KELUARGA ALLAH: REFRENSI PEKAN KELUARGA GBKP HARI PERTAMA

 


Pengantar

Kata keluarga selalu membawa kehangatan dan juga kerentanan. Di sanalah seseorang pertama kali belajar mencintai dan dicintai, tetapi juga pertama kali mengalami luka, penolakan, atau kekecewaan. Dalam keluarga, manusia mengenal wajah paling nyata dari kasih sekaligus keterbatasan. Karena itu, ketika Alkitab menggambarkan umat percaya sebagai “keluarga Allah” (Efesus 2:19), istilah ini bukan sekadar metafora rohani yang manis. Ia adalah panggilan untuk membentuk kehidupan bersama yang diwarnai kasih, pengampunan, dan kesetiaan—seperti kasih Bapa yang tidak pernah gagal.

Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Efesus bahwa mereka bukan lagi orang asing atau pendatang, melainkan kawan sewarga dan anggota keluarga Allah. Pernyataan ini menembus batas sosial dan spiritual pada masa itu. Sebab bagi dunia Yunani-Romawi, keluarga (oikos) adalah unit sosial paling penting: pusat nilai, identitas, dan loyalitas. Maka ketika Paulus menggunakan istilah itu, ia menegaskan bahwa Gereja adalah rumah baru—tempat di mana kasih Kristus menggantikan garis keturunan, status sosial, dan perbedaan etnis sebagai dasar persaudaraan sejati.

Dari Pilihan kepada Kehadiran

Keluarga Allah bukan terbentuk karena kesamaan darah, tetapi karena kasih karunia. 1 Petrus 1:2 menegaskan bahwa kita dipilih oleh Allah, dikuduskan oleh Roh, dan dipanggil untuk taat kepada Kristus. Inilah tiga poros utama dalam teologi keluarga Allah: pilihan, pengudusan, dan ketaatan.

  • Dipilih: artinya, Allah terlebih dahulu berinisiatif untuk menjadikan kita bagian dari-Nya.
  • Dikuduskan: berarti, kita terus-menerus dibentuk menjadi serupa dengan Kristus agar pantas tinggal dalam rumah-Nya.
  • Taat: menandakan bahwa hidup dalam keluarga Allah tidak berhenti pada status, tetapi bergerak dalam tindakan kasih dan kesetiaan.

Semua ini berpuncak pada kehadiran Kristus sebagai batu penjuru (Efesus 2:20). Ia menjadi pusat bangunan yang mempersatukan dinding-dinding yang sebelumnya terpisah. Dalam konteks awal surat Efesus, pemisahan antara Yahudi dan non-Yahudi seperti dinding yang tak mungkin ditembus. Tetapi salib Kristus meruntuhkannya dan menghadirkan shalom—perdamaian sejati.

Maka, keluarga Allah adalah komunitas yang berdiri di atas karya pendamaian Kristus. Ia bukan sekadar kumpulan orang baik, tetapi rumah tempat Allah berdiam melalui Roh-Nya. Dari situ, relasi baru terbentuk: Allah sebagai Bapa, Kristus sebagai batu penjuru, dan kita sebagai batu hidup yang disusun menjadi bait kudus.

Dinding yang Dihancurkan, Rumah yang Didirikan

Menjadi bagian dari keluarga Allah berarti belajar hidup dalam persekutuan yang sejati. Dalam Efesus 2:19–22, Paulus menggambarkan tiga gerak teologis yang amat penting:

1.      Dari asing menjadi anggota,

2.      Dari keterpisahan menjadi persekutuan,

3.      Dari dinding yang memisahkan menjadi rumah yang menyatukan.

Dinding—secara simbolik—selalu berbicara tentang keamanan sekaligus keterasingan. Kita membangun dinding untuk melindungi diri, namun dinding yang sama seringkali membuat kita tidak lagi saling mengenal. Dalam keluarga pun demikian. Banyak keluarga hidup bersama di bawah satu atap, tetapi hati mereka dipisahkan oleh dinding komunikasi yang dingin.

Kristus datang untuk menghancurkan dinding itu. Ia memanggil kita keluar dari ruang-ruang sempit ego dan luka batin menuju rumah Allah yang luas. Rumah itu dibangun dari batu-batu yang saling menopang—seperti anggota keluarga yang saling meneguhkan di tengah perbedaan dan kelemahan.

Dari Luka ke Pertumbuhan

Psikologi keluarga menegaskan bahwa setiap rumah tangga memiliki “peta emosi” yang unik. Di sanalah terbentuk cara seseorang memandang kasih, kedekatan, dan kepercayaan. Bila peta itu rusak—karena konflik, ketidakhadiran, atau penolakan—maka individu cenderung membawa luka itu ke dalam relasi lain, termasuk relasi rohaninya.

Namun, iman Kristen memberikan paradigma pemulihan yang berbeda. Dalam keluarga Allah, setiap orang diterima bukan karena sempurna, melainkan karena dikasihi. Kasih yang tanpa syarat ini menjadi dasar psikologis dan spiritual bagi proses penyembuhan. Ketika seseorang merasa diterima oleh Allah dan komunitasnya, ia mulai berani mengasihi kembali, mengampuni, dan mempercayai orang lain.

Keluarga Allah menjadi ruang aman (safe space) bagi pertumbuhan jiwa. Gereja, dalam pengertian ini, bukan hanya tempat ibadah, tetapi laboratorium kasih tempat setiap luka dipulihkan melalui kehadiran dan pengampunan yang nyata. Di sinilah teologi bersentuhan langsung dengan psikologi: kasih Allah yang transenden diterjemahkan menjadi tindakan manusia yang imanen—menyapa, mendengarkan, dan meneguhkan satu sama lain.

Implikasi bagi Keluarga Masa Kini

Kita hidup di zaman di mana makna keluarga sedang diguncang oleh mobilitas, individualisme, dan dunia digital. Banyak keluarga modern hidup dengan efisiensi tinggi, tetapi miskin keintiman. Bahkan di gereja, hubungan sering menjadi fungsional: kita hadir, melayani, lalu pulang tanpa benar-benar saling mengenal.

Refleksi ini mengajak kita untuk membangun kembali makna keluarga—baik di rumah maupun di gereja—sebagai ruang kehadiran Allah.

Beberapa langkah praktis dapat direnungkan:

  • Keluarga sebagai tempat belajar mendengar. Kristus sendiri mendengarkan tangisan dunia sebelum Ia berbicara pengampunan.
  • Keluarga sebagai ruang pengampunan. Dalam setiap relasi, kesalahan tak terelakkan, tetapi pengampunan membuat cinta tetap hidup.
  • Gereja sebagai keluarga yang memulihkan. Persekutuan harus mencerminkan kehangatan rumah: di mana yang letih disambut, yang bersalah diterima, dan yang terluka dipulihkan.

Dengan demikian, kita bukan hanya menjadi keluarga Allah dalam pengakuan iman, tetapi dalam praksis hidup yang nyata.

Allah yang Menjadi Anggota Keluarga Kita

Advent adalah waktu menantikan kehadiran Kristus—Allah yang memilih lahir bukan di istana, melainkan di rumah yang sederhana. Ia lahir di tengah keluarga manusia agar manusia belajar menjadi keluarga Allah. Inkarnasi itu mengajarkan bahwa kasih Allah selalu mencari bentuk yang konkret: pelukan, meja makan, percakapan, dan pelayanan kecil yang dilakukan dengan tulus.

Menjelang Natal, kita diajak untuk bertanya:

  • Sudahkah rumah kita menjadi tempat Allah berdiam?
  • Sudahkah keluarga kita mencerminkan keakraban yang diikat oleh kasih dan pengampunan?
  • Dan sudahkah gereja kita menjadi rumah bagi mereka yang tak lagi punya tempat?

Sebab hanya di sanalah makna Natal menemukan kedalamannya: ketika Allah tidak hanya lahir di Betlehem, tetapi juga di rumah-rumah kita—dalam relasi yang disatukan kembali oleh kasih-Nya.

Penutup

Menjadi keluarga Allah bukanlah status yang diwarisi, melainkan proses yang dihidupi. Setiap hari kita dipanggil untuk membangun dinding yang menyatukan, bukan memisahkan; menjadi batu yang menopang, bukan menjatuhkan; menjadi rumah di mana kasih Allah dapat berdiam di antara kita.

Dan mungkin di situlah makna terdalam dari iman Kristen: bahwa Allah tidak tinggal jauh di surga, tetapi memilih menetap di antara manusia—di dalam hati, rumah, dan persekutuan yang mau dibangun dalam kasih.

 

Komentar