REFRENSI KHOTBAH MINGGU MORIA GBKP 12 OKTOBER 2025 " Tetaplah Terpancar Sukacita dan Damai di Wajahmu"

 


Pendahuluan

Psikologi modern menekankan pentingnya kejujuran emosional. Jika sedih, menangislah; jika marah, ungkapkanlah. Prinsip ini baik, karena manusia memang dipanggil untuk tidak menekan perasaan. Namun, Firman Allah menghadirkan perspektif yang lebih dalam: wajah seorang anak Tuhan bukan hanya cermin emosional, melainkan jendela kasih Allah yang terpancar dari hati yang dipenuhi iman.

Pengkhotbah 9:8 berkata: “Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.” Ini bukan sekadar tentang pakaian luar, melainkan simbol sukacita, damai, dan pengharapan yang memancar keluar, bahkan ketika realitas hidup penuh misteri dan penderitaan.

Sukacita dan Damai di Wajah Moria: Apakah Mungkin?

Bayangkan wajah seorang ibu di pagi hari. Ia bangun lebih awal, menyiapkan makanan, membereskan rumah, memastikan anak-anak siap, lalu mengantar mereka dengan doa dalam hati. Senyum itu hadir, meski tubuhnya lelah. Namun, ketika kembali ke ruang sunyi, wajah yang sama menyimpan kerinduan dan air mata yang tak terlihat. Apakah senyum itu sekadar kewajiban, ataukah tanda sukacita sejati?

Pertanyaan ini tidak sederhana. Psikologi mengajarkan bahwa wajah mencerminkan isi hati, sementara Alkitab menyebut wajah-wajah bercahaya bahkan di tengah penderitaan—seperti wajah Musa yang bercahaya (Kel. 34:29-30) atau wajah Stefanus yang bersinar (Kis. 6:15). Dua pandangan yang tampak berbeda: satu menekankan kejujuran penuh, satu menekankan pancaran cahaya meski dalam kesulitan.

Di tengah tarik-menarik ini, wajah Moria sering kali berdiri di persimpangan: antara kejujuran emosional dan panggilan untuk menjadi pelita bagi keluarga serta jemaat. Pertanyaan itu tetap menggantung: mungkinkah wajah seorang ibu tetap memancarkan sukacita dan damai, bukan sebagai topeng, tetapi sebagai kesaksian iman?

Cerdik dalam Amsal 31:10: Hikmat yang Memancar di Wajah

Amsal 31:10 berkata: “Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata.” Kata cakap/cerdik di sini bukan sekadar pandai mengurus rumah tangga, melainkan sosok penuh hikmat, kebijaksanaan, dan kekuatan batin.

  • Dari sisi teologis, “cerdik” berarti hidup dalam takut akan Tuhan. Cerdik bukan berarti licik, melainkan bijaksana dalam memutuskan. Perempuan yang cerdik tahu bahwa wajahnya adalah “cermin kasih Allah” bagi anak-anak dan keluarganya. Ia mampu memilih untuk tetap memancarkan damai meski hatinya sedang gelisah, sebab ia percaya Allah memegang kendali hidupnya.
  • Dari sisi psikologis, “cerdik” dapat dimaknai sebagai kemampuan mengelola batin. Dalam istilah psikologi modern, ini disebut self-regulation, yakni kemampuan mengatur emosi agar tidak menguasai perilaku. Seorang ibu bisa saja lelah, marah, atau kecewa, tetapi kecerdikan membuatnya tidak meledakkan emosinya secara merusak, melainkan mengubahnya menjadi kekuatan untuk mendidik dengan penuh kasih. Wajah yang memancarkan damai bukanlah wajah tanpa pergumulan, tetapi wajah yang lahir dari pengendalian diri yang penuh kasih.
  • Dari sisi filosofis, “cerdik” berarti menyadari bahwa hidup di dunia ini fana. Karena kefanaan itu, seorang perempuan memilih memancarkan nilai yang abadi: kebaikan, cinta, dan damai. Senyumnya bukan sekadar ekspresi, melainkan tindakan sadar bahwa senyum itu bisa menjadi warisan rohani bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang tersenyum di tengah kesulitan sedang menanamkan benih pengharapan di hati keluarganya.

Jika dipadukan, makna “cerdik” bukanlah soal kecerdasan otak semata, melainkan kecerdasan hati yang berakar pada iman. Inilah yang membuat Amsal 31:10 menyebut perempuan cakap lebih berharga daripada permata. Permata bersinar karena cahaya luar, tetapi perempuan cerdik bersinar karena cahaya iman dari dalam dirinya.

Karena itu, wajah Moria yang tetap memancarkan sukacita dan damai adalah wujud nyata dari kecerdikan ini. Senyum Moria bukanlah topeng, melainkan kebijaksanaan yang lahir dari kesadaran bahwa hidup ini ada di tangan Tuhan, dan bahwa wajah yang bercahaya bisa menjadi berkat bagi Mamre, Permata, bahkan bagi dunia di sekelilingnya.

Seperti dikatakan Dietrich Bonhoeffer: “Hidup seorang Kristen bukanlah tentang menutup diri dari realitas dunia, tetapi tentang menanggungnya dengan wajah yang dipenuhi pengharapan.” Inilah kecerdikan sejati: menghadirkan damai di wajah meski hati penuh pergumulan.

Tantangan Sosial dan Realitas Kehidupan

1 Petrus 3:8–16 menulis kepada jemaat yang menderita: “Hendaklah kamu sehati sepikir, penuh kasih mesra, kasih persaudaraan, penyayang dan rendah hati.” Panggilan ini hadir bukan di tengah kenyamanan, melainkan di tengah tekanan sosial.

Bagi Moria, panggilan ini berarti menghadirkan wajah penuh kasih meski hidup tidak mudah. Namun, Moria tidak berjalan sendiri. Mamre dipanggil untuk menjadi penopang, bukan beban. Permata dipanggil untuk menjadi penghiburan, bukan sumber air mata. Sukacita dan damai di wajah seorang ibu lahir dari dukungan keluarga dan komunitas yang sehati.

Namun, panggilan untuk memancarkan damai tidak berarti menolak realitas kesedihan. Yesus pun menangis di kubur Lazarus (Yoh. 11:35). Paulus menuliskan: “Berdukacitalah, namun senantiasa bersukacita.” (2 Kor. 6:10). Sukacita tidak menghapus kesedihan, dan kesedihan tidak menghilangkan sukacita. Keduanya dapat berjalan bersama, bagaikan siang dan malam dalam lingkaran kehidupan.

Maka wajah yang memancarkan sukacita bukanlah wajah tanpa air mata, melainkan wajah yang berani menghadirkan cahaya meski gelap masih ada.

Penutup : Iman, Pengharapan, dan Wajah yang Menjadi Kesaksian

Hidup ini singkat dan penuh misteri, seperti ditulis Pengkhotbah 9:12: “Karena manusia tidak tahu waktunya; seperti ikan yang tertangkap dalam jaring yang mencelakakan, dan seperti burung yang terjerat, demikianlah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, ketika itu menimpa mereka dengan sekonyong-konyong.”

Di tengah kefanaan ini, iman dan pengharapan menjadi kunci.

  • Iman mengikat hati pada janji Allah bahwa hidup tidak sia-sia.
  • Pengharapan menjaga agar wajah tetap bercahaya, sebab kita tahu akhir hidup ada di tangan Allah yang setia.

Jürgen Moltmann menulis: “Iman menemukan pijakannya di salib, tetapi pengharapan menemukan sayapnya di kebangkitan.” Maka wajah yang tetap memancarkan sukacita adalah wajah yang berakar pada salib, dan bersinar karena janji kebangkitan.

Wajah Moria yang bercahaya bukan hanya untuk dirinya, melainkan kesaksian iman bagi Mamre, penghiburan bagi Permata, dan tanda Injil yang hidup bagi dunia. Senyum seorang ibu adalah doa yang terlihat. Damai yang terpancar dari wajah adalah kabar baik yang bisa dibaca orang lain.

Akhirnya, wajah yang bersinar bukan sekadar soal ekspresi, melainkan tentang iman yang berdiam di hati, pengharapan yang menghidupkan jiwa, dan kasih yang menuntun relasi. Dunia boleh penuh kegelisahan, tetapi wajah yang memancarkan sukacita dan damai adalah tanda bahwa Kristus hidup di dalam kita.

Referensi

Bonhoeffer, Dietrich. The Cost of Discipleship. New York: Touchstone, 1995.

Moltmann, Jürgen. Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology. Minneapolis: Fortress Press, 1993.

Lewis, C. S. A Grief Observed. London: Faber & Faber, 1961.

Augustine of Hippo. Confessions. Diterjemahkan oleh Henry Chadwick. Oxford: Oxford University Press, 1998.

Barth, Karl. Church Dogmatics, Vol. IV. Edinburgh: T&T Clark, 1956.

Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Disunting oleh John T. McNeill. Philadelphia: Westminster Press, 1960.

Peterson, Eugene H. Christ Plays in Ten Thousand Places. Grand Rapids: Eerdmans, 2006.

Wright, N. T. Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection, and the Mission of the Church. New York: HarperOne, 2008.

Keener, Craig S. The IVP Bible Background Commentary: New Testament. Downers Grove: InterVarsity Press, 2014.

Komentar