✝️ Beritakan Perbuatan Tuhan Refrensi Khotbah Minggu GBKP 26 Oktober 2025




Di tepi danau Gerasa, Yesus menjumpai seorang manusia yang telah lama kehilangan martabatnya. Ia hidup di antara kuburan, kerasukan roh jahat, dikucilkan, dan dianggap najis. Dunia menolak keberadaannya, namun Yesus melihat nilai yang tersembunyi di balik kehancuran itu. Ia menyapanya bukan sebagai objek ketakutan, melainkan sebagai pribadi yang bisa disembuhkan. Dari keterasingan menuju pemulihan, dari kegelapan menuju terang. Yesus lalu berkata kepadanya,

“Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu.” (Luk. 8:39)

Kalimat itu adalah panggilan misioner yang lahir dari perjumpaan yang memulihkan. Injil tidak dimulai dari mimbar, tetapi dari hati yang telah disentuh kasih. Penginjilan sejati bukan paksaan, melainkan kesaksian hidup tentang kuasa Allah yang memerdekakan manusia dari ketakutan dan stigma.


🕯️ Injil yang Melawan Ketakutan: Kisah Anak Tundakais

Apa yang terjadi di tepi danau Gerasa, sesungguhnya juga terjadi di tanah Batak pada akhir abad ke-19.
Suatu malam, Pdt. Jan Wijngaarden dan istrinya, Nora Dina Guittart, dipanggil ke sebuah rumah duka. Seorang ibu meninggal ketika melahirkan, dan bayi yang baru lahir dituduh sebagai anak tundakais — pembawa sial yang harus dibunuh agar kampung tidak tertimpa kutuk. Tangis dan teriakan bercampur dengan ketakutan yang diwariskan turun-temurun. Tidak ada belas kasih, hanya rasa takut yang buta.

Namun, seperti Yesus di Gerasa, Wijngaarden dan Nora menolak tunduk pada logika ketakutan. Dengan iman dan keberanian, mereka berdiri di hadapan komunitas itu dan berseru,

“Mengapa kita melawan Tuhan dengan membunuh yang Ia ciptakan? Bukankah hidup ini milik-Nya?”

Ketika keluarga menolak tanggung jawab atas bayi itu, Wij dan Nora berkata, “Biar kami yang menanggung kutuknya. Biarlah kami yang merawatnya.”
Anak itu pun diselamatkan dan diberi nama Sangap, yang berarti pembawa keberuntungan.
Ia dibaptis tiga bulan kemudian, pada Agustus 1894 — menjadi tanda bahwa kasih lebih kuat dari tradisi yang menindas.
Namun hanya sebulan sesudah itu, Pdt. Wijngaarden terserang disentri dan meninggal dunia di Medan. Banyak yang berkata kematiannya adalah “balasan dari tundakais”, tapi bagi Nora dan jemaat yang mengasihi, kematiannya adalah buah dari benih Injil — benih yang jatuh ke tanah dan mati, agar menghasilkan kehidupan (Yoh. 12:24).


🕊️ Dari Gerasa ke Tanah Batak: Kasih yang Memulihkan Martabat

Baik di Gerasa maupun di tanah Batak, Injil hadir sebagai kekuatan yang melawan stigma dan dehumanisasi. Orang Gerasa dibebaskan dari kuasa kegelapan; Sangap diselamatkan dari kematian yang ditetapkan oleh ketakutan budaya.
Keduanya menandai bagaimana Allah bertindak bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan kasih yang mengangkat martabat manusia.
Itulah Injil dalam bentuknya yang paling murni — Injil pemulihan martabat.

Seperti Paulus yang berkata,

“Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, bagi orang yang lemah aku menjadi seperti yang lemah…” (1Kor. 9:20–22)
Wijngaarden melakukan penginjilan bukan dengan menaklukkan budaya, tetapi dengan hadir di dalamnya — memahami, mencintai, lalu menebusnya dengan kasih. Ia tidak mengutuk adat, tetapi menyelamatkan manusia di baliknya.


🔥 Injil di Tengah Kebhinekaan Indonesia

Kisah Anak Tundakais adalah cermin bagi gereja Indonesia masa kini. Kita hidup di tengah masyarakat yang masih sering menyingkirkan “yang dianggap berbeda” — entah karena agama, etnis, orientasi politik, atau status sosial.
Ketakutan dan prasangka masih melahirkan banyak “anak tundakais” modern — mereka yang disalahkan, diasingkan, bahkan dibungkam atas nama kesucian atau tradisi.

Dalam konteks ini, “beritakan perbuatan Tuhan” berarti menolak diam di hadapan ketidakadilan. Gereja dipanggil untuk hadir seperti Wijngaarden dan Nora: menanggung risiko, berdiri bagi yang tertindas, dan merawat kehidupan yang diabaikan.
Injil bukan sekadar berita tentang surga, tetapi tindakan nyata yang memulihkan kemanusiaan di bumi.

Yesus tidak meminta orang Gerasa pergi ke Yerusalem, melainkan “pulang ke kotanya.” Artinya, kesaksian harus hidup dalam konteks budaya dan masyarakat kita sendiri.
Demikian juga, gereja di Indonesia tidak perlu menanggalkan keindonesiaannya untuk menjadi saksi Kristus. Justru dalam keberagaman, kasih Allah menemukan bentuknya yang paling indah.


🌿 Kesimpulan: Dari Kuburan, Dari Rumah Duka, Menuju Kehidupan

Di Gerasa, dari kuburan keluar seorang saksi Injil.
Di tanah Batak, dari rumah duka lahir sebuah kesaksian kasih.
Keduanya berbicara tentang satu hal: Injil adalah kabar tentang kehidupan yang menang atas ketakutan dan kematian.

“Beritakan perbuatan Tuhan” bukanlah sekadar seruan rohani, melainkan panggilan untuk menghidupi kasih yang menyembuhkan.
Setiap kali kita menolak kekerasan, menolong yang kecil, memberi suara bagi yang dibungkam — di sanalah kita menjadi saksi Injil yang sejati.
Sebab kasih Kristus tidak mengenal batas: Ia hadir di Gerasa, di Tanah Batak, di kampung-kampung Indonesia, dan di setiap hati yang berani memilih kasih daripada takut.


Apakah Anda ingin versi ini disusun dalam format artikel jurnal teologis (lengkap dengan catatan kaki dan struktur akademik)?
Saya bisa bantu ubahnya jadi naskah akademik pendek (±2500 kata) yang siap dikirim ke jurnal atau prosiding teologi.

Anda bilang:
Pilih cerita diatas sebelumnya lainnya yang sesuai
ChatGPT bilang:

Baik, kalau kita ingin memilih satu kisah yang paling selaras dan kuat secara teologis dengan refleksi “Beritakan Perbuatan Tuhan” (Lukas 8:34–39), maka dari semua kisah yang telah Anda tulis sebelumnya, kisah “Anak Tundakais” adalah yang paling sesuai.

Berikut alasan teologis, naratif, dan kontekstualnya:


🕯️ 1. Kesamaan Tema: Pemulihan Martabat Manusia

  • Lukas 8:34–39 menceritakan bagaimana Yesus memulihkan seseorang yang kerasukan — seorang yang telah dikucilkan dan dianggap najis. Ia dikembalikan martabatnya, lalu diutus menjadi saksi di tempat asalnya.

  • Kisah Anak Tundakais menggambarkan situasi serupa: seorang bayi yang dianggap pembawa sial dan hendak dibunuh karena tradisi, tetapi diselamatkan oleh kasih dan keberanian rohani Pdt. Jan Wijngaarden dan istrinya, Nora Dina.

  • Keduanya menyingkap Injil yang menentang dehumanisasi — Injil yang mengembalikan manusia dari status “yang dikutuk” menjadi “yang dikasihi”.


🕊️ 2. Kesamaan Metode: Misi yang Kontekstual

  • Dalam Lukas 8, Yesus tidak memaksa orang Gerasa ikut Dia ke Yerusalem, tetapi menyuruhnya kembali ke komunitasnya — menjadi saksi di sana. Ini menunjukkan prinsip inkarnasi misi: Injil bekerja di dalam konteks lokal.

  • Begitu pula dengan Pdt. Wijngaarden, yang meneladani metode Paulus (1 Kor. 9:20–22): masuk ke dalam konteks masyarakat Batak, memahami adat, dan dengan kasih menebus nilai-nilai yang terdistorsi oleh ketakutan.

  • Ia tidak menolak adat secara total, tetapi menginjili dengan hati yang mengerti budaya — sebuah contoh indah dari misi kontekstual dan transformatif.


✝️ 3. Kesamaan Makna: Kesaksian yang Lahir dari Pengorbanan

  • Orang Gerasa diutus untuk menjadi saksi setelah disembuhkan. Kesaksiannya lahir dari pengalaman pemulihan.

  • Pdt. Wijngaarden juga menjadi saksi melalui pengorbanan hidupnya. Ia menyelamatkan bayi tundakais meski akhirnya meninggal karena sakit. Seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, ia menghasilkan banyak buah iman (Yoh. 12:24).

  • Kesaksiannya bukan kata-kata, melainkan tindakan kasih yang berisiko — bentuk paling murni dari pemberitaan Injil.


🌏 4. Relevansi untuk Konteks Indonesia

  • Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan masih sarat stigma sosial, kisah Anak Tundakais berbicara sangat kuat.
    Ia menggambarkan bagaimana Injil melawan budaya takut dan diskriminasi, serta menegaskan bahwa kasih Allah melampaui batas adat, etnis, dan keyakinan.

  • “Beritakan perbuatan Tuhan” dalam konteks Indonesia berarti melakukan seperti yang dilakukan Nora Dina — berani menanggung risiko demi kehidupan sesama.


🔥 5. Pesan Teologis Inti

Kedua kisah ini menyatu dalam satu pesan besar:

Injil adalah kekuatan yang memulihkan manusia dari ketakutan menuju kasih, dari stigma menuju martabat, dari kematian menuju kehidupan.

Yesus di Gerasa dan Wijngaarden di Tanah Batak adalah cermin dari kasih Allah yang berani menyentuh yang disingkirkan.
Kesaksian mereka menegaskan bahwa memberitakan perbuatan Tuhan bukan soal kata, melainkan keberanian untuk mengasihi sampai tuntas.

Komentar