Pendahuluan
Pekan Keluarga GBKP yang berlangsung menjelang masa Advent selalu mengingatkan gereja bahwa persiapan menyambut Kristus bukan hanya urusan liturgi, tetapi urusan relasi. Kita menyambut Kristus bukan sendirian, melainkan sebagai keluarga; bukan hanya dalam doa yang khusyuk, tetapi juga dalam tindakan kasih yang konkret. Tema “Bersaudara dalam Kristus” mengajak kita membaca ulang realitas keluarga dan jemaat di tengah perubahan sosial dan budaya yang cepat.
Dalam masyarakat Karo yang memiliki tradisi kekerabatan kuat—merga silima dan rakut si telu—identitas persaudaraan sangat penting. Namun di era modern, ikatan itu sering terkikis oleh individualisme, mobilitas kerja, dan tekanan ekonomi. Justru dalam konteks inilah gereja dipanggil menghadirkan kembali makna “keluarga Allah” secara relevan dan transformatif.
1. Kasih Persaudaraan sebagai Identitas Teologis dan Budaya
Ibrani 13:1 berkata: “Peliharalah kasih persaudaraan!”
Kata philadelphia mengacu pada kasih antar anggota keluarga suatu komunitas iman. Dalam budaya Karo, nilai yang sepadan tampak dalam konsep “senina”, “senanggel”, dan “senini”; relasi yang diikat bukan hanya oleh darah, tetapi oleh tanggung jawab saling menjaga martabat satu sama lain.
Namun budaya persaudaraan ini, yang dahulu menjadi kekuatan komunitas, kini mengalami tekanan sosial:
-
meningkatnya urbanisasi membuat keluarga terpisah,
-
tekanan ekonomi membuat waktu bersama berkurang,
-
media sosial menciptakan kedekatan semu namun menjauhkan percakapan nyata,
-
kompetisi ekonomi dan sosial membuat orang saling membandingkan, bukan saling menopang.
Dalam konteks seperti ini, pesan Ibrani 13:1 kembali profetis: kasih tidak otomatis hadir; ia harus dilestarikan. Persembahan Advent bukan hanya lilin dan nyanyian, melainkan usaha memulihkan kehangatan dan solidaritas dalam keluarga dan jemaat.
2. Rumah sebagai Ruang Keramahtamahan dan Perjumpaan
Ibrani 13:2 dan Yesaya 58:6–7 menegaskan bahwa keramahtamahan bukan sekadar etika sosial, tetapi teologi hidup. Bagi Israel dan gereja mula-mula, rumah adalah pusat spiritualitas—tempat orang lapar diberi makan, orang asing diberi ruang, dan orang yang terluka diberi kesempatan dipulihkan.
Dalam budaya Karo, rumah tradisional—rumah si waluh atau rumah si empat jabu—bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat interaksi sosial, musyawarah, dan solidaritas. Namun banyak rumah hari ini berubah menjadi ruang privat yang tertutup, di mana relasi dibatasi oleh pagar tinggi dan pintu yang selalu terkunci.
Gereja dipanggil untuk menghidupkan kembali makna rumah sebagai “Betlehem kecil”:
tempat di mana Kristus dapat dirasakan melalui:
-
meja makan yang terbuka,
-
telinga yang mau mendengar,
-
percakapan yang jujur,
-
kehadiran yang menguatkan.
Keramahtamahan dalam konteks modern bukan melulu soal memberi tumpangan; bisa berupa kesediaan menjadi sahabat bagi yang berduka, mentor bagi anak muda, atau penyembuh bagi relasi yang retak.
3. Solidaritas dengan yang Menderita: Tanggung Jawab Bersama
Ibrani 13:3 memanggil gereja untuk mengingat mereka yang terpenjara dan tertindas. Dalam konteks sosial-budaya kita, “penjara” tidak selalu berarti jeruji besi. Banyak keluarga hidup dalam “penjara” modern:
-
penjara ekonomi—utang, kemiskinan, dan ketidakpastian,
-
penjara kekerasan dalam rumah tangga,
-
penjara kesehatan mental,
-
penjara stigma budaya,
-
penjara kesepian yang tidak terlihat.
Seruan untuk “mengingat mereka” berarti gereja tidak boleh hidup dalam budaya “biar urusanmu menjadi urusanmu sendiri”. Dalam Kristus, penderitaan seseorang menjadi tanggung jawab seluruh tubuh Kristus.
Perspektif budaya Karo menguatkan makna ini: sistem rakut si telu mengajarkan bahwa setiap peristiwa hidup—suka maupun duka—adalah urusan bersama. Maka gereja harus kembali menjadi ruang penyembuhan kolektif, bukan sekadar tempat ibadah formal.
4. Advent: Menghidupi Kembali Kosmologi Persaudaraan
Advent bukan sekadar menanti kelahiran Yesus; ini adalah masa ketika gereja menata ulang kehidupannya agar mencerminkan kedatangan Sang Immanuel—Allah yang hadir di tengah manusia.
Dalam budaya Karo, ada konsep “erjabu”—tinggal bersama dalam satu rumah besar, berbagi ritme hidup, beban, dan sukacita. Advent adalah panggilan spiritual untuk kembali “erjabu” secara rohani sebagai keluarga Allah.
Bersaudara dalam Kristus berarti:
-
menjembatani perbedaan,
-
menyembuhkan luka-luka keluarga,
-
mengembalikan fungsi rumah sebagai tempat damai,
-
menghadirkan solidaritas di tengah tekanan hidup.
Ketika gereja menata diri seperti ini, saudara-saudara yang letih akan menemukan harapan, dan rumah-rumah jemaat akan menjadi tanda kecil kerajaan Allah yang sedang mendekat.
Penutup
Di tengah perubahan sosial dan budaya yang cepat, keluarga dan gereja dipanggil untuk kembali kepada identitas dasarnya: menjadi saudara dalam Kristus. Pekan Keluarga GBKP dan masa Advent bukan hanya momentum liturgis, tetapi kesempatan spiritual untuk membangun ulang pola-pola relasi yang lebih manusiawi dan lebih ilahi.
Ketika kasih persaudaraan dipelihara, ketika rumah menjadi ruang keramahtamahan, dan ketika penderitaan orang lain kita tanggung bersama, maka Advent menjadi nyata—bukan hanya sebagai momen perayaan, tetapi sebagai transformasi sosial dan spiritual.
Kristus datang untuk membangun keluarga Allah.
Maka marilah kita menyambut-Nya dengan cara yang sama:
dengan memulihkan cara kita bersaudara.
.jpeg)
Komentar
Posting Komentar