:
Antusiasme yang Kritis
Kisah Paulus di Atena
memperlihatkan dinamika antusiasme yang sehat. Paulus sedih melihat kota itu
dipenuhi berhala, namun ia tidak berhenti pada kesedihan. Ia membuka ruang
diskusi, bahkan ketika dianggap sebagai pembual atau penyebar agama asing.
Orang-orang Atena, yang haus akan ide-ide baru, justru mengajaknya ke Areopagus
untuk mendengar lebih lanjut.
Sikap orang Atena
menggambarkan growth mindset—kerelaan untuk belajar, menimbang, dan
menguji kebenaran. Inilah antusiasme yang kritis.
Sebaliknya, fenomena
generasi masa kini sering kali menunjukkan antusiasme tanpa kedalaman. Kita
cepat terpesona oleh hal-hal baru yang viral, tetapi jarang menguji
kebenarannya. Akibatnya, kita lebih sering menjadi followers daripada trendsetters.
Dalam perspektif
filsafat kontemporer, Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai “The
Burnout Society” (2010): masyarakat yang terus mengejar hal baru tanpa
refleksi, akhirnya kehilangan kedalaman dan makna. Antusiasme tanpa kritisisme
hanya menjerumuskan kita dalam kelelahan eksistensial.
Penutup: Panggilan
Profetis
Antusias terhadap
pembaharuan adalah panggilan profetis bagi gereja. Gereja tidak dipanggil
sekadar mengikuti arus zaman, tetapi untuk menyalurkan hikmat yang membebaskan.
Paulus mengajarkan bahwa pembaharuan rohani lahir dari kesabaran, keterbukaan,
dan keberanian berdialog.
Di tengah dunia yang
sarat “berhala modern” (konsumerisme, teknologi, kekuasaan), kita dipanggil
untuk menyalakan antusiasme yang kritis—antusiasme yang tidak hanya mengikuti
tren, tetapi menafsirkan, menguji, dan menghidupkan firman Allah.
Moltmann mengingatkan
bahwa setiap pembaharuan sejati adalah tanda pengharapan menuju “the coming
of God’s kingdom.” Maka pertanyaan profetis bagi kita: apakah antusiasme
kita membuka ruang bagi pembebasan dan damai sejahtera Allah, ataukah hanya
membuat kita hanyut dalam euforia sesaat?
Hanya ketika antusiasme
kita berpadu dengan hikmat, kesabaran, dan keberanian untuk berdialog, maka
pembaharuan itu akan menjadi jalan bagi damai sejahtera Allah mengalir ke
seluruh ciptaan.
Komentar
Posting Komentar