ANTUSIAS TERHADAP PEMBAHARUAN Refrensi Tambahan Khotbah Minggu GBKP 28 September 2025

 


Pengantar

Salah satu tanda kehidupan iman yang sehat adalah antusiasme terhadap pembaharuan. Namun, antusiasme itu bukanlah euforia sesaat, melainkan kesiapan untuk menghidupi firman Allah secara nyata dalam konteks kehidupan. Paulus mengingatkan jemaat di Filipi: “Apa yang telah kamu pelajari dan terima, apa yang telah kamu dengar dan lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Filipi 4:9).

Teolog pembebasan Paulo Freire menekankan bahwa pengetahuan sejati harus di-praxis-kan—dihidupi dalam tindakan yang membebaskan, bukan sekadar dihafal. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970), ia menulis: “To exist, humanly, is to name the world, to change it.” Inilah panggilan iman: bukan hanya mengetahui kebenaran, melainkan mengimplementasikannya demi transformasi hidup bersama.

Dialog, Bukan Dominasi

Sejarah kolonialisme mengajarkan kita bahwa kebenaran sering ditegakkan dengan mengorbankan pihak lain. Namun Paulus menolak pola ini. Ia tidak menegakkan Injil dengan kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialogis (Kisah Para Rasul 17:16-21). Paulus berdialog di sinagoga, di pasar, hingga dengan para filsuf Epikuros dan Stoa.

Hans-Georg Gadamer, filsuf hermeneutik, mengatakan bahwa dialog sejati lahir ketika kita bersedia ditantang oleh pandangan lain, bukan sekadar menunggu giliran berbicara. Baginya, “Understanding is not merely a reproductive activity, but always a productive one” (Truth and Method, 1960). Dalam terang ini, Paulus mengajarkan kita bahwa Injil tidak dipaksakan, melainkan dihadirkan dalam ruang percakapan yang membuahkan pemahaman baru.

Secara psikologis, dialog penuh empati membuka jalan bagi penerimaan. Orang tua dan anak, misalnya, tidak bisa membangun relasi yang sehat melalui dominasi, melainkan lewat mendengarkan yang sabar. Secara filosofis, manusia berkembang sebagai makhluk dialogis—sebagaimana dikatakan Martin Buber, “All real living is meeting” (I and Thou, 1923).

Pembaharuan yang Membebaskan

Pertanyaan penting: apakah pembaharuan membawa kebebasan atau justru penindasan? Fakta di lapangan menunjukkan banyak bentuk “kemajuan” yang mengeksploitasi orang lain. Orang-orang dengan kecerdasan atau posisi berkuasa memanfaatkan pengetahuan untuk menguasai, bukan melayani.

Namun, Alkitab menggambarkan hikmat sejati sebagai sesuatu yang “lebih berharga daripada permata” dan yang “menciptakan bumi dengan pengertian” (Amsal 3:15-20). Hikmat yang dari Allah tidak menghancurkan, melainkan menopang kehidupan.

Jürgen Moltmann dalam Theology of Hope (1964) menegaskan bahwa pembaharuan sejati bersifat eskatologis: ia bukan sekadar inovasi teknis, melainkan partisipasi dalam karya Allah yang sedang memperbarui ciptaan. Dengan demikian, pembaharuan Kristen tidak pernah boleh menjadi sarana eksploitasi, melainkan harus menyalurkan pengharapan yang membebaskan.

Paulus dan Atena: Antusiasme yang Kritis

Kisah Paulus di Atena memperlihatkan dinamika antusiasme yang sehat. Paulus sedih melihat kota itu dipenuhi berhala, namun ia tidak berhenti pada kesedihan. Ia membuka ruang diskusi, bahkan ketika dianggap sebagai pembual atau penyebar agama asing. Orang-orang Atena, yang haus akan ide-ide baru, justru mengajaknya ke Areopagus untuk mendengar lebih lanjut.

Sikap orang Atena menggambarkan growth mindset—kerelaan untuk belajar, menimbang, dan menguji kebenaran. Inilah antusiasme yang kritis.

Sebaliknya, fenomena generasi masa kini sering kali menunjukkan antusiasme tanpa kedalaman. Kita cepat terpesona oleh hal-hal baru yang viral, tetapi jarang menguji kebenarannya. Akibatnya, kita lebih sering menjadi followers daripada trendsetters.

Dalam perspektif filsafat kontemporer, Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai “The Burnout Society” (2010): masyarakat yang terus mengejar hal baru tanpa refleksi, akhirnya kehilangan kedalaman dan makna. Antusiasme tanpa kritisisme hanya menjerumuskan kita dalam kelelahan eksistensial.

Penutup: Panggilan Profetis

Antusias terhadap pembaharuan adalah panggilan profetis bagi gereja. Gereja tidak dipanggil sekadar mengikuti arus zaman, tetapi untuk menyalurkan hikmat yang membebaskan. Paulus mengajarkan bahwa pembaharuan rohani lahir dari kesabaran, keterbukaan, dan keberanian berdialog.

Di tengah dunia yang sarat “berhala modern” (konsumerisme, teknologi, kekuasaan), kita dipanggil untuk menyalakan antusiasme yang kritis—antusiasme yang tidak hanya mengikuti tren, tetapi menafsirkan, menguji, dan menghidupkan firman Allah.

Moltmann mengingatkan bahwa setiap pembaharuan sejati adalah tanda pengharapan menuju “the coming of God’s kingdom.” Maka pertanyaan profetis bagi kita: apakah antusiasme kita membuka ruang bagi pembebasan dan damai sejahtera Allah, ataukah hanya membuat kita hanyut dalam euforia sesaat?

Hanya ketika antusiasme kita berpadu dengan hikmat, kesabaran, dan keberanian untuk berdialog, maka pembaharuan itu akan menjadi jalan bagi damai sejahtera Allah mengalir ke seluruh ciptaan.

Komentar